Kalau Anda miskin, hidup pas-pasan, makan pagi sore bengong, itu pun hanya dengan Indomie sebungkus dengan kuah luber di mangkok, sebaiknya Anda jangan berutang. Bahkan sebelum berhutang pun Anda akan kesulitan mendapat utangan karena tidak ada yang bisa Anda jadikan jaminan untuk membayar kembali pinjaman itu.
Lain halnya kalau Anda cukup kaya dan dianggap punya potensi. Anda boleh berutang, bahkan dengan jumlah utangan yang sangat besar. Sehingga kalau Anda bangkrut, seluruh negeri ikut bangkrut.
Itulah doktrin “too big, too fail.” Terlalu besar untuk gagal. Saking besarnya utang Anda, sehingga kreditornya takut Anda akan bangkrut. Dalam bahasa Inggris ada istilah “the fat cats.” Orang yang luar biasa kaya dan berkuasanya, saking berkuasanya, apa saja yang dia bikin selalu berdampak terhadap orang lain.
Hari ini saya mendengar bekas bos Bank Century, bank yang runtuh di zaman pemerintahan SBY, dibebaskan. Banyak yang mengatakan bahwa kasus ini berkaitan dengan pemerintah yang berkuasa ketika itu. Entahlah, yang jelas si bos ini dihukum 21 tahun penjara. Dia mendapat remisi 77 bulan atau kira-kira 6,5 tahun. Dia telah menjalani 2/3 jumlah hukuman dan kini bisa bebas bersyarat.
Saya tidak mempersoalkan sistem remisi atau pemotongan hukuman ini. Saya tidak tahu apakah ini berada dalam sistem peradilan atau tidak. Namun, tampaknya tidak karena yang berkuasa memberikan remisi bukan pejabat yudisial melainkan para birokrat penjara dan Kemenkumham.
Sudahlah, itu soal lain. Namun, ada satu bagian dari pemberitaan pembebasan bersyarat si bos yang bernama Robert Tantular ini yang menarik perhatian saya.
“Robert Tantular telah menjalani subsider kurungan 14 bulan karena tidak membayar denda pada perkara pertamanya sebesar Rp100 miliar dan perkara keduanya sebesar Rp10 miliar, terhitung mulai 18 Mei 2017 sampai dengan 12 Juli 2018.”
Jadi, dalam amar putusan hakim, si Tantular ini harus membayar denda Rp100 miliar, kalau tidak dia akan dipenjara 12 bulan. Selain itu, untuk perkara lain dia harus membayar denda Rp10 miliar dengan subsider kurungan 2 bulan.
Sebesar Rp110 miliar untuk hukuman 14 bulan. Anda tahu apa artinya itu?
Itu artinya harga seorang Robert Tantular. Itu juga berarti Rp235.294.117 per hari. Itu artinya Rp9.803.921 per jam. Itu artinya 163.398 per detik.
Manusia dalam keadaan normal menghirup napas setiap empat detik. Jadi, harga Robert Tantular dalam setiap tarikan napas adalah Rp653.592. Bayangkan keistimewaan apa yang dimiliki manusia macam ini sehingga dihargai sedemikian tinggi?
Saya bayangkan pengemudi GoFood yang mengantar makanan saya, diupah Rp12 ribu saja untuk mengambil makanan di restoran dan mengantar ke rumah saya. Padahal, mereka perlu waktu paling tidak 45 menit hingga satu jam. Pengemudi GoFood perlu waktu 13 kali antar makanan untuk bisa mendapatkan nilai uang setara dengan yang didapat oleh Robert Tantular dalam waktu satu detik!
Melebih-lebihkan? Tidak sama sekali. Ini kenyataan. Pahit memang. Tapi, kenyataan-kenyataan dan perspektif berpikir seperti ini diperlukan agar kita bisa memahami secara lebih baik apa yang nama adil dan tidak adil.
Di mana-mana, terutama di negeri ini, keadilan itu pahit. Ia berlaku untuk orang-orang kecil. Pengemudi GoFood yang tidak berseragam akan dihukum. Tidak pakai helm akan dihukum. Melanggar rambu lalu lintas dihukum.
Memang harusnya demikian. Kita senang kalau orang-orang kecil dan orang-orang biasa itu patuh, tertib, dan taat mengikuti aturan. Kita melihatnya sebagai adil karena semua mendapat perlakuan yang sama. Namun, persamaan ini tidak berlaku untuk orang model Tantular. Bukan karena dia diperlakukan tidak adil. Akan tetapi, karena keadilan mati mengenaskan di hadapannya.
Kalau Anda berkuasa, Anda bisa bikin apa saja, kata Donald Trump. Iya, itu benar. Namun, itu hanya bisa terjadi kalau orang-orang biasa seperti saya, Anda, membiarkan itu terjadi. Kita membiarkan mereka lepas bebas tanpa hukuman setimpal atas kejahatan yang mereka lakukan.
Bank Century itu disehatkan kembali dengan pajak yang kita bayar. Pada akhirnya kitalah yang membayar Robert Tantular.
Kasus Robert Tantular hanyalah satu dari banyak kasus. Itu pun dia dari administrasi pemerintahan yang lalu. Di zaman sekarang ini, kita punya banyak kasus yang sejenis tapi lepas dari perhatian kita. Berapa dari kita yang tahu apa yang terjadi pada Jiwasraya, Bumiputera, Asabri?
At the end the bucks stop on us! Pada akhirnya, yang membayar adalah kita semua.
Mau dibiarkan ini terjadi terus menerus dengan skala yang semakin mengerikan?
BACA JUGA Perppu 1/2020 Bukti Para Elit Telah Belajar dari Kasus Siti Fadilah, Menkes 2004-2009 dan tulisan Made Supriatma lainnya. Ikuti Made di Facebook.