MasterChef Indonesia musim ketujuh sudah dimulai. Saya akhirnya bisa melihat Chef Renatta komen-komenin kontestan dengan muka judesnya lagi, lihatin Chef Juna ngedamprat kontestan, atau sekadar lihatin Chef Arnold bertingkah aneh yang di musim lalu kerap dijadiin meme itu. Ya, untuk ketiga kalinya sejak musim kelima, juri MasterChef Indonesia masih pakai formasi yang sama.
Apakah saya bosen melihat mereka? Oh, tentu tidak. Toh, alasan tim produksi mempertahankan trio itu sudah pasti karena mereka bertiga sangat disukai pemirsa. Lagian ngikutin perkembangan rambut Chef Juna yang dari musim ke musim makin gondrong itu seru juga.
Akan tetapi, terlepas bahwa trio juri ini sangat populer, sebenarnya kombinasi antara Chef Juna, Chef Renatta, dan Chef Arnold adalah formasi yang sangat berantakan. Mereka bertiga notabennya galak semua. Bentar, emang sih Chef Arnold itu nggak galak-galak amat dan terkesan sering ngelucu, tapi justru di situ permasalahannya. Dulu di musim ketiga, Chef Arnold dihadirkan sebagai persona yang kudu galak, mengingat di musim ketiga nggak ada Chef Juna di jajaran trio.
Lantas seperti apa seharusnya formasi juri di MasterChef Indonesia yang sangat ideal? Jawabannya adalah musim pertama, musim kedua, dan musim ketiga. Mari membahas kombinasi serasi pada ketiga musim itu.
Pertama kali MasterChef Indonesia tayang di tahun 2011, kita berkenalan dengan tiga juri yaitu Chef Vindex, Chef Juna, dan Chef Marinka. Trio ini sungguh sempurna karena masing-masing juri memiliki persona masing-masing. Chef Vindex sebagai yang paling senior tampil dengan pembawaan yang kebapakan, arif, nan bijaksana. Chef Juna, tampil sebagai chef muda, keren, garang, dan hobi marah-marah. Chef Marinka melengkapinya dengan pembawaan lucu, periang, menyenangkan, dan mempesona.
Kombinasi itulah yang dibutuhkan kontestan, juga kita yang menontonnya. Misal saat ada kontestan dipanggil ke depan dan dicicipi makanannya, sang kontestan bakal dihajar habis oleh dampratan Chef Juna. Namun setelah itu, dibikin sedikit lebih ceria dengan komentar dari Chef Marinka. Lantas ditenangkan oleh kewibawaan Chef Vindex. Kita yang nonton juga bisa merasakan perbedaan tensi komentar. Tegang liat Chef Juna melotot dan mbacot sana mbacot sini, terus senyam senyum lihatin Chef Marinka yang aduhai sekali, lantas manggut-manggut saat denger Chef Vindex berkomentar layaknya sedang khotbah. Pas banget pokoknya.
Musim kedua hadir pada tahun 2012 dengan perombakan pada jajaran juri. Chef Vindex digantikan sosok lain yaitu Chef Degan, tetapi pemilihan pengganti Chef Vindex itu sangat tepat. Chef Degan memiliki pembawaan yang kurang lebih sama dengan Chef Vindex, meski sedikit lebih galak dan sinis. Chef Juna juga semakin mengukuhkan persona dirinya sebagai Chef keren idola emak-emak yang kejem kalau ngomen makanan. Chef Marinka juga tetep lucu dan menyenangkan. Pada musim kedua ini pula diundang bintang tamu yaitu Chef muda, tampan, dan berbakat yaitu Chef Arnold. Lantas pada musim ketiga MasterChef Indonesia, Chef Arnold yang di musim sebelumnya hanya menjadi bintang tamu di satu episode, didapuk oleh tim produksi menjadi dewan juri.
