Judul: Enggan Jadi Keluarga Fasis
Penulis: Frans Pascaries
Penerbit: EA Books
Tahun Terbit: 2022
Tebal buku: 189 Halaman
Meski tumbuh sebagai generasi 90-an, ingatan saya tentang bagaimana kondisi Indonesia saat itu, terbilang samar. Sejarah tentang pemerintahan bapak pembangunan Indonesia lebih banyak saya ingat karena mendengar dari cerita bapak saya. Ya, bapak saya adalah salah satu korban langsung dari ketidakadilan pada masa itu.
Bermodal pengalaman tersebut, saya jadi membayangkan, seandainya bapak saya adalah seorang penulis, mungkin saja peristiwa sejarah zaman Orde Baru tersebut akan ia hadirkan dalam bentuk tulisan. Persis seperti apa yang dilakukan Frans Pascaries dalam melahirkan buku Enggan Jadi Keluarga Fasis.
Enggan Jadi Keluarga Fasis merupakan sebuah buku unik dan menarik untuk dibaca. Sebab, buku ini adalah kumpulan esai berbentuk surat panjang dari seorang ayah untuk anak perempuannya.
Terdengar lazim? Tunggu dulu. Fyi, nih, buku ini bukan cuma bercerita tentang bagaimana Frans Pascaries bersama sang istri menyaksikan tumbuh kembang sang anak, tetapi juga menyertakan gambaran pergolakan masa lalu dan masa depan Indonesia. Kalian yang suka baca buku sejarah, coba deh baca buku ini.
Secara utuh, Enggan Jadi Keluarga Fasis terdiri dari empat bagian. Bagian pertama berjudul Keluarga Besar, bagian kedua berjudul Jalan-Jalan, bagian ketiga berjudul Timor Leste, dan bagian yang keempat berjudul Bekal Masa Depan. Meski demikian, saya lebih senang membagi buku ini menjadi dua bagian. Pertama tentang keluarga kecil penulis dan yang kedua tentang berbagai macam tempat dan peristiwa yang berhubungan secara langsung dengan kehidupan penulis maupun sebagai satu cerita sejarah yang sudah seharusnya diceritakan kepada generasi penerus.
Di setiap tulisan, Frans Pascaries membuka tulisannya dengan menceritakan keluarga kecilnya. Kalau kalian biasa menemukan tulisan seperti, “Hai, anakku, hari ini usiamu 5 bulan. Sudah bisa…” atau tentang ayah maupun ibu yang menceritakan momen manis pun bersejarah kepada anaknya, tulisan-tulisan seperti itulah yang menjadi pembuka di setiap judul tulisan dalam buku ini.
Bagi saya pribadi, membaca bagian-bagian tersebut jadi bikin terharu sekaligus berbunga-bunga. Terharu karena saya jadi ingat momen tumbuh kembang anak saya. Merasa senang sekaligus khawatir ketika anak sudah bisa memanjat, misalnya. Lalu merasa patah hati luar biasa ketika anak di rawat di rumah sakit, dan merasa betapa pentingnya membiarkan anak mengambil peran dalam aktivitas kehidupan rumah tangga. Di lain sisi, saya merasa berbunga-bunga karena teringat bagaimana bapak saya dulu juga selalu bercerita dengan gaya penceritaan yang sama, bedanya, bapak saya bercerita secara lisan.
Secara keseluruhan, Enggan Jadi Keluarga Fasis juga bisa kita bagi dalam tiga latar waktu: masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, dalam surat panjang kepada anaknya, Frans Pascaries menceritakan pergolakan Indonesia pada masa lalu dan memberi pesan kehidupan kepada anaknya untuk bekal masa depan. Salah satunya tentang betapa berbahayanya hoaks.
Adapun proses tumbuh kembang anaknya, adalah bagian dari masa sekarang yang diceritakan dengan latar masa pandemi. Tentu, masih segar di ingatan kita, berbagai kesulitan ketika pandemi masih begitu kuat memeluk kehidupan. Frans Pascaries yang memiliki usaha warteg pun menceritakan bagaimana sulitnya ia berusaha bertahan pada saat itu.
