Minggu lalu, saya membaca sebuah tulisan di Kilas Mojok. Judulnya seperti ini: “4 Keunggulan Menu Warteg yang Bisa Menyisihkan Warmindo di Jogja”. Judul tersebut, seakan-akan, menyatakan bahwa di Jogja, medan perang kuliner hanya terbagi dua menjadi warteg vs warmindo. Padahal, ada warung pecel lele yang menyimpan potensi besar.
Iya, memang, saya sudah mendengar hal ini sejak beberapa minggu yang lalu. Bahwa Warteg Kharisma Bahari akan menguasai pasar kuliner di Jogja. Banyak yang memprediksi bahwa mereka akan menyingkirkan warmindo. Wah, pastinya para aa warmindo sedang cemas.
Pernyataan di atas itu saya tidak sepenuhnya setuju. Persaingan kuliner di Jogja itu nggak cuma warteg vs warmindo. Aneh sekali kalau kalian tidak memperitmbangkan pecel lele sebagai calon kuat penguasa kuliner Jogja. Berikut 6 alasannya.
Daftar Isi
#1 Cita rasa pecel lele yang khas dan ahli di bidangnya
Sesuai namanya, menu andalan yang mereka tawarkan adalah pecel lele. Ya masak pecel pincuk. Nah, di lidah orang Jogja zaman sekarang, cita rasa yang ada itu sudah tertanam lebih lama. Kalau dibandingkan warteg dan warmindo. Makanya, menurut saya, lebih baik ahli di 1 konsentrasi menu ketimbang punya banyak menu tapi rasanya nggak konsisten.
Warmindo itu kalau sekali ganti aa, pasti rasanya berubah. Sementara itu, menu di warteg memang banyak. Namun, yang enak ya itu-itu aja.
#2 Harga pecel lele itu terjangkau
Saya membaca perdebatan itu masih dari Mojok, yaitu kenapa warung padang makin murah, tapi warteg mahal. Artinya, ada perubahan harga di sana. Nah, kalau pecel lele, sejak dulu terkenal dengan harga murah. Titik. Nasi sama lele goreng itu biasaya ada rentang harga Rp13 sampai Rp16 ribu saja. Konsisten. Harga terjangkau.
#3 Spesifik tapi ada keragaman juga
Iya, kalau namanya warung pecel lele, menu andalannya sudah bisa kamu tebak. Tapi, sebetulnya, warung ini pasti menawarkan keragaman. Aada ikan bakar, ayam goreng, bebek goreng, sate-satean yang bisa dipanasi, dan lain sebagainya. Variasi menu ini membuat mereka selalu bisa memenuhi selera lidah Jogja di kala malam/
#4 Sisi tradisional yang tetap terasa
Warung pecel lele itu sudah bertahan di Jogja sejak lama. Selama itu pula, mereka mampu beradaptasi dengan selera lidah lokal. Jadi, lantaran sudah lebih dulu ada di sini, mereka akan lebih mudah diterima. Misalnya, sambal yang manis. Siapa, sih, yang nggak suka sambal?
#5 Menawarkan hiburan yang belum tentu ada di warmindo dan warteg
Beberapa warung pecel lele menawarkan hiburan seperti live music. Ya nggak semewah kalau di kafe, tapi kadang ada saja yang “mengamen”. Mereka bukan pengamen jalanan, tetapi grup musik yang rutin main di situ. Faktor ini bisa menjadi magnet bagi pelanggan maupun konsumen baru.
#6 Sudah mapan di Jogja
Tahukah kamu, pecel lele itu sudah lama menjadi penguasa kuliner Jogja, khususnya di kala malam. Maklum, di Jogja, mencari makanan berbasis sayur untuk makan malam itu sulit. Makanya, orang sini sudah terbiasa makan yang “garing” untuk makan malam.
Ingat, mengubah kebiasaan itu nggak mudah. Jadi, menurut saya, warteg akan butuh waktu lama untuk menguasai kuliner Jogja. Itu saja kalai warung pecel lele nggak melakukan inovasi.
Penulis: Ricky Karunia Ramadhan
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Pengalaman Makan di Warteg Kharisma Bahari Tegal dan Kekurangan yang Saya Rasakan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.