Kultur Lodse, Warung Ijo Kukut Meninggalkan Kegilaan

warung ijo mojok.co

MOJOK.COWarung Ijo di Jalan Kaliurang resmi tutup untuk selamanya. Sebuah warung penjaga kultur lodse, kultur silaturahmi murah meriah dan penuh tenggang rasa.

Saya terlahir di tengah keluarga dan lingkungan yang agak rock and roll. Hampir setiap kali kumