Penistaan Agama Tretan Muslim – Coki Pardede: Dilema Candaan Soal Agama

penistaan agama tretan muslim coki pardede MOJOK.CO

MOJOK.COKonten Youtube Tretan Muslim dan Coki Pardede dipermasalahkan. Adegan memasak babi dan kurma dianggap penistaan agama. Kamu semua setuju?

Tretan Muslim dan Coki Pardede tengah merasakan situasi di-“Ahok”-kan. Gaya mereka ketika membuat konten untuk Majelis Lucu di Youtube menyinggung banyak orang. Celakanya, baik konten dan mereka yang tersinggung semuanya berkaitan dengan agama. Sebuah topik paling sensitif di Indonesia.

Lima tahun ke belakang, perdebatan soal agama sangat berpotensi menjadi diskusi yang tidak lagi sehat. Manusia menjadi lebih mudah panas ketika berdebat soal agama. Ungkapan “agamaku ya agamaku, agamamu ya agamamu” sudah bergeser menjadi “agamaku ya harus kamu turuti”. Apakah panasnya dunia politik punya andil? Saya rasa demikian.

Agama menjadi sebuah kendaraan atau bahkan alat untuk menjaring suara. Ide dan gagasan bukan jualan yang seksi. Agama, ras, suku, keturunan, hingga kehidupan pribadi adalah barang-barang yang lebih paten dijadikan magnet suara ketika pemilihan umum. Sekat dan level toleransi terhadap sesuatu menjadi kabur. Bahkan menjadi terbatas. termasuk toleransi kita terhadap candaan. Tretan Muslim dan Coki Pardede sedang merasakan branding penistaan agama itu.

Tunggu dulu. Jangan keburu ngegas begitu. Konten yang diunggah oleh Tretan Muslim dan Coki Pardede memang bermasalah. Ini perlu kita sepakati dahulu. Nah, kalau sudah sepakat, kita bisa membuka jendela-jendela diskusi sejuk yang berukuran sangat kecil itu.

Konten milik Tretan Muslim dan Coki Pardede diberi tajuk “memasak”. Mereka memasak daging babi dipadukan dengan kurma. Daging babi mewakili orang-orang kafir dan menu yang diharamkan oleh Islam. Sementara itu, kurma merupakan representasi muslim. Atau, seperti yang keduanya sebut: sangat Timur Tengah.

Kira-kira begini dialog mereka yang dianggap sebagai penistaan agama:

“Untuk pertama kalinya dalam hidup saya melihat daging babi. Nggak bau ya. Coba kita dengarkan, neraka, neraka, api neraka, babi ini neraka. Saya akan memasak daging babi. Ini keren ya seorang chef memasak tanpa dicicip. Kalau orang Islam bagian terbaik dari babi, dibuang. Tidak ada yang terbaik dari alharamin. Karena daging babi haram, kita akan campurin unsur-unsur Arab, kurma, dan madu. Sangat Arab, sangat Timur Tengah sekali. Kira-kira apa yang terjadi makanan haram babi ini dicampur dengan makanan barokah dari kurma dan madu,” kata Tretan Muslim.

Coki Pardede menimpali pancingan Tretan Muslim dengan:

“Sebenarnya karena persiapannya kurang prepare ya, kalau bisa dapatin air zam-zam kan menarik juga dong. Ada daging babi dicampur ini minumnya air zam-zam. Jadi bagaimana ceritanya kalau sari-sati kurma masuk ke dalam pori-pori apakah cacing pitanya akan mualaf. Kita tidak tahu dong. Dalam ini kan ada cacing pita,”

Membaca kalimat di atas, saya pribadi bisa merasakan kelucuan yang dikejar. Bagaimana mungkin, cacing pita, yang diguyur air zam-zam dan dikolaborasikan dengan kurma dan madu, bisa menjadi mualaf. Apa agama cacing pita? Mengusik logika semacam ini memang salah satu pakem dunia “stand-up comedy” yang membesarkan nama keduanya.

Dunia lelucon Indonesia berkembang semakin cepat ketika Warkop DKI menguasai layar-layar bioskop. Dari candaan bernuansa kritik kepada pemerintah Orde Baru, lalu mulai banyak bumbu erotisme, Warkop DKI menjadi legenda. Selanjutnya, dunia perlucuan Indonesia diwarnai oleh Opera van Java yang kental aura slapstick atau goyunan yang banyak mengeksploitasi fisik pemain.

Setelah dua periode tersebut, muncul “stand-up comedy”. Cara bercanda yang mengadopsi guyonan ala barat. Tidak ada slapstick di sana. Beberpaa pakemnya adalah pembalikan logika, mengusik logika, kritik yang dibungkus dengan punchline cerdas, dan yang paling keras: soal gender dan agama. Semuanya terjadi dalam ranah komedi.

Menurut KBBI, kata “komedi” berarti sandiwara ringan yang penuh dengan kelucuan meskipun kadang-kadang kelucuan itu bersifat menyindir dan berakhir dengan bahagia.

Konten penistaan agama yang dibawakan oleh Tretan Muslim dan Coki Pardede adalah sebuah sindiran perihal suasana intoleran yang sedang panas-panasnya di Indonesia. Analogi yang mereka gunakan, jujur saja, sangat cerdas. Bahan yang digunakan bisa dinarasikan secara tepat. Namun, sekali lagi, yang mereka sentuh adalah jendela toleransi agama yang saat ini semakin mengecil.

Sensitivitas humor manusia menjadi semakin kabur. Semuanya dengan gegabah dimasukkan dalam dikotomi “kita” dan “mereka”. Bahkan “kita” dan “mereka” bukan lagi lintas agama, tetapi terjadi di dalam agama itu sendiri. Berbeda pandangan, berbeda cara bercanda, status “bukan golongan kami” langsung terbentuk.

Tidak mungkin ada pembauran di sana. Hal yang prinsip dan pribadi menjadi tema-tema yang harus dibahas secara terbuka. Hal-hal pribadi menjadi milik umum dan dinilai. Padahal, isi dalam hati adalah milik si individu dan Tuhan-nya sendiri. Dan yang pasti, beragam kita menjadi kaku.

Kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Tretan Muslim dan Coki Pardede menjadi sebuah peringatan bahwa di masa depan, ranah bercanda manusia akan semakin sedikit. Atau bahkan, para komika, atau para pegiat humor Indonesia, akan dipaksa tidak lagi menyentil soal agama. Padahal, jika dinikmati dengan pikiran yang jernih dan hati yang tenang, sindiran-sindiran soal agama itu sangat mengena. Dan tentu saja lucu.

Oya, kalau Tretan dan Coki dianggap penistaan agama, saya titip pesan saja. Tolong itu koruptor yang “terlihat agamis” dihukum lebih berat. Penistaan agama yang mereka lakukan jauh lebih parah ketimbang sindiran yang dibalut komedi.

Nampaknya, perdamaian dunia, kelak akan tercipta ketika kita bisa menertawakan agama bersama-sama. Karena Tuhan tahu isi hati kita. Isi hati para manusia penuh canda dan niat membahagiakan orang lain dengan membuat mereka tertawa.

Exit mobile version