Di tengah gemerlap peluncuran iPhone 16 yang digadang-gadang sebagai puncak inovasi Apple, ada satu ponsel lawas yang masih bertahan di genggaman segelintir orang: iPhone 5s.
Dirilis lebih dari satu dekade lalu, ponsel ini tentu sudah ketinggalan zaman jika dibandingkan dengan flagship terbaru. Tapi, bagi sebagian pengguna, iPhone 5s tetap menjadi pilihan yang nyaman, fungsional, dan yang terpenting, masih bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Bukan tanpa alasan iPhone 5s masih memiliki tempat di hati penggunanya. Ukurannya yang mungil dan ringan membuatnya nyaman digenggam, sesuatu yang mulai langka di era smartphone dengan layar semakin besar. Bodi aluminiumnya yang kokoh juga memberikan kesan premium yang bahkan beberapa ponsel baru sulit tandingi. Belum lagi, sistem operasi iOS yang terkenal dengan optimasi baiknya memungkinkan iPhone 5s tetap berjalan dengan cukup lancar, meskipun sudah tak lagi mendapat pembaruan dari Apple.
Di saat orang berlomba-lomba mengejar spesifikasi tinggi dan fitur canggih seperti AI dalam iPhone 16, para pengguna iPhone 5s justru memilih untuk tetap bertahan dengan perangkat yang sederhana, tapi andal. Apakah ini bentuk nostalgia, atau justru perlawanan terhadap tren konsumtif yang semakin menggila? Mari kita telusuri lebih jauh.
Kecil-kecil cabe rawit: keunggulan iPhone 5s yang tak lekang oleh waktu
Dirilis lebih dari satu dekade lalu, ponsel ini memang sudah ketinggalan zaman dari segi spesifikasi. Tapi jangan salah, daya tariknya belum luntur. Bukan sekadar nostalgia, tapi juga karena beberapa keunggulan yang masih bikin nyaman.
Ukurannya yang kompak, dengan layar 4 inci dan berat cuma 112 gram, iPhone 5s ini enak digenggam, muat di kantong, dan bisa dioperasikan dengan satu tangan tanpa takut keseleo. Bandingkan dengan iPhone terbaru yang makin gede dan makin berat, rasanya kayak bawa mini tablet ke mana-mana. Belum lagi bodinya yang berbahan aluminium, memberikan kesan elegan yang bahkan beberapa model terbaru sulit tandingi.
Meski iOS terbaru sudah lama meninggalkannya, iPhone 5s masih cukup gesit untuk tugas-tugas ringan. WhatsApp, Spotify, YouTube? Gas! Prosesor A7 memang bukan yang tercepat, tapi iOS yang terkenal dengan optimasinya bikin ponsel ini tetap berjalan cukup mulus. Plus, fitur Touch ID yang dulu jadi pionir masih terasa lebih praktis dibandingkan Face ID yang suka error kalau pakai masker atau dalam gelap.
Soal baterai? Selama nggak dipakai buat main game berat atau scrolling TikTok berjam-jam, iPhone 5s masih bisa bertahan seharian. Tentu, dengan harga yang kini jauh lebih ramah di kantong, ponsel ini jadi pilihan menarik buat mereka yang butuh perangkat sekunder atau sekadar ingin gadget simpel yang nggak neko-neko.
Singkatnya, iPhone 5s adalah bukti bahwa ponsel nggak perlu layar jumbo atau fitur AI super canggih untuk tetap nyaman dipakai. Kadang, yang klasik justru lebih praktis.
Anti konsumtif klub: iPhone 5s dan perlawanan terhadap tren gadget gila
Pada saat Apple terus menggempur pasar dengan iPhone terbaru yang makin besar, makin canggih, dan makin mahal, ada sekelompok orang yang tetap bertahan dengan iPhone 5s. Bukan karena mereka nggak bisa beli yang baru, tapi karena mereka merasa nggak perlu. Ini bukan sekadar pilihan gadget, tapi juga bentuk perlawanan terhadap budaya konsumtif yang semakin menggila.
Setiap tahun, kita disuguhi tren yang seolah-olah memaksa kita untuk selalu upgrade ke perangkat terbaru. Chip makin kencang, kamera makin banyak, dan sekarang AI jadi jualan utama. Tapi, pertanyaannya, apakah semua itu benar-benar dibutuhkan? Untuk sekadar chatting, browsing, dan sesekali buka media sosial, iPhone 5s masih bisa diajak kerja sama. Lagipula, berapa banyak dari kita yang benar-benar memanfaatkan semua fitur canggih di ponsel flagship?
Bertahan dengan iPhone 5s pun berarti menghindari siklus gonta-ganti gadget yang nggak cuma boros duit, tapi juga berdampak pada lingkungan. Produksi smartphone baru berarti lebih banyak limbah elektronik dan eksploitasi sumber daya alam. Jadi, bisa dibilang, para pengguna iPhone 5s ini diam-diam ikut andil dalam gerakan teknologi yang lebih berkelanjutan.
Sejatinya, memilih iPhone 5s bukan sekadar soal ponsel, tapi juga soal prinsip. Bukan berarti anti-teknologi, tapi lebih ke sikap selektif: beli barang karena butuh, bukan karena ikut tren. Kadang, mempertahankan yang lama justru lebih masuk akal ketimbang terus mengejar yang baru.
Minimalis tapi fungsional
Pada era smartphone dengan layar selebar piring dan fitur yang kadang lebih ribet ketimbang berguna, iPhone 5s hadir sebagai pengingat bahwa less is more. Desainnya yang mungil bukan cuma soal estetika, tapi juga fungsionalitas. Bisa dikantongi tanpa bikin celana melorot, bisa dioperasikan dengan satu tangan tanpa takut jempol keseleo. Coba bandingkan dengan iPhone terbaru yang makin gede—scrolling jadi nyaman, tapi coba balas chat sambil pegang kopi, baru terasa tantangannya.
Selain ukuran, iPhone 5s pun mencerminkan filosofi minimalis dalam penggunaan teknologi. Tanpa notifikasi berlebihan, tanpa distraksi dari aplikasi yang makin adiktif, ponsel ini secara tidak langsung mengajak penggunanya untuk fokus pada hal yang benar-benar penting. Mau buka WhatsApp? Bisa. Dengerin musik di Spotify? Aman. Cek email? Jalan. Tapi, kalau mau main game berat atau edit video 4K, ya, ini memang bukan jodohnya.
Buat yang merasa smartphone modern terlalu overkill untuk kebutuhan harian, iPhone 5s jadi pilihan yang pas. Nggak ada embel-embel AI yang bikin ponsel makin haus daya, nggak ada kamera tiga biji yang bikin harga melambung. Yang ada cuma perangkat simpel, nyaman, dan tetap bisa diandalkan. Kadang, hidup nggak perlu serumit itu.
Pada akhirnya, iPhone 5s bukan sekadar ponsel lawas yang enggan dilupakan, tapi simbol bahwa tak semua yang baru selalu lebih baik, dan tak semua yang lama layak ditinggalkan. Dalam hiruk-pikuk inovasi tanpa henti, ada ketenangan dalam kesederhanaan, ada kenyamanan dalam keterbatasan. Seperti buku yang tetap bermakna meski tak punya layar sentuh, atau kopi hitam yang tak butuh tambahan sirup dan krim untuk dinikmati. Kadang, yang paling sederhana justru yang paling bertahan lama.
Penulis: Raihan Muhammad
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Rekomendasi 5 iPhone Terbaik dan 5 Terburuk yang Pernah Diproduksi Apple




















