Akhir 2017, setelah cukup lama sok kuat ke mana-mana naik motor, saya akhirnya membeli mobil pertama. Mobil itu bukan keluaran baru, bukan juga hasil kredit panjang. Mobil itu adalah Honda Civic Genio tahun 1992.
Artinya, ketika saya membelinya, mobil ini sudah berusia 25 tahun, lahir di zaman kaset pita, tapi dipaksa hidup di era Spotify. Dunia di sekitarnya sudah berubah jauh, sementara ia tetap datang dengan cara lama.
Mobil ini saya beli seharga Rp40 juta, hasil dari jualan kaos, menahan banyak keinginan, dan gaji dosen swasta di Banyuwangi. Orang Jawa menyebutnya ngempis-ngempis: hidup ditekan dan disusutkan, bukan karena ingin terlihat sederhana, tapi karena memang keadaannya begitu. Mobil ini bukan penanda sukses. Lebih tepat disebut alat supaya hidup tidak terlalu capek.
Jarak rumah saya ke kampus sekitar 80 kilometer pulang-pergi. Naik motor tentu bisa, tapi lama-lama badan rasanya tidak diajak kompromi. Apalagi saya sering pulang malam karena kampus swasta, ya jadwal kuliahnya tentu harus menunggu mahasiswanya pulang kerja. Untungnya, waktu itu ada tunjangan transportasi yang membedakan dosen bermotor dan bermobil. Bensin dihitung sebagai kebutuhan, bukan gaya hidup.
Jadi membeli mobil, meski sudah tua, terasa masih bisa dibenarkan, setidaknya sebagai ikhtiar menjaga kesehatan.
Mobil sembilan puluhan dan kenangan yang ikut tertinggal
Civic Genio ini mobil yang aromanya khas 90-an. Bentuknya sederhana, sedikit sporty, dan entah kenapa terasa akrab. Mungkin karena generasi mobil ini sering muncul di ingatan masa kecil, barengan dengan lagu-lagu Nike Ardilla yang dulu sering diputar di mana-mana.
Untuk pasar Indonesia, Civic Genio dibekali mesin 1.5 liter SOHC 16 valve berteknologi PGM-FI. Di awal 90-an, injeksi masih tergolong mewah. Banyak mobil sekelas masih setia dengan karburator. Tenaganya tidak berlebihan, tapi cukup untuk bodinya yang relatif ringan. Blok mesin aluminium jadi andalan Honda saat itu: efisien, halus, dan tidak ribet. Belum VTEC, tapi juga tidak terasa payah.
Radiator 1 Ply dan seni menahan diri
Masalah Civic Genio tahun 1992 bukan pada mesinnya, melainkan sistem pendingin. Unit tahun-tahun awal masih menggunakan radiator 1 ply dengan kapasitas terbatas. Untuk pemakaian harian di kota, masih aman. Tapi untuk perjalanan jauh, apalagi di cuaca panas, mobil ini mudah protes.
Civic Genio 1992 mengajarkan satu hal: jangan sok kuat. Kalau dipakai ke luar kota, tidak bisa asal gas. Idealnya, tiap sekitar seratus kilometer harus berhenti sebentar. Bukan buat ngopi, tapi buat ngademin mesin. Kalau dipaksakan, risikonya ya itu-itu saja: suhu naik, mesin panas, dan akhirnya menepi sambil pasrah.
Nyaman, tapi tidak pernah benar-benar menang
Soal kenyamanan, Civic Genio ini sebenarnya enak. Suspensi double wishbone depan dan belakang bikin mobil stabil dan nurut. Tidak limbung, tidak bikin capek. Untuk ukuran mobil tua, rasanya masih pantas dipakai harian.
Masalahnya, usia tetap usia. AC mobil saya waktu itu sudah tidak dingin. Yang keluar hanya angin. Kalau hujan deras, kaca depan langsung buram. Wiper bergerak, tapi pandangan tetap tidak jelas.
Tujuan naik mobil seharusnya sederhana: tidak kehujanan. Tapi Civic Genio saya ini punya pendapat lain. Setiap hujan deras, saya tetap harus berhenti. Bedanya cuma satu, berhentinya di dalam mobil, sambil menunggu hujan reda, bukan sambil menggigil di pinggir jalan seperti naik motor. Secara fungsi memang ada peningkatan, tapi secara perasaan, ya sebelas dua belas. Hampir sama saja, nelongso.
Knalpot Civic Genio hampir putus dan kejutan tengah malam
Di malam hari, di jalan yang sepi, Civic Genio ini cukup menyenangkan. Kecepatan di atas seratus kilometer per jam masih bisa dicapai tanpa drama berarti. Sampai suatu ketika, tiba-tiba suaranya berubah. Keras. Aneh. Seperti ada yang lepas.
Saya menepi dan turun. Ternyata knalpotnya hampir putus setengah. Mobil tua, wajar. Besoknya langsung ke tukang las. Biayanya Rp50 ribu. Murah, tapi cukup bikin sadar: mobil ini aman kalau dirawat, dan cepat memberi tanda kalau mulai diabaikan.
Civic Genio yang harus dilepas setelah menikah
Akhir 2018, Civic Genio ini harus saya jual. Bukan karena rusak, bukan juga karena bosan. Tapi karena kebutuhan hidup setelah menikah datang tanpa banyak kompromi.
Sedih? Iya. Sedih yang tidak berlebihan, tapi terasa.
Mobil ini adalah mobil pertama yang saya beli dari hasil kerja sendiri. Ia menyimpan banyak cerita: pulang malam, mesin panas, hujan yang memaksa berhenti, dan knalpot yang tiba-tiba menyerah.
Mobil itu pergi. Hidup lanjut. Mau tidak mau.
Saya baru membeli mobil lagi di 2021. Alhamdulillah. Proses hidup memang begitu. Kadang dipaksa jalan, kadang harus berhenti sebentar. Tapi selama masih bisa dirawat, ya dijalani saja.
Dari Civic Genio 1992 itu, dengan mesin yang mudah panas dan kebiasaan memaksa saya berhenti, menjadi mobil pertama yang diam-diam mengajari saya bahwa perjalanan hidup, tidak selalu soal kuat jalan terus, tapi tahu kapan harus menepi.
Penulis: Muhammad Faishol
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Niat Hati Beli Mobil Honda Civic Genio buat Nostalgia, Malah Berujung Sengsara
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.


















