Membaca buku-buku nonfiksi konon lebih susah untuk dirampungkan daripada buku fiksi (novel maupun antologi cerpen). Saya pun sempat berpikir dan mengalami hal demikian sehingga lebih mudah mengeluarkan uang untuk membeli yang kedua daripada yang pertama.
Namun, kenyataannya tidak seburuk itu. Tergantung cara kita menikmatinya, seberapa menarik topik yang dibahas, dan yang tidak kalah penting, bagaimana buku nonfiksi itu ditulis. Sebenarnya juga tergantung siapa yang menulis, tapi saya yang masih di level pembaca ini, kalau menyertakan hal ini kok rasanya sok banget.
Lalu, lenyapnya pikiran tentang betapa susah menamatkan buku nonfiksi terjadi saat saya membaca kedua jilid buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karangan Pramoedya Ananta Toer. Ya, di buku itu Pak Pram menuliskan pengalamannya saat ditahan di Pulau Buru. Dengan gaya naratifnya yang begitu runut, menjadikannya mudah diikuti.
Pokoknya buku nonfiksi tidak semuanya membosankan. Bahkan itu bisa memberi kenikmatan sebagaimana kita membaca novel. Seperti yang saya dapatkan juga dari proses membaca Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya milik Dea Anugrah, atau Usaha Menulis Silsilah Bacaan-nya Eka Kurniawan.
Saya kira buku-buku itu sangat menarik dan mudah diikuti karena ditulis oleh penulis fiksi. Ya, kita tahu bagaimana Pak Pram dengan gaya penulisan yang begitu asik di novelnya, Kak Dea dalam cerpen-cerpennya juga bernas, dan Mas Eka dengan gaya bahasa yang mudah dipahami di setiap karyanya.
Nah, di 2021 ini ada kabar menggembirakan mengenai akan terbitnya buku-buku non iksi dari penulis fiksi juga. Yang saya pikir akan mudah juga untuk dinikmati sehingga kita harus memilikinya. Dan berikut buku-buku yang saya maksud itu.
#1 Adakah Air Mata untuk Orang-orang Tak Bersalah, Linda Christanty, Buku Mojok
Kita tahu esai-esai beliau yang nongol di Kompas atau media lain sering mengulas tentang sejarah, antropologi, kebudayaan, dan hal lain di Indonesia secara mendalam. Atau yang secara mau-mau bisa saya singkat dengan, tentang kehidupan manusia. Nah, buku yang akan terbit pada 11/01/2021 ini kabarnya adalah kumpulan dari esai tersebut, ditambah beberapa catatan termasuk yang ditulis di media sosial Mbak Linda. Dan, judul buku tersebut juga dipilih dari salah satu judul esainya.
Sudah muncul dan bisa dibaca di media kenapa harus memiliki bukunya? Saya juga dulu berpikiran seperti itu saat ada kumpulan tulisan yang sudah pernah tayang di suatu media. Namun, tentu ada perbedaan dalam hal pengeditan yang sedikit-banyak berpengaruh terhadap kenikmatan membaca.
Juga, yang tak kalah penting adalah pemilihan tulisan-tulisan dari yang sekian banyaknya milik Mbak Linda itu menjadi hanya satu buku (31 judul). Dalam hal ini, tim editorial Buku Mojok sebagai penerbit atau Mbak Margareth Ratih Fernandez sebagai pemilih judul mana yang akan dimasukkan, tentu punya kriteria tersendiri yang secara tidak langsung akan berpengaruh juga pada kesan yang akan didapatkan pembaca setelah menamatkan buku ini.
#2 Tukang Cukur Presiden, Gabriel Garcia Marquez, Penerbit Circa
Siapa yang tidak akrab dengan nama beliau? Ya, peraih Nobel Sastra 1982 itu adalah maestro dalam dunia novel. Sang pelopor genre realisme magis yang diikuti oleh banyak penulis fiksi hari ini, katanya.
Novel-novel beliau, konon begitu dahsyat karena dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai seorang jurnalis. Nah, oleh sebab buku ini adalah karyanya di bidang jurnalistik, mari kita buktikan mitos tersebut yang sebenarnya tak perlu juga, sih.
Menurut apa yang pernah saya baca (tapi lupa baca di mana), novelnya yang berjudul The General on His Labyrinth merupakan versi fiksi dari produk jurnalistiknya tentang Jenderal paling dihormati di Kolombia, Simon Bolivar.
Dari situ, saya beranggapan bahwa terjemahan 15 tulisan nonfiksinya di buku yang akan diterbitkan oleh Penerbit Circa pada Januari ini, tentu akan semenakjubkan novelnya. Dan sudah barang tentu pula, hal-hal yang menakjubkan haruslah kita miliki. Tapi, nabung dulu, yhaaa!
#3 The Anthropocene Reviewed, John Green, Dutton Penguin
Yang terakhir ini, saya rekomendasikan secara subjektif belaka. Hahahaha. Ya sebab, saya kan fans berat beliau gitu. Tapi, bukan berarti tanpa alasan lain.
Jika kamu pernah membaca satu saja novel John Green, saya hampir yakin kamu masih ingat persis karakter dan jalan ceritanya. Sebab, cara beliau menggambarkan karakter dan plot begitu mengesankan. Bahasanya enak diikuti dan pokoknya bukan kaleng-kaleng!
Nah, buku ini adalah karya nonfiksinya yang pertama. Saya sebagai fansnya sangat excited dengan kabar ini. Akankah tetap mengesankan? Saya yakin sih, pasti begitu.
Selain itu, menurut penuturan beliau di kanal YouTube-nya, buku ini lahir dalam masa rehatnya yang jenuh menulis fiksi, terutama dalam proses penggarapan novel keenamnya.
Buku yang akan diterbitkan oleh Dutton Penguin pada 18/05/2021 ini, merupakan adaptasi dari podcastnya di layanan audio streaming online dengan judul serupa. Yang mengulas tentang bagaimana aktivitas manusia telah membangun planet ini dan keanekaragaman hayatinya.
Selain itu, perlu diketahui juga bahwa ia membangun karir sebagai penulis novel diawali dengan tulisan-tulisan nonfiksi, terutama tulisan kritik sastra, yang dimuat di New York Times atau The Guardian.
Namun, buku ini terbit dalam bahasa aslinya yaitu Inggris. Meski demikian, terbuka juga kesempatan untuk menerjemahkan lalu menerbitkannya di Indonesia. Cuan, Bos!
Sebagai penutup, oleh karena ini adalah rekomendasi mengenai sesuatu yang belum ada, maka semua itu hanyalah dugaan saya yang dilandasi riset kecil-kecilan di akun media sosial penerbit. Meski begitu, tidak ada salahnya untuk memiliki buku-buku itu sehingga sejarah membaca kita beragam dan tidak membaca buku fiksi melulu.
BACA JUGA Nadin Amizah dan Twit-nya yang Sok Bela Kesenian dalam Negeri dan tulisan Fadlir Nyarmi Rahman lainnya.