PSBB Jakarta, Rem Darurat Kadung Jebol, dan Pemerintah yang Sok Tahu

PSBB Jakarta, Rem Darurat Kadung Jebol, dan Pemerintah yang Sok Tahu MOJOK.CO

PSBB Jakarta, Rem Darurat Kadung Jebol, dan Pemerintah yang Sok Tahu MOJOK.CO

MOJOK.COKeadaan makin darurat, Anies Baswedan akan terapkan PSBB Jakarta lagi. Saat ini, kita tidak bisa lagi berharap kepada pemerintah, tetapi diri sendiri.

Mulai Senin, 14 September 2020, PSBB ketat akan diterapkan kembali di Jakarta. Kebijakan dari Anies Baswedan ini mengakhiri PSBB masa transisi yang penuh omong kosong itu. Permainan istilah memang menyenangkan. Namun, di dalamnya tidak ada isi. Bukan hanya di Jakarta saja, tetapi di seluruh Indonesia.

Satu hal yang bikin saya sedih bisa kamu temukan di kalimat Anies Baswedan. “Maka dengan melihat kedaruratan ini maka tidak ada banyak pilihan bagi Jakarta kecuali menarik rem darurat sesegera mungkin,” kata Anies, seperti dikutip Detik.

Bagian “…tidak ada banyak pilihan bagi Jakarta…,” ini mengagetkan saya. Kalau pemerintah saja tidak bisa mencari solusi, bagaimana dengan warga. Oya saya lupa, terkadang pemerintah bikin ribet diri sendiri. Ketika keadaan makin kacau, warga yang disalahkan. Mulai dari kedisiplinan warga untuk mengenakan masker sampai berhimpun di tempat terbuka. Pokoknya yang bikin kacau pemerintah, yang salah selalu rakyat.

Kenapa saya bilang begitu? Karena pemerintah sok tahu. Sejak awal. Ini bukan soal Anies Baswedan, tetapi siapa saja yang duduk di bangku panas itu dan punya kuasa untuk membuat kebijakan. Saya tidak perlu menjelaskan lagi bagaimana pemerintah meremehkan Covid-19 sejak awal, bukan?

Pemerintah sangat sok tahu. Bagi mereka, terlambat itu tidak masalah. Toh kelak kalau keadaan kacau, yang mati cuma rakyat, bukan mereka. Ketika rakyat berteriak, misalnya lewat media sosial, buzzer pemerintah maju dengan wajah-wajah munafik itu untuk membunuh opini. Terlambat tidak masalah, yang jadi percobaan akan kemunafikan tetap rakyat.

Pemerintah sok tahu, dengan bikin kalung anti-corona. Kita tahu yang melanda dunia adalah virus. Apa, sih, guna kalung kayak flashdisk yang dikalungkan di leher itu? Toh sampai sekarang tidak ada manfaatnya selain hambur-hamburkan duit rakyat.

Ade Rai, di podcast Deddy Corbuzier menegaskan ke-sok tahu-an pemerintah. “What gets us into trouble is not what we don’t know. It’s what we know for sure that just isn’t so.” Hal yang bikin kita dalam masalah bukan sesuatu yang tidak kita ketahui. Yang bikin kita susah adalah hal-hal yang kita anggap benar, tetapi sebetulnya salah. Eh, sudah salah, tetap dikerjakan. Ya soal kalung anti-Covid-19 itu contohnya. Kenapa kebijakan yang secara logika tidak akan berguna tetap diteruskan?

Kita, umat manusia bertarung dengan sebuah “benda” di ruang gelap. Tidak kelihatan tetapi bukan berarti tidak ada. Kalau Anies bilang PSBB Jakarta akan dilakukan lagi dengan analogi menarik rem darurat, menurut saya, rem darurat yang beliau maksud sudah kadung jebol, kok. Sudah jebol sejak pemerintah Indonesia meremehkan sesuatu yang ada di ruang gelap itu.

PSBB Jakarta hanya satu aksi dari rangkaian kejadian yang akan terjadi kelak. Saya rasa, PSBB Jakarta akan ditiru oleh daerah lain. Ketika keadaan makin kacau, tidak ada pemimpin daerah yang mau citranya rusak karena daerahnya jadi “kawasan hitam”.