Untuk sejarah Indonesia—maupun dunia—yang diceritakan, cakupannya cukup luas. Mulai dari soal patung, monumen, dan peninggalan bersejarah lainnya, hingga yang paling banyak adalah tentang Timor Leste (yang ketika masih menjadi bagian dari Indonesia disebut Timor Timur). Pada bagian ini, Frans Pascaries bercerita dari jarak dekat, dari pengalaman hidupnya dan keluarganya yang pernah tinggal di sana. Bapak dari Frans Pascaries adalah salah satu orang yang menyaksikan sendiri bagaimana situasi di negara tersebut saat sebelum, selama, dan setelah jajak pendapat digelar pada tahun 1999.
“Operasi Seroja lantas menjadi awal perjalanan represi yang berujung pada jajak pendapat tahun 1999.” (hal. 116).
Sejarah terkait konflik Timor Tmur yang diceritakan dalam buku ini, bisa jadi pintu gerbang bagi yang ingin tahu lebih banyak lagi. Sebab, meski tidak detail, setidaknya sudah ada gambaran bagaimana masa pendudukan awal hingga bagaimana Timor Timur berusaha merdeka dan lepas dari Indonesia.
“Korban nyawa berjatuhan baik di masa invasi, semasa wilayah itu digabungkan sebagai provinsi kedua puluh tujuh, dan sebelum-selama-setelah jajak pendapat tahun 1999 yang menandai tegaknya kedaulatan Timor-Leste sebagai sebuah negara merdeka.” (hal. 97).
Selain menceritakan dari sisi masa konflik, Frans Pascaries juga menghadirkan Timor Leste sebagai negara tempatnya melewati masa sekolah dengan segala macam suka dukanya. Disebutkan juga bahwa Timor Leste adalah negara tujuan Frans Pascaries bersama sang istri untuk berbulan madu.
Dengan menggabungkan cerita keluarga serta peristiwa sejarah yang berkaitan langsung dengan kehidupan pribadi, Enggan Jadi Keluarga Fasis terasa lengkap. Saat membacanya pun, perasaan jadi campur aduk. Bisa diajak ikut senyum, senang, terharu, bangga, tetapi di sisi lain bisa bikin sedih, merinding, hingga bikin tarik napas panjang. Seperti yang kita tahu, peristiwa di Timor Timur adalah salah satu pelanggaran HAM berat.
Ketika sampai pada tulisan berjudul Enggan Jadi Keluarga Fasis, kita bahkan diajak untuk melihat sejarah luar yang menyangkut banyak nama, salah satunya Adolf Hitler. Lagi, saya dibuat larut dalam cerita sejarah yang diceritakan dan bagaimana Frans Pascaries memberi contoh-contoh mudah dari benih-benih fasisme.
Jika dilihat dari pengertian fasisme menurut kamus Oxford, fasisme adalah sistem atau sikap politik sayap kanan ekstrem yang mendukung pemerintah pusat yang kuat, secara agresif mempromosikan negara atau ras sendiri di atas yang lain, dan yang tidak memungkinkan adanya oposisi (hal.174). Pengertian ini pun disebut hanya sebatas pada politik pemerintahan. Padahal, fasisme bisa terjadi dalam aktivitas sehari-hari.
Tulisan terakhir dengan judul Orang-Orang Biasa menjadi tulisan yang lagi-lagi bikin hati hangat sekaligus sedih. Ada cerita tentang orang-orang biasa yang turut andil dalam pergerakan sosial melawan penjajah. Pesan penutup dari Frans Pascaries kepada anaknya agar menghargai sesama, apa pun kedudukannya, adalah sesuatu yang lazim didengar, dibaca, pun diucapkan, tetapi tetap tidak pernah tergerus nilainya.
Banyak sebenarnya yang ingin saya ceritakan tentang buku ini, tetapi akan lebih menyenangkan rasanya jika kalian membacanya sendiri, lalu kita bahas bersama. Saling bertukar pendapat dan kesan setelah membaca buku ini.
Penulis: Utamy Ningsih
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Biarkan Kematian Merayakan Kehidupan: Kisah tentang Maut dan Hidup yang Saling Bertaut.