Membaca tulisan di Terminal Mojok berjudul Nasib Bandung dan Jogja, Kota Salah Urus yang Bersembunyi di Balik Romantisasi otomatis mengingatkan saya akan Malang. Sebagai warga asli, saya merasa Kota Apel ini senasib dengan Bandung dan Jogja. Semakin hari, kota-kota itu semakin tidak nyaman ditinggali karena salah kelola.
Ternyata saya tidak sendiri, banyak juga netizen yang merasa Malang sudah banyak berubah. Saya paham betul kekecewaan mereka. Coba kalian bayangkan, di tengah berbagai permasalahan yang menghantui, pemerintah justru sibuk mempercantik satu kawasan saja. Kalau bukan kota salah urus, apa sebutan yang tepat, coba?
Banjir Menghantui
Saat ini, persoalan yang paling menghantui Malang adalah banjir. Bahkan, sejauh pengamatan saya, titik rawan banjir semakin banyak. Itu baru di kota saja ya, belum di kabupaten. Padahal, Malang merupakan dataran tinggi yang semestinya banjir setelah hujan sulit terjadi. Namun, itu tidak berlaku saat ini. Hujan sebentar saja bisa mengakibatkan genangan air yang nggak karuan.
Contoh paling baru, banjir di daerah Sigura-Gura pada Sabtu (25/11/2023) lalu. Setelah diguyur hujan yang tidak lebih dari dua jam, daerah itu sudah dilanda banjir dengan ketinggian mencapai kurang lebih dua meter. Daerah langganan banjir lainnya ada Jalan Soekarno-Hatta, Galunggung, Veteran, dan Sumbersari. Bahkan, genangan air hujan juga bisa masuk ke pusat perbelanjaan seperti Matos (Malang Town Square).
Selain banjir, kondisi lain yang begitu terasa perbedaannya adalah suhu, semakin hari terasa semakin panas. Bahkan, bisa mencapai 32-36 derajat celcius. Pemanasan global memang membuat rata-rata suhu di seluruh dunia naik, tapi minimnya ruang terbuka hijau (RTH) di Malang memperburuk kondisinya. Banyak lahan kosong yang sebelumnya ditumbuhi pepohonan rindang kini dibabat habis. Berubah jadi kavling perumahan dan ruko.
Baca halaman selanjutnya: Pemkot hanya …