Pilihannya ada dua, antara mencontoh PSBB Jakarta atau memanipulasi data sehingga kawasannya tidak terlihat hitam. Apalagi jelang pilkada serentak di awal Desember 2020. Tidak ada pemimpin daerah yang mau dianggap gagal menyelenggarakan pesta demokrasi. Mark my word!

Fanatisme pendukung calon, misalnya, akan membuat banyak orang abai dengan keselamatan. Mereka akan ikut turun ke jalan untuk memenangkan seorang calon. Sikap seperti itu sudah terlihat di momen pendaftaran resmi di KPU daerah. Bahkan di Surabaya, ada seorang calon yang positif Covid-19. Inilah yang saya maksud rem darurat itu sudah jebol. Sudah tidak ada kesadaran untuk saling menjaga antara sesama manusia.

PSBB Jakarta diterapkan karena pertambahan kasus konsisten di seribu orang lebih per hari. Bisa ketahuan karena ada tes massal. Pertanyaannya, seberapa bagus tes massal Indonesia? Sangat buruk, jawabannya. Saat ini, tes massal Indonesia 4 kali lebih rendah ketimbang India, 8 kali lebih rendah ketimbang Brasil, dan 30 kali lebih rendah ketimbang Rusia. Padahal, kasus Covid-19 di Indonesia semakin tinggi dibandingkan banyak negara.

Dari sini saja kita tahu prioritas negara ada di mana sejak awal. Bukan keselamatan rakyat, tetapi ekonomi (dan posisi atau citra para penguasa).

Covid-19 memperlihatkan kepada kita tentang kualitas mereka-mereka yang memangku jabatan. Kita tahu prioritas mereka bukan nyawa rakyat sejak awal. Kita tahu kalau busuknya mereka akan terus dipertahankan lewat intrik-intrik politik. Apakah kita harus bersyukur pandemi ini membuat kita bisa melihat hitamnya hati para penguasa? Tentu tidak, karena kematian 1 orang sudah terlalu banyak, mengutip kalimat Anies menjelang PSBB Jakarta.

Oleh sebab itu, yang bisa diandalkan hanya diri sendiri dan sesama. Ya, harus dua sisi yang saling menguatkan: diri sendiri dan sesama. Tidak bisa kita egois dan hidup sendiri. Sebuah kalimat yang lemah dan terdengar sok bijak. Namun tidak bisa ditampik, manusia tidak bisa hidup sendirian.

Semakin mendekati akhir tahun, orang-orang jadi makin gampang marah, makin mudah tersinggung. Apakah pembaca juga merasakan perubahan itu? Ada yang menganalisis penyebabnya dari sisi kebatinan, ada yang dari sisi astrologi. Kita tidak tahu pasti. Saya pun tidak bisa menjawabnya secara jelas.

Satu hal yang bisa saya tegaskan adalah respons manusia menentukan kejadian setelahnya. Kalau kita merespons dengan hati yang sejuk, kejadian yang mengikuti pasti juga sejuk. Meski prosesnya panjang, tetapi cinta kasih itu yang perlu kita tularkan. Jangan sok tahu seperti pemerintah, jangan meremehkan seperti mereka yang memangku jabatan.

Tidak ada yang bisa diharapkan dari pemerintah selain kontroversi dan kebusukan selanjutnya. Yang bisa kita harapkan adalah keluarga dan tetangga kanan dan kiri. Tulisan ini pasti akan tenggelam oleh tulisan soal kontroversi lainnya. Namun, setidaknya, saya sudah berkontribusi secara jernih dengan mengajak kamu semua untuk memelihara cinta kasih.

Hari-hari ke depan akan begitu berat. PSBB Jakarta hanya satu kejadian dari rangkaian tragedi yang mungkin sudah siap terjadi di depan mata. Di tengah kegelapan itu, cinta kasih yang akan jadi penuntun kita semua.

BACA JUGA Kondisi Makin Mengkhawatirkan, Jakarta Akhirnya Kembali Berlakukan PSBB Total atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version