Daging hasil kloning atau lab-grown meat adalah istilah yang merujuk pada daging artifisial berteknologi kultur sel. Artinya, daging ini diproduksi secara in vitro atau melalui teknologi laboratorium tanpa menyembelih hewan ternak seperti sapi, ayam, atau babi. Penelitian tentang daging hasil kloning sebenarnya telah ada sejak tahun 2008, akan tetapi di Indonesia kabar soal daging buatan ini baru meledak setelah Mbak Nana alias Najwa Shihab merilis konten singkat tentang disetujuinya komersialisasi daging buatan ini di Singapura.
Istilah lain yang dipopulerkan berkain dengan daging buatan ini adalah cultivated meat, salah satu kelompok yang mendorong, bekerjasama dengan berbagai pihak, bahkan membiayai beberapa penelitiannya, adalah Good Food Institute (GFI). Bahkan GFI melaporkan bahwa hasil yang dihasilkan benar-benar seratus persen daging, tanpa residu antibiotik dan kontaminasi bakteri yang kerap terjadi pada daging ternak konvensional.
GFI juga menceritakan bahwa beberapa perusahaan di Amerika Serikat dan Eropa telah memproduksi cultivated meat secara massal sebagai daging yang digunakan dalam beberapa produk pangan. Misalnya hamburger, steak, hingga sosis babi, termasuk di antaranya berupa cultivated milk dan cultivated egg. Selain cultivated meat, GFI juga mengkampanyekan plant-based meats yang tentu saja juga sudah ada di Indonesia dan bahkan sejak 1814 telah kita konsumsi tiap hari lewat beragam produk olahan tempe.
Hal yang paling menarik dari pro dan kontra cultured meat ini tentu saja soal sikap LPPOM dan Lembaga Fatwa MUI serta BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) yang belum lama terjun dalam hiruk pikuk sertifikasi halal. Selain tentu saja para cukong impor daging yang pastinya akan ambil bagian dalam pusaran penentuan kebijakan soal izin edar cultured meat di Indonesia.
Pasalnya, kira-kira para koruptor impor itulah yang barangkali akan rugi bandar, atau malahan untung besar dengan adanya komoditas daging baru yang sama sekali berbeda asal muasalnya dan lebih minim risiko oplosan.
Hasilnya akan ditentukan oleh harga eceran tertinggi yang kelak dilepas ke pasaran, baik tinggi ataupun rendah, adanya daging hasil kloning di pasaran akan menimbulkan gelombang shifting economy yang sama besarnya. Katakanlah daging hasil kloning akan dijual murah, tekanan dari para peternak sapi baik dalam maupun luar negeri akan jadi berita utama.
Lalu jika terjadi sebaliknya, daging laboratorium itu dijual mahal ya setiap tahun fluktuasi harga daging akan gitu-gitu aja. Kadang harganya tinggi selangit, konsumen dan para produsen makanan berbasis daging yang akan menjerit. Saat harganya terjun bebas murah membumi, para peternak sapi tradisional dari desa-desa yang makin sengsara dengan tawaran semena-mena para tengkulak pemborong daging.
Sebenarnya, lima tahun sebelum daging hasil kloning mengemuka ke dunia, FAO sebagai otoritas yang memonopoli rasa tanggung jawab dalam memastikan keamanan pangan dunia, sudah mewanti-wanti makin menipisnya sumber pangan berbasis daging. Sejak 2003 konsep edible insect dipromosikan dan dikampanyekan secara heroik ke seluruh dunia. Lucunya, FAO barangkali tidak sadar kalau di Gunung Kidul walang goreng sudah jadi kudapan dan lauk yang biasa keberadaannya dengan cita rasa yang luar biasa enaknya.
Dugaan saya, kelak daging hasil kloning akan tetap masuk ke Indonesia, minimal memenuhi rak-rak pendingin di pasar-pasar modern Indonesia. Kadar kehalalannya juga saya rasa akan diloloskan dengan sokongan fatwa MUI dan BPJPH, meskipun rahasia fiqihnya tetap jadi misteri bagi para ulama. Ini daging buatan, bukan daging sembelihan, tetapi juga bukan ikan yang sejak awal bangkai atau hidup tetap dihalalkan. Bukan pula berasal dari sel ternak yang haram hukum asalnya seperti babi.
Pada akhirnya manusia memang diberi pilihan untuk menentukan hidupnya sendiri, biarlah ulama yang pusing berfatwa dan kelak mempertanggungjawabkannya di akhirat sana. Sementara kita fokus saja melaksanakan tugas mulia sebagai umat yang taat. Mau dituduh dengan sangkaan apapun saja, jawabannya sudah tersedia: ngapunten Gusti, wong nggak tahu, ndak punya ilmu dan otoritas je, kami cuma ngikut ulama. Fatwa MUI kan absolut, setidaknya untuk banyak pihak.
Dari semua perkembangan penelitian dan pemasaran daging buatan itu, satu hal yang paling saya tunggu-tunggu sebenarnya beredarnya cultured chicken feet atau ceker hasil produksi laboratorium. Saya tidak membayangkan dunia tanpa ceker ayam, kenikmatan pergunjingan di bangku-bangku angkringan pinggir jalan nggak akan lagi sempurna. Kelezatan mie ayam ceker di pelosok-pelosok Jogja juga tidak akan terasa paripurna.
BACA JUGA Panduan Misuh Bahasa Jepang biar Kamu Bisa Sekuat Tokoh Anime dan tulisan Adi Sutakwa lainnya.