3 Album Band Pop Punk yang Ubah Hidup Saya

“Dengerin lagu pop punk kalau orang tua nggak cerai atau nggak broken home itu agak kurang related, ya?” begitu kata kawan saya SMP. Sehabis ia minta lagunya Last Child via Bluetooth. Saya hanya bisa senyum-senyum kecil, apalagi pas dia bilang begini, “Lha kamu enak, keluargamu broken home, dengerin lagu begini pasti menyenangkan.”

Enak, ndasmu! Broken home mosok enak.

Di zaman saya, memang sedang banyak-banyaknya band-band pop punk yang mengangkat tema broken home. Seperti yang sudah dikatakan di awal, Las Child adalah salah satu gerbang saya menyelami lagu-lagu pop punk bersama Pee Wee Gaskins dan Rocket Rockers.

Pokoknya, kalau saya mau galau sama kehidupan, saya dengerinnya Last Child. Kalau saya lagi sambat sama masalah dunia sekolah, saya dengerinnya Pee Wee Gaskins. Dan ketika saya bingung masalah cinta, saya dengerin “Ingin Hilang Ingatan”-nya Rocket Rockers. Ada yang lebih bikin perih dari itu?

Padahal, di umur-umur bau kencur seperti itu, masalah hidup hanyalah seputar mendengar pertikaian orang tua di rumah atau PR yang lupa dikerjakan. Sedang band-band pop punk ini, memberikan perasan jeruk nipis di atas luka tersebut. Sepat, perih, pedih, tapi menyenangkan.

Telat sekali saya eksplor lagu-lagu pop punk di luar Indonesia. Blink-182 saja saya mulai preteli ketika ada di bangku SMA, medio 2013-an. Sedang saya tumbuh bersama era underground revival yang rohnya ditiup untuk hidup kembali pada 2012-an. Katakanlah The Story So far, Neck Deep, Real Friends, dan State Champs sedang naik-naiknya.

Bahkan, bassis The Story So Far, Kelen Capener mengatakan kepada The Independent bahwa pop punk itu seperti zombie. Namun, jika boleh saya setir ke dalam versi saya, pop punk setidaknya membuat saya terus merasa jadi anak muda.

Hidup saya menjadi ada artinya ketika saya mulai eksplorasi 3 album pop punk generasi underground revival ini. Berdasarkan beberapa momen, 3 album ini bakalan saya ingat pernah menyelamatkan saya dari beberapa hal pekok yang barangkali nggak bakalan saya ulangi lagi.

Pertama, Under Soil and Dirt album milik The Story So Far. Album ini rilis pada 2011. Di tahun tersebut, saya sedang getol-getolnya mampir di Popeye, toko kaset yang dulu keren sekali. Kalau Anda remaja Jogja yang menghabiskan masa remaja pada 2010-an, tentu Popeye tidak akan asing.

“This quicksand, it pulls me under. It pulls me underneath her,” penggalan lirik menggema terus-terusan di kepala saya. Dulu saya tidak pernah tahu pihak toko memutar lagu apa. Saya hanya bisa menikmati riff gitar, gebuk drum, dan juga pekik teriak sang vokal. Suara yang kata kawan saya waktu itu jelek banget, tapi cocok hinggap di telinga saya.

“Bajingan, ini lagu bagus banget!” kata saya. Hal inilah yang memaksa saya untuk mampir ke warnet, ngeprint lirik-liriknya dalam album, download versi bajakan yang berformat winrar dan bodohnya, ada password yang harus saya pecahkan apa kodenya. Hal yang sama membuat saya menjelajah satu warnet ke warnet, mencari lagu-lagu The Story So Far.

Berkat lagu ini pula membuat saya terkenal satu sekolah karena membawa lagu keren. Dulu, tingkat kekeren seseorang itu ketika menjadi bandar lagu keren dan bakalan ditransfer dari satu ponsel ke ponsel lainnya. Mulai dari Quicksand, Roam, sampai Closure, mengubah saya jadi orang yang lumayan keren di dunia SMP.

Kedua, Life’s Not out to Get You album milik Neck Deep. Untuk pertama kali, saya lebih suka dengan gitaris ketimbang vokalis. Lloyd Roberts, dulu selalu memaksa saya untuk melihat aksinya dan tangannya yang memetik gitar. Mulai dari Warped Tour sampai koser akustik tertutup, saya selalu melihat aksi Lloyd. Ben Barlow? Tentu saja keren, tapi di mata saya waktu itu, Lloyd segalanya di Neck Deep.

Ketika Lloyd tersandung kasus, saya tak takin bahwa band ini bakalan bisa menghasilkan lagu-lagu yang bagus. Perlahan-lahan saya mendengarkan “December”, “Kali Ma”, lantas ke “Gold Steps”. Saya baru menyadari satu hal, nama Neck Deep lebih besar dari nama personal. Bagaimanapun, pada titik itu, saya yakin bahwa band ini akan menjadi besar dan terus besar. Baik dengan Lloyd, maupun tidak.

Kontribusi Life’s Not out to Get You amat banyak. Apalagi jika bukan “December” yang selalu membuat saya menangis tiap akhir tahun mulai dari 2015 sampai 2020. Anehnya, setelah menangis-nangis di bulan Desember, pada Januari tahun baru, saya seakan disuruh mengeluarkan yang terbaik di tahun tersebut berkat lagu “Gold Steps”.

Ketiga, Copacetic album milik Knuckle Puck. “Untitled” menemani saya dari Vietnam sampai ke Thailand. Di kereta yang bergoyang-goyang, jalur timur yang berhimpitan dengan Laut Cina Selatan, memaksa saya menangis dengan lagu tersebut. Perihal hidup, Knuckle Puck mengatakan bahwa, “Everything is copacetic.”

Hampir delapan menit lagu “Untitled”, membawa beberapa fase. Tiga menit awal untuk marah-marah. Apalagi menit ke 2:25, Knuckle Puck dengan lirik “you tore me down” seakan mbisiki, “Nek meh muntab, muntab o!” Pada fase berikutnya, menit ketiga sampai tujuh, kita diberikan waktu untuk leren dan menangis sejadi-jadinya. Memang, lagu yang brengsek!

Evergreen dan Pretense juga layak disorot. Yang unggul dalam album ini dan juga lagu-lagu yang ditulis oleh Knuckle Puck adalah gaya kepenulisan band ini. Sangat pas untuk menggambarkan beragam fase kehidupan. Salah satunya tentu saja kecocokan untuk menutup tulisan kali ini, saya ambil satu penggalan lirik, lirik yang selalu saya pegang untuk melangkah ke depan, “You grew from a seed. Forever strong as a pine tree. Always an evergreen.”

Sumber Gambar: Unsplash

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version