Menertawakan Kemiskinan ala Crazy Rich Surabayans yang Tak Kalah dari Crazy Rich Asians

MOJOK.CO – Setelah viral mengenai film Crazy Rich Asians, belakangan ini muncul thread soal Crazy Rich Surabayans di Twitter. Nah, yang bikin thread cerita lebih detail kisahnya di sini.

“Wah, kita nggak bakal kaya dong.”

“Oh, jadi semua aset sudah dikuasai orang-orang kaya itu?”

“Saya jadi pengen marah baca threadnya.”

“Kalau gini ceritanya, kerja sampe mati juga nggak bakal sekaya mereka.”

Itu beberapa komentar netizen setelah membaca thread #CrazyRichSurabayan saya yang entah kenapa sempat viral beberapa hari lalu di Twitter. Awalnya saya tidak berpikir panjang dan hanya sekadar berbagi pengalaman yang saya pikir cukup ajaib ketika saya mengajar dulu.

Ya, saya merupakan mantan guru TK yang pernah mengajar di suatu sekolah swasta cukup ternama di Surabaya. Kebetulan saya mengajar di sekolah di mana murid-muridnya berasal dari kalangan berada. Sangat berada malahan. Selama 13 tahun mengajar tentu banyak sekali cerita-cerita yang seringkali membuat mulut saya menganga mengenai lebarnya jurang kemampuan ekonomi saya dengan murid yang saya ajar.

Saya lahir dari keluarga biasa-biasa saja. Artinya realitas yang saya hadapi sehari-hari sangat berbeda dari yang murid saya alami. Marahkah saya? Ya nggak dong. Saya dan murid saya cuma beda nasib. Itu saja yang saya pahami. Tapi tidak lantas hal itu membuat saya marah. Yang saya tahu, justru dari mereka saya belajar bahwa hal-hal yang tidak mungkin bisa saya alami.

Salah mereka terlahir kaya? Tentu tidak juga. Saya tidak pernah tahu juga what’s the story behind that led them to that rich condition. Yang saya tahu, semua perjuangan ya pasti berat. Ibu saya dulu pernah bercerita tentang teman sekelasnya yang sebelum sekolah harus menjual kuaci. Yap, kuaci.

Sepulang sekolah masih harus mengasinkan kuaci untuk dijual esok harinya. Demi penghematan, keluarga mereka rela hanya makan bubur. Setelah uang sedikit demi sedikit terkumpul, tetap saja mereka makan bubur sampai modal kembali 2-3 kali lipat, barulah berani makan nasi.

“Pelit ya mereka?” komentar saya saat itu.

Ibu saya tersenyum dan berkata, “Kamu ini yang dilihat kok pelitnya, coba dilihat disiplinnya, etos kerjanya.” Sekarang teman ibu saya itu hidup berkecukupan di Bojonegoro Jawa Timur. Jadi tuan tanah dan punya lebih dari selusin property. Saya jadi sadar, perjuangan itu memang tidak pernah mudah.

Lalu bagaimana saya menyikapi “keajaiban-keajaiban” yang timbul dari para Crazy Rich Surabayans ini?

Sejujurnya saya sih terhibur ya. Entah kenapa lucu sekali buat saya dengan bagaimana entengnya mereka mengeluarkan puluhan juta hanya untuk imunisasi di Jepang atau lebih memilih untuk pulang kampung ke Jerman daripada Bukittinggi.

Enteng sekali mereka bermain-main dengan semua yang hanya bisa menjadi khayalan saya. Seringkali saya mengucap “anjirrrrrrr” ketika berhadapan dengan mereka-mereka ini. Tapi saya tahu, mereka sama sekali nggak bermaksud pamer atau menertawakan kemampuan finansial saya. Yah, mereka hanya menjadi mereka dan berlaku dengan cara yang mereka tahu.

Salah satu contohnya misalnya percakapan saya dengan murid seperti ini:

Soal pergi ke Amerika.

Murid    : Miss, pernah ke Amerika?

Me         : Ya belum pernah lah.

Murid    : (Dengan keheranan yang tak dibuat-buat) Loooh? Kenapa belum pernah? Miss ini miskin tha?

Sejak itu mungkin buat murid saya ini, miss adalah kependekan dari miskin. Baiklah.

Karena Udah Kaya.

Me         : Domo, belajar baca dong. Masa ganteng doang? Ganteng plus pinter, biar nanti kerjanya enak, duitnya banyak, kaya raya.

Domo    : Biar kaya? Buat apa Miss? Kan udah kaya.

Me         : Oh, iya, ya.

Cuma bisa merenung.

Pabrik Es Krim.

Pada suatu hari kelas kami ada acara pot luck dan tiap anak bawa makanan untuk dinikmati bersama-sama. Nah, ada satu gadis kecil, sebut saja Gaby datang bersama mamanya membawa ice box yang sangat besar. Isinya banyak sekali es krim cup yang tidak hanya cukup untuk sekelas, tapi untuk seluruh murid TK A. Saya takjub dong, lalu bicara ke Mama Gaby.

Me                         : Ini kok banyak banget sih, Bu, es krimnya? Saya jadi ngerepotin nih.

Gaby’s Mom      : Ngerepotin apa? Saya kan yang punya pabrik Es Krimnya.

Oh, okeeeyy…

 

Dari cerita Amerika sampai pemilik pabrik es krim semua terjadi natural begitu saja. Saya percaya it’s just them being them yang mungkin berefek “anjayyyyy” pada diri saya. Maka saya pun terkekeh-kekeh kalau mengingat lagi kejadian yang saya alami itu.

Mungkin buat ribuan orang lainnya yang kebetulan mengalami bersinggungan dengan para Crazy Rich Surabayans ini dan relate juga dengan hal-hal yang saya alami, mereka juga tertawa. Yang ditertawakan apa? Lebih pada ketidakmampuan kita. Lebih ke lebarnya jurang kemampuan ekonomi kita, yang meski terasa getir tapi tak bisa dipungkiri selalu mengundang gelak tawa bagi saya.

Akan tetapi, saya tahu, selera humor itu memang berbeda-beda. Apa yang bagi saya lucu, mungkin menjengkelkan bagi orang lain. Apa yang dengan entengnya mereka lakukan dengan semua kelebihan finansial mereka, menjadi semacam penghinaan bagi orang-orang lain yang frustasi menghadapi kerasnya hidup.

Apa yang saya anggap lucu mungkin bagi Crazy Rich Surabayans ini tidak lucu ketika ada orang yang membaca kicauan saya di Twitter mengenai pengalaman ini. Belum lagi asumsi yang ditimbulkan bahwa hampir semua dari mereka memiliki ras yang berbeda dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Di sini saya mengakui dengan jujur bahwa saya kurang “thoughtful”.

Dan untuk itu saya memohon maaf. Pada semua pihak. Baik yang merasa tersinggung dengan besarnya perbedaan yang ada atau mereka yang merasa saya “bongkar” kekayaannya. Mungkin akan ada yang bilang, “Yaelah, serius amat, kita bacanya seneng kok.”

Well, people are people no matter how small they are kan ya? Untuk itu saya merasa berutang maaf pada semuanya. Semoga dengan semua perjuangan kita melawan kerasnya hidup, suatu saat nanti kita semua dapat melepas penat seraya tersenyum bangga, karena meski tak sekaya itu, kita bisa memberi hidup kita makna.

Exit mobile version