Berbohong itu perbuatan tercela. Semua pemeluk agama apa pun pasti sepakat tentang itu. Bahkan, (kayaknya) orang ateis pun setuju. Meski dalam kondisi tertentu, ada bohong yang diperbolehkan. Bohong putih, istilahnya. Konon katanya, orang boleh berbohong ketika dalam kondisi terdesak atau untuk menghindari perselisihan.
Selain bohong putih tadi, ada juga bohong yang pakai data statistik. Kalau bohong model begini, kelihatan lebih ilmiah karena menggunakan data dan angka. Jadi, bohongnya ini seakan-akan terlihat benar, tapi kalau ditelusuri lebih dalam, justru ngaco dan nggak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
Kalau kamu penasaran gimana caranya bohong pakai data statistik, begini caranya. Tapi, ini bukan ngajarin, loh, ya. Gawat juga, kan, kalau teknik ini dipraktikkan dan saya kena dosa jariyah. Saya cuma menjelaskan saja, kok.
Misalnya, saya diminta Mojok untuk melakukan riset. Tapi, hasil risetnya harus sesuai dengan keinginan Mojok. Pokoknya, Mojok harus kelihatan wow dibandingkan media lain. Caranya gimana? Guampang buanget. Ini, nih, yang bakal saya lakukan.
Pertama, memilih sampel yang bias. Saya akan melakukan riset apakah orang-orang di Indonesia ini membaca Mojok setiap hari. Sampel yang diambil 100 orang, tapi orang-orangnya adalah penghuni grup WhatsApp Mojok yang memang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Hasilnya sudah bisa ditebak, dari 100 orang tadi, pastinya sebagian besar membaca Mojok tiap hari. Lah, wong tiap hari nulis dan ngecek artikelnya tayang di Mojok atau nggak, ya, kan?
Misalnya, dari 100 orang tadi, sebanyak 90 orang benar-benar membaca Mojok tiap hari. Maka, saya tuliskan kesimpulan dari hasil riset bahwa 9 dari 10 orang Indonesia membaca Mojok setiap hari. Meski terlihat benar, tapi ini nggak memenuhi kaidah statistik. Pertama, sampelnya terlalu sedikit. Kedua, sampelnya nggak heterogen dan nggak mewakili seluruh populasi.
Kedua, mengkondisikan sampel. Okelah, saya akan pilih sampel acak dan jumlah yang banyak supaya memenuhi kaidah statistik. Tapi, sampelnya dikondisikan terlebih dahulu. Misalnya, saya ambil 500 orang PNS di Jogja sebagai sampel. Sebelum riset, saya minta sampel membaca tujuan dan aturan riset yang ada di Mojok.
Nah, ketika riset, saya akan bertanya apakah dalam seminggu terakhir ini membaca Mojok. Saya yakin, 100% sampel akan menjawab iya. Lah, wong mereka sebelumnya baca tujuan dan aturan riset di Mojok, kok. Dari hasil riset ini, saya akan berkesimpulan bahwa Mojok adalah media yang paling banyak dibaca oleh PNS di Jogja dalam seminggu terakhir ini.
Ketiga, memanipulasi secara visual. Misalnya, dari hasil riset diperoleh data bahwa yang suka baca Mojok ada 80 orang sedangkan media lain 60 orang. Memang, sih, sekilas Mojok terlihat unggul. Tapi, supaya unggulnya lebih dramatis, data bisa disajikan dalam bentuk grafik. Coba, deh, lihat kedua grafik ini.
Pastinya, saya akan memakai grafik nomor 2. Alasannya, di grafik nomor 2 itu, Mojok lebih terlihat jauh lebih unggul daripada grafik nomor 1. Padahal, pada dasarnya kedua grafik itu sama saja, kok. Yang berbeda dari situ ukuran skalanya saja.
Nah, itulah teknik berbohong menggunakan data statistik. Makanya, kalau ada lembaga riset/survei mengumumkan hasil riset/surveinya, jangan langsung percaya, ya. Lihat dulu sampel dan metodologinya apakah memenuhi kaidah statistik atau nggak.
Jangan malu-maluin macam Pilpres kemarin. Masing-masing capres, kok, bisa mengklaim menang versi quick count? Bohong pakai data statistik memang lebih kelihatan pintar, tapi, ya, nggak sampai gitu juga kali. Hadeh.