Sebagai orang Jogja yang pernah tinggal di Malang selama enam tahun, ada beberapa persamaan antara Jogja dan Malang. Salah satu persamaan tersebut adalah kuliner. Terbukti, ada beberapa kuliner Jogja di Malang atau kuliner Malang di Jogja.
Contoh kuliner Jogja di Malang seperti Lesehan Yogyakarta dan Mie Jogja Pak Karso. Sedangkan kuliner Malang di Jogja adalah Mie Gacoan. Tidak heran, beberapa orang berpendapat bahwa kuliner Malang bisa dibawa ke Jogja. Pun sebaliknya.
Akan tetapi, benarkah rasan-rasan itu? Saya kira tidak sepenuhnya tepat. Terbukti, menurut perhitungan saya, ada tiga kuliner Malang di Jogja, dan itu terkenal, ternyata tidak laku.
Bahkan, ketiga kuliner tersebut berada di jantung kuliner provinsi, yaitu Jalan Kaliurang. Lalu, apakah ketiga kuliner Malang di Jogja yang ternyata tidak mampu merebut lidah orang-orang di Jogja?
#1 Cokelat Klasik, kafe hits di Malang tapi tak bertahan lama di Jogja
Saat saya berada di Malang, periode Arema menjadi kampiun Liga Super Indonesia, Cokelat Klasik adalah minuman yang cukup laris. Bahkan, boleh dibilang menjadi teman paling tepat untuk mengerjakan tugas atau skripsi.
Gerainya berada di mana-mana, dan yang pasti, di setiap kampus pasti memiliki gerai Cokelat Klasik. Harganya di bawah Rp10 ribu dan rasa dari bubuk coklatnya mampu menghadirkan rasa legit dan manis.
Apalagi jika sudah diberi es batu, lengkap sudah. Tenggorokan yang rasanya kering saat siang hari, menjadi adem saat menyesap Cokelat Klasik. Dan barangkali, karena rasa legit dan manis itulah yang menjadikan inspirasi (si franchise?) untuk dibawa ke Jogja.
Jika saya tidak ingkar kepada ingatan, kuliner Malang ini hadir di Jalan Kaliurang Km 5,5 sekitar tahun 2014. Letaknya di sebuah ruko, yang kini sudah berganti menjadi kedai kopi terkenal yang buka dari pukul 07.00-23.00.
Saya kira itu pilihan yang tepat karena menyewa sebuah ruko di situ, yang merupakan jantung kuliner di Jogja. Apalagi, tidak banyak kedai atau warung yang menyediakan kuliner khusus minuman cokelat di sana.
Akan tetapi, namanya juga sebuah pilihan maka tidak selalu benar. Entah tidak laku atau harga sewanya yang terlampau tinggi, kafe Cokelat Klasik tutup. Kalau tidak salah (lagi), cuma bertahan tidak lebih dari dua tahun.
Ternyata rasa manis dan legit, yang cenderung identik dengan lidah orang-orang di Jogja, tidak mampu merebut lidah mereka. Apa boleh bikin.
Baca halaman selanjutnya: Mie Setan juga gagal menggoyang lidah warga Jogja…