3 Bantahan untuk Komentar Netizen yang Keliru Perkara Integrasi NIK Jadi NPWP

NIK jadi NPWP

NIK jadi NPWP

Belum lama ini jagad media online dihebohkan dengan rencana pemerintah menjadikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang berlaku mulai 2023. Draf beleid berwujud Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) itu baru saja ketuk palu dalam rapat paripurna DPR RI dan tinggal menghitung hari untuk diundangkan.

Sebagai langkah awal, pemerintah telah menerbitkan Pepres Nomor 83 Tahun 2021 tentang Pencantuman dan Pemanfaatan NIK dan/atau NPWP dalam Pelayanan Publik. Lebih tepatnya pemerintah akan mengawinkan NIK dan NPWP menjadi satu entitas dalam setiap pelayanan publik.

Seperti biasa, kebijakan pemerintah yang dianggap tidak populer akan mendapatkan pro dan kontra masyarakat, khususnya di dunia maya. Dan bisa ditebak, komentar netizen lebih banyak yang kontra ketimbang yang pro. Hal ini wajar saja, karena kebebasan berpendapat telah dijamin dalam konstitusi kita. Lagipula kebijakan ini terkait dengan pajak yang secara ekonomi akan menurunkan utility (kepuasan) individu. Namun, di antara yang kontra tersebut ada argumen yang menurut daya tanpa dasar.

Ada yang berkomentar lucu tapi sedikit bumbu majas. Bunyinya begini, “Ada NPWP dalam NIK, lumayan dapat setoran pajak bahkan dari bayi yang baru lahir buat bayar utang”, tulis seorang netizen tak ketinggalan dengan emoticon. Ada pula yang nyinyir, dengan berkata bahwa semua akan dikenakan pajak. Bahkan ada pula yang merasa hidupnya akan semakin ribet. Demikian beberapa komentar penduduk dunia maya Indonesia. Intinya mereka mengkhawatirkan pemberlakuan integrasi ini.

***

Komentar netizen tersebut perlu untuk diluruskan. Saya khawatir jika komentar semacam ini tidak diluruskan akan membentuk opini publik yang salah kaprah. Dalam isu integrasi NPWP dan NIK, menurut saya tidak ada hal signifikan yang perlu diresahkan. Sebaliknya, langkah ini perlu diapresiasi karena mengandung banyak benefit bagi negeri ini. Saya akan membedah argumennya satu persatu.

Pertama, komentar jika NIK menjadi NPWP, semua masyarakat akan wajib bayar pajak. Saya prihatin, jangan-jangan preposisi seperti ini keluar dari jempol netizen yang belum ber-NPWP dan tidak tahu apa-apa tentang hal ini. Mengapa saya katakan demikian? Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 Tahun 2008, sudah clear bahwa tidak semua penghasilan dikenakan pajak, ada yang namanya PTKP. Ketentuan itu juga diamini dalam UU HPP yang tetap mengakomodir batasan PTKP. Singkatan dari “Penghasilan Tidak Kena pajak” ini adalah threshold atau batasan penghasilan seseorang untuk dapat dikenakan PPh.

Besaran PTKP ini diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 102/PMK.010/2016 yaitu sebesar 54 juta setahun bagi mereka yang lajang alias tanpa tanggungan. Jika memiliki tanggungan isteri dan anak akan lebih besar lagi dengan tambahan sebesar 4,5 juta setiap tanggungan, sehingga orang yang kawin nol anak (K/0) PTKP nya sebesar 58,5 juta setahun, K/1 sebesar 63 juta, K/2 67,5 juta dan K/3 72 juta setahun. Artinya apa sih PTKP? Artinya bahwa jika penghasilan kita masih di bawah PTKP tersebut, haram untuk dikenakan PPh alias tidak bayar pajak.

PTKP di atas hanya berlaku untuk karyawan. Lalu bagaimana dengan pengusaha dan pekerjaan bebas? Jika merujuk pada UU HPP, justru dengan hadirnya beleid ini, pengusaha hanya akan dikenakan PPh Final jika omzet atau peredaran usaha brutonya melebihi angka 500 juta setahun. Ilustrasinya begini. Si Joko memiliki omzet 40 juta sebulan, lalu dikali 12 jadilah 480 juta setahun. Apakah Si Joko akan bayar PPh final? Tidak, karena omzetnya masih di bawah threshold 500 juta setahun.

Kita beralih ke Pekerjaan Bebas. Pekerjaan Bebas adalah mereka yang berprofesi sebagai dokter praktik, notaris, pengacara, artis, atlet dan semacamnya. Benar bahwa Pekerjaan Bebas dikenakan PPh sesuai norma perhitungan tanpa threshold. Namun, sejauh ini masih wajar. Pelaku profesi ini adalah kebanyakan dari kalangan menengah ke atas. Mana ada dokter praktik yang melarat? Demikian pula artis seperti Baim Wong, pengacara seperti Hotman Paris, notaris, atlet yang mendadak kaya seperti Greysia Polii dan Apriani Rahayu?

Andaikata pun mereka benar-benar melarat, toh objek PPh adalah penghasilan, bukan profesi. Jadi kalau ada artis yang sudah “tak laku” dan tidak lagi memiliki penghasilan, dijamin tidak bakal bayar PPh.

Saya ingat dalam pelajaran logika matematika sederhana, counter example, mengatakan bahwa untuk membuktikan sesuatu itu salah, cukup dengan satu contoh. Jadi, dengan contoh di atas, cukup bukti untuk menyangkal bahwa semua kalangan masyarakat akan dikenakan pajak akibat penyatuan NIK dan NPWP. Dan tentu saja netizen telah keliru dalam memahami ini.

Kedua, argumen jika NIK dan NPWP bergabung, hidup kita makin ribet. Pernyataan seperti ini sebenarnya lucu dan menggelikan, namun perlu untuk diluruskan juga. Kita mulai dari hal-hal kecil dulu.

Pernah tidak kalian lihat betapa penuhnya dompet kita, meski tak ada uang di dalamnya? Biasanya kita akan dapati beragam corak kartu pelayanan publik berdesakan di dalamnya. Entah itu kartu KTP, kartu NPWP, kartu SIM, KIS, KIP, dan kartu semacamnya yang kadang bikin kita hampir lupa fungsinya apa. Dompet makin tebal, duduk pun tak nyaman.

Lalu korelasinya di mana?

Saya membayangkan jika pemerintah serius menggarapnya, merger antara NIK dan NPWP dapat menjadi batu loncatan Indonesia menuju Single Identity Number (SIN). Apa itu SIN? gampangnya adalah satu nomor identitas untuk semua layanan publik. Tidak perlu memiliki bermacam-macam kartu di slot dompet kita. Cukup dengan satu kartu yaitu KTP untuk semua layanan publik. Saya rasa hal sekecil ini, pelan tapi pasti, akan mengubah kualitas hidup kita menjadi lebih baik. Jadi, jika ditinjau dari sisi praktis, justru dengan bersatunya NIK dan NPWP , lalu lanjut dengan penerapan SIN, ke depannya urusan kita yang terkait dengan pelayanan publik akan semakin mudah.

Bayangkan Si Joko sedang berada di hadapan customer service bank untuk membuat rekening baru. Lalu diminta mengisi nomor NPWP sebagai syarat wajib, Si Joko tinggal mengeluarkan KTP dari dompetnya, beres. Lalu Si Joko balik dari bank, dalam perjalanan tidak sengaja terkena razia polisi lalu lintas, lalu diminta menunjukkan kartu SIM, Si Joko tinggal menyodorkan KTP, beres.

Tiba di rumah, Isteri Si Joko yang sedang hamil tua, pecah ketuban dan harus dilarikan ke rumah sakit karena sudah pembukaan enam, Si Joko lalu mengipas-ngipaskan KTP, beres. Dari ilustrasi tersebut, Saya hanya ingin mengatakan betapa mudahnya urusan administrasi kita jika KTP sudah menjadi NPWP. Apalagi jika telah menjadi Single Identity Number untuk semua jenis layanan publik.

Selain itu, Saya rasa integrasi NIK dan NPWP bukannya mempersulit, justru akan memudahkan pencari kerja dalam memenuhi syarat administrasi. Saya ingat ada beberapa pencari kerja gagal diterima dalam rekrutmen suatu perusahaan dengan alasan sepele: tidak memiliki Kartu NPWP. Jadilah mereka sebagai pengangguran struktural yang disayangkan. Ditambah lagi server pendaftaran NPWP online terkadang eror dan bikin emosi. Dengan integrasi NIK dan NPWP ini para pencari kerja tidak perlu pusing, cukup dengan menggunakan KTP. Lalu ribetnya di mana?

Ketiga, argumen NIK menjadi NPWP dalam rangka penarikan pajak massal. Menurut hemat saya, penarikan pajak massal tidak selalu berkonotasi buruk. Malah akan lebih baik jika tujuannya untuk mewujudkan keadilan dalam distribusi beban pajak. Sekali lagi jika pemerintah serius, integrasi NIK dan NPWP akan berpotensi mengurangi jumlah free rider di muka bumi Indonesia.

Apa sih free rider itu? Free rider yaitu mereka yang maunya hidup gratis di negeri ini padahal mampu dari segi finansial. Ibaratnya pajak adalah hasil patungan rakyat untuk membangun negeri ini. Namun, ada beberapa orang (sebenarnya kaya) enggan untuk patungan, tapi ikut menikmati hasil pembangunan tanpa rasa bersalah. Jadi kita punya harapan penduduk negeri ini akan dipajaki secara adil tanpa ada lagi yang “ngumpet”. Bagi mereka yang selama ini telah tertib membayar pajak akan merasa diperlakukan sama sebagai warga negara.

Dengan berlakunya NIK menjadi NPWP, otomatis semua warga negara Indonesia akan menjadi wajib pajak. Tapi kembali lagi ke argumen awal, tidak semua wajib pajak harus bayar pajak kan? Hanya bagi mereka yang mampu dari segi penghasilan. Justru bagi yang tidak mampu akan mendapatkan pajak negatif alias subsidi. Ini akan menghadirkan rasa keadilan ekonomi (equity) di tengah masyarakat.

Itulah beberapa bantahan atas keresahan para netizen terkait penyatuan NIK dan NPWP. Semoga yang resah menjadi tenang dan sadar akan perlunya tabayun. Meminjam istilah pak Mardigu Wowiek, Jangan-jangan kita berkomentar kosong tanpa dasar karena mainnya kurang jauh atau karena kopinya kurang pahit.

Sumber gambar: Pixabay

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version