Setahun belakangan ini, Netflix menyajikan beberapa drama Jepang yang mempunyai tema mirip. Setidaknya, ada tiga judul serial yang karena kemiripan dan kedekatannya dengan pengalaman, bikin saya merasa relate sekaligus bernostalgia. Drama Jepang yang saya sebutkan di sini bukan tontonan beralur rumit yang butuh berpikir keras. Ketiganya amat ringan, dalam genre slice of life yang bisa kita nikmati disambi setrika, masak, atau bahkan bersih-bersih rumah.
Namun, justru karena disajikan dengan luar biasa ringan, kita jadi mudah merefleksikannya pada pada hal-hal positif yang mestinya kita lakukan sehari-hari. Inspirasi terkadang justru datang dari hal-hal receh yang sering kita anggap remeh, termasuk dari drama.
Berikut ketiga drama Jepang tersebut.
#1 Tokyo Mystery Sake
Mungkin karena diadaptasi dari komik, drama ini punya tema yang lumayan absurd. Ceritanya tentang Yosuke Sugino, seorang aktor penakut yang mendapatkan tawaran program horor. Untuk belajar menghadapi rasa takut, ia memulai hobi aneh, yakni minum sake di tempat-tempat yang dikenal angker.
Sensasi mabuk sake dan rasa ketakutan ketika berhadapan dengan dunia supranatural, jika digabungkan ternyata bisa jadi pengalaman yang menyegarkan. Ini seolah jadi cara agar pikirannya yang suntuk dengan rutinitas bisa jadi lebih terasa ringan.
Mungkin Yosuke perlu mencoba sensasi mabuk ciu di pos polisi. Kayaknya, sih, dampaknya bakal lebih horor lagi.
#2 The Way of The Hot & Spicy
Drama ini menceritakan soal rutinitas kantoran Sarukawa Kenta. Ia seorang sales perusahaan minuman. Sarukawa mesti berinteraksi dengan lingkungan kerja baru yang semua karyawannya adalah penggila makanan pedas. Supaya ia dapat diterima oleh lingkungan barunya, ia mesti memaksakan diri untuk ikut makan berbagai hidangan super pedas di setiap kegiatan makan bersama sepulang kerja.
Sarukawa akhirnya terbiasa dan menemukan kenikmatan dalam makanan pedas. Ia bahkan menemukan filosofi-filosofi hidup baru dalam rasa pedas yang dinikmatinya. Baginya, makanan pedas tak ubahnya tantangan hidup yang harus ia taklukkan setiap hari. Hal ini sekaligus membantunya menemukan solusi dari berbagai masalah dalam pekerjaannya.
#3 The Road to Red Restaurant List
Drama Jepang ini jadi favorit saya. Ia bercerita tentang Tamio Suda, seorang karyawan kantor dengan standar “orang kota”. Ia mendapati bahwa kegiatan akhir pekan bersama keluarga ternyata sulit terlaksana. Pasalnya, istri dan anak perempuannya selalu sibuk fangirling grup idol mereka di akhir pekan. Ini sebuah aktivitas yang sulit baginya untuk ikut menikmati.
Akhirnya, demi melepas stres karena kesibukan kerja, ia memutuskan untuk pergi ke tempat wisata di luar kota. Ketika mencari sarapan keesokan harinya, ia menemukan sebuah kedai lokal yang menyediakan makanan-makanan enak, tapi tampak kurang populer. Selain itu, kedai-kedai ini tidak jelas sampai kapan akan terus buka. Nah, kegiatan mencari kedai lokal yang nggak jelas nasibnya inilah yang jadi hobi barunya dia akhir pekan.
Jika kita perhatikan sepintas, benang merah dari ketiga drama ini hanyalah tentang budaya kuliner. Selalu ada tema tentang sesuatu yang dikonsumsi, mulai dari sake, makanan-makanan pedas, hingga kedai-kedai enak yang terancam tutup. Namun, jika kita perhatikan lebih dalam, sesungguhnya ketiga drama ini juga membicarakan budaya kerja di Jepang.