Datangnya Chef Arnold ini sempat membuat saya kaget. Ya iya, wong yang digantikan blio bukanlah Chef Degan atau Chef Marinka, tetapi Chef Juna yang notabennya sudah layak dinobatkan sebagai ikon MasterChef Indonesia. Pokoknya kalau nonton MasterChef Indonesia ya kudu liatin Chef Juna marah-marah. Yang lain boleh diganti, tapi jangan yang satu itu. Namun apa boleh buat, Chef Juna digantikan posisinya oleh Chef Arnold yang pada waktu itu masih kurus.
Chef Degan masih bertahan. Pun Chef Marinka juga tetap berada di jajaran juri selama tiga musim berturut-turut. Dua persona masih ada yaitu sang bijaksana dan sang dewi periang, tapi sosok sang iblis laknat terancam absen. Chef Arnold dengan ajaib didapuk menjadi sang iblis laknat itu ternyata. Iya, meski Chef Juna nggak ada, kontestan juga harus berhadapan dengan Chef Arnold yang gemar marah-marah dan berekspresi galak. Formasi trio sempurna masih terjaga. Persona masing-masing juri tetap seperti seharusnya. Meski segalak-galaknya Chef Arnold tetep nggak bisa dibandingkan dengan amukan Chef Juna yang kayak kesurupan Godzilla itu.
Sayangnya di musim keempat, entah apa yang dipikirkan tim produksi. Mungkin karena ingin menyuguhkan konsep berbeda, juri pada musim ini hanya ada dua, yaitu Chef Arnold dan Chef Matteo. Nggak ada lagi Chef Marinka yang periang, pun nggak ada lagi Chef Degan yang berwibawa. Tinggallah Chef Arnold yang di musim sebelumnya kudu berperan sebagai si galak tetapi di musim keempat kegalakannya mulai luntur. Dia dipasangkan dengan bule asal Italia yang punya beberapa resto di Jakarta. Nggak tau ya, tapi memadukan mas-mas galak yang udah nggak galak-galak amat sama bapak-bapak dari Italia yang nggak bijaksana-bijaksana amat itu bukan sesuatu yang enak untuk ditonton. Makanya saya merasa musim keempat MasterChef Indonesia adalah musim terburuk yang pernah ada.
Untungnya semuanya kembali dirombak di musim kelima. Chef Juna kembali mengisi jajaran dewan juri, Chef Arnold juga kembali hadir, pun kali ini menghadirkan Chef muda berbakat nan mempesona yakni Chef Renatta. Ketiga dewan juri ini rata-rata muda, menggebu-gebu, dan siap melibas habis semua kontestan. Chef Juna sudah pasti kesurupan. Chef Renatta ternyata lebih sering memasang muka judesnya. Chef Arnold, nah ini dia titik balik segalanya. Apabila dulu dia harus mengambil persona galak gegara absennya Chef Juna, kali ini dia lebih bisa menjadi dirinya sendiri karena Chef Juna sudah kembali. Ternyata dia adalah pribadi periang dan suka melucu.
Ternyata, formasi yang justru nggak sempurna ini malah mendongkrak minat penonton. Iya dong nggak sempurna, wong nggak ada lagi figur kebapakan yang bisa menyelamatkan kontestan dari semburan Chef Juna. Dan Chef Renatta yang kudunya bisa menjadi pemanis, eh, malah bertampang judes dan komentarnya pedes juga. Chef Arnold? Mukanya malah keseringan dijadiin meme di medsos.
Dari fenomena ini saya jadi berspekulasi bahwa formasi yang sempurna ternyata nggak melulu bikin acara ini jadi menarik. Ternyata kita justru seneng liat formasi berantakan tapi diisi para chef muda dan menggebu-gebu ini. Atau dengan kata lain, sebenernya kita seneng lihat lebih banyak orang menderita di MasterChef Indonesia.
BACA JUGA Persatuan Indonesia Berazaskan Chef Renatta dan tulisan Riyanto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.