Cari kos putra di UMS itu sulitnya minta ampun, dan saya tidak sedang lebay sama sekali. Percayalah, saya sudah enam kali pindah kos dan entah berapa kali melakukan survei. Dari Gonilan, Menco, Mendungan, hingga Singopuran, semua pernah saya jelajahi. Saya hafal jalan tikus, gang sempit, sampai aroma got di tiap sudutnya. Itu saja sudah cukup jadi bukti betapa peliknya perburuan kos ini.
Sebenarnya, misi saya sederhana, mencari kos murah sekaligus bersih di UMS. Sesederhana itu. Sayangnya, dua kriteria ini seolah ditakdirkan jadi musuh bebuyutan.
Oke saya paham, murah mungkin relatif. Tapi bukankah bersih seharusnya jadi standar dasar tempat tinggal? Di sekitar UMS, bersih justru terasa seperti fasilitas tambahan yang hanya bisa dinikmati kalau kita sanggup bayar lebih. Nah, dari sinilah cerita dimulai. Tentang usaha mencari kos putra yang terjangkau dan layak huni. Serta menemukan fakta tentang kebersihan yang masih dianggap sepele oleh para pemilik kos.
Kos putra di UMS yang murah memang banyak, tapi yang juga bersih susah ditemui
Coba deh, buka situs Mamikos. Pilih lokasi di UMS, filter hanya untuk kos putra dengan harga maksimal 700 ribu. Setidaknya akan muncul kurang lebih 161 kos. Ada 17 kos harganya tepat di 700 ribu dan 144 kos dengan harga di bawah 700 ribu. Dari itu aja kita akan tau, nggak sulit kok cari kos putra di sekitar UMS. Yang murah? Bejibun. Yang bersih? Nah itu lain cerita.
Hampir semua kos di bawah 700 ribu menampilkan dinding kamar menghitam, kamar mandi berlumut, dan suasana yang seakan bikin kita ingin langsung vaksin tetanus aja. Itu baru data dari Mamikos ya, belum kos yang tidak masuk di layanan ini.
Kita ambil contoh dari kos kawan saya di daerah Menco. Dia dapat dari grup info kos di facebook. Harga sewanya cuma 500 ribu, tapi kondisinya mengenaskan. Kamar mandi luar keramiknya menghitam, airnya keruh, dan atap kamarnya bocor. Ujung lorong kosnya menjadi gudang motor bekas pemilik kos. Di sampingnya, kardus bekas menumpuk disertai bau pesing pipis tikus. Bahkan kamarnya sering kemasukan tikus sebesar iPhone 15 Pro Max. Ya wajar saja, dengan harga segitu, jangankan nyaman, buat mandi tanpa terpeleset lumut aja udah untung.
Inilah masalah utama dari kos putra, kebersihan masih dianggap sepele. Padahal, bersih harusnya menjadi kebutuhan dasar. Tapi, malah banyak kos bersih biasanya mematok harga lebih tinggi. Seolah kebersihan adalah kemewahan. Sementara bagi mahasiswa, selisih seratus ribu saja bisa jadi pertimbangan. Akibatnya, banyak yang memilih bertahan di kos kotor dengan prinsip “yang penting murah”.
Padahal, tempat tinggal berpengaruh sekali terhadap kualitas hidup kita. Bayangkan, pulang kuliah dalam keadaan lelah lalu disambut bau apek di lorong kos, Naudzubillahimindzalik.
Realitas kondisi kos yang nggak banget
Banyak kos putra di sekitar UMS tuh kondisinya bikin gelang kepala. Masalah yang muncul pun sama dan berulang seperti, bau pesing, noda lembab, tong sampah, dan lingkungannya yang becek. Bahkan ada teman saya harus berbagi teritori dengan ayam.
Ini serius! Dia ngekos di dekat pintu masuk Fakultas Teknik UMS dengan harga sewa 600 ribu per bulan. Pemilik kosnya memelihara belasan ayam jago untuk dijual, dan kandangnya disatukan dengan area kos. Bayangkan, dia tidur berdekatan dengan ayam-ayam kesayangan pemilik kos. Setiap kali turun hujan, aroma tai ayam pun sampai ke kamarnya.
Selain itu, dari enam kos yang saya tinggali, lima punya masalah serupa. Kualitas airnya buruk, warnanya keruh dan bau besi. Pernah saya komplain ke penjaga kos, tapi jawabannya, “Ya emang air di sini begini mas.” Saya jadi penasaran deh, apakah sumber air sumur di sekitar UMS itu memang buruk? Atau pipa dan tandon kos yang memang nggak pernah dibersihin hingga nimbulin karat?
Padahal air berbau besi ini berpotensi berbahaya lo kalau digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Dampaknya? Ya setidaknya sudah sering saya terkena diare karena mengonsumsi air di sini.
Belum lagi masalah lain datang dari fasilitas yang tak pernah diperhatikan. Kos saya di Mendungan dindingnya berjamur, cat mengelupas, kamar bocor, lemari penuh stiker dengan engselnya yang nyaris copot. Kos saya di Jalan Duwet bahkan punya kamar mandi dalam yang temboknya tidak sampai langit-langit, membuat bau pesing ikut bergaul dengan udara kamar.
Lalu, kos saya di Menco, tong sampahnya sering dibiarkan penuh berhari-hari, pemilik kos malas mengurus, sementara penghuni lain tak peduli kebersihan. Mirisnya, harga sewa naik tiap tahun, tapi kualitas hidup penghuninya nggak ikutan naik.
Asumsi pemilik kos: kami “tahan banting” terhadap kotor
Inilah akar masalah yang paling ngeselin buat saya. Ada semacam keyakinan absurd di kepala sebagian pemilik kos. Mereka memandang cowok itu makhluk super tangguh. Kami dianggap bisa bertahan di segala medan, tak terkecuali dengan kondisi kos yang mengenaskan. Protes dikit jawabannya malah bikin sakit hati, “Lah cowok kok rewel to, Mas”, seolah-olah kami ini bukan manusia, tapi mutasi baru dari X-Men yang kebal terhadap jorok dan bau nggak sedap.
Saya pernah mengalaminya sendiri. Toilet luar di kos saya pernah meluap karena hujan deras. Bau septic tank menyebar sampai ke kamar. Ketika dilaporkan, pemilik kos hanya menjawab, “Namanya juga kos cowok mas, nanti juga surut sendiri.” Bagi saya, kalimat itu seperti bentuk pembenaran seolah kos putra memang pantas jorok!
Pemilik kos sebenarnya bukan tak mampu memperbaiki, tetapi karena sudah tertanam anggapan bahwa cowok pasti bisa bertahan hidup dengan kondisi seperti itu, mereka akhirnya memilih tidak peduli.
Saya juga sempat berbincang dengan salah satu pemilik kos di Gumpang, sebut saja Pak Agus. Ketika saya tanya kenapa kos cowok jarang dirawat, ia menjawab, “Cah lanang biasane nrimo opo anane mas. Orang tuanya juga nggak rewel. Kalau cewek beda, mereka lebih teliti, wong tuwane akeh njaluke, suka banding-bandingin, jadi fasilitasnya harus dijaga.” Parah, kan? Dari situ saya makin yakin, masalahnya bukan soal kemampuan, tapi kemauan. Selama pemilik kos masih percaya cowok pasti tahan banting, kebersihan akan terus diabaikan, dan jorok akan tetap dianggap wajar.
Pesan untuk mahasiswa rantau UMS
Buat kalian para mahasiswa baru UMS, khususnya kaum putra yang akan memulai petualangan mencari kos. Dengarkan baik-baik pengalaman pahit ini. Saya tidak akan memanis-maniskan kenyataan. Kalau budget kos bulanan kalian nggak lebih dari 700 ribu per bulan, jangan banyak berharap bisa menemukan kos yang benar-benar bersih. Kalian hanya akan menghadapi realitas kamar pengap, air bau besi, dan kasur setipis matras pendaki. Kombo sempurna untuk menguji kesabaran dan daya tahan tubuh.
Kalau kalian masih punya sedikit ruang untuk berpikir panjang, saya beri saran yang lebih praktis. Lebih baik mencari teman, minimal dua atau tiga orang. Carilah kontrakan, satu rumah kecil saja di daerah Gonilan atau Menco. Banyak kok kontrakan dengan harga 10 juta per tahun. Saya juga sempat mengontrak di sana. Dibagi tiga, jatuhnya malah lebih murah dan lebih manusiawi. Dengan mengontrak rumah, kalian bisa mengontrol penuh kebersihan dan fasilitas sesuai
Jangan biarkan label “cowo itu tahan banting” malah bikin kalian menerima lingkungan yang sebenarnya nggak layak ya. Ingat, ini bukan lagi soal siapa yang kuat bertahan, tapi siapa yang lebih peduli sama dirinya sendiri. Percuma kuliah tinggi-tinggi kalau tiap hari harus tidur di kamar bocor dan mandi di tempat yang jadi sarang kecoa. Eits, tapi ingat juga, kalian harus jaga kebersihan. Bersih-bersih kos itu wajib. Selain karena malu kalau temen kalian mampir ke kos, ini juga demi kualitas hidup kalian ya, guys. Jadi, pikirkan baik-baik.
Penulis: M. Rafikhansa Dzaky Saputra
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA UIN Solo, Kampus yang “Nasibnya” Mengenaskan, Nggak kayak UMS dan UNS
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.