Nuansa kantoran amat kentara di tiga drama ini. Hal ini membuat saya bernostalgia dengan pengalaman pernah bekerja di kantor milik Jepang pertengahan dekade lalu. Terlebih, ada adegan-adegan di dalamnya yang sama persis dengan apa yang pernah saya alami.
Dalam The Way of The Hot & Spicy, misalnya, ada adegan di mana bos di kantor Sarukawa bekerja membagikan makanan ringan ketika para bawahannya yang mesti lembur. Ini pernah saya alami. Para bos saya dulu selalu membagikan beberapa jenis jajajan Jepang ketika anak buahnya lembur hingga malam hari.
Meski cuma jajanan, pemberian semacam ini terbukti cespleng dalam membangkitkan semangat para karyawan yang sedang lembur. Ini bukan masalah nilai makanan ringannya, tapi kebiasaan membagi camilan ini menunjukkan solidaritas atasan kepada anak buahnya yang sedang bekerja keras.
Apalagi jika kita mengetahui bahwa para bos ternyata juga ikut bekerja, bahkan lebih keras dari bawahan-bawahannya. Ini membuat kita merasa tidak sedang berjuang sendirian ketika lembur. Dengan kondisi seperti ini, semangat kerja jadi semakin terpacu, bahkan walaupun kita digaji ngepres.
Orang Jepang memang terkenal dengan obsesinya akan kerja. Itu pula yang saya rasakan ketika bekerja bersama mereka beberapa tahun lalu. Walaupun dalam beberapa hal ada kebiasaan yang menurut saya agak keterlaluan, tetap mustahil dimungkiri bahwa budaya dan etos kerja mereka memang luar biasa kuat.
Baik Yosuke Sugino, Sarukawa Kenta, dan Tamio Suda dalam ketiga drama tadi, semuanya menunjukkan citra pekerja yang berdedikasi. Setidaknya, citra ini sesuai dengan ingatan saya akan situasi kerja di kantor Jepang dulu. Etos kerja dan dedikasi mereka membuat kita sungkan untuk bermalas-malasan, bahkan untuk sekadar mengecek media sosial di ponsel saat jam kerja.
Bekerja bagi kebanyakan orang Jepang bukan lagi tentang diperah korporasi atau ditekan atasan, tapi bekerja telah menjadi passion itu sendiri. Memberikan kontribusi terbaik di setiap pekerjaan adalah bagian dari harga diri. Sementara setiap bidang kerja adalah mahakarya yang mesti diberikan dedikasi maksimal oleh semua karyawan.
Memang, sebagaimana digambarkan dalam ketiga drama tadi, tidak semua orang Jepang punya etos kerja yang ketat seperti itu. Namun faktanya, etos yang demikian keras telah menjadi budaya kerja di kantor-kantor mereka. Tentu saja, etos kerja yang luar biasa kuat ini bukannya tanpa masalah. Sering muncul pembicaraan mengenai fenomena overwork alias bekerja terlalu keras sehingga banyak pekerja yang jatuh sakit bahkan meninggal.
Mungkin, justru itulah yang sedang dibicarakan tiga drama di atas. Di antara beratnya beban kerja, para pekerja berhak punya kesempatan bersenang-senang sesuai caranya masing-masing. Ketiga drama ini sebenarnya sedang menyarankan para pekerja untuk “get a life”, menemukan kesenangan hidup di luar pekerjaan. Bagaimanapun, kesenangan mesti dicapai agar ketika jam kerja dimulai, kita bisa berfungsi dengan baik dalam pekerjaan tanpa ada pikiran kemrungsung dan stres yang mengganggu.
Inilah mengapa dalam ketiga drama ini muncul cara-cara aneh dalam menghabiskan waktu luang. Mulai dari berburu kuliner di kedai tak jelas hingga minum sake di tempat angker. Semua itu menunjukkan kreativitas para pekerja dalam mencari penghiburannya masing-masing.
Toh, siapa yang bisa melarang? Kalau sudah work hard, ya party harder, dong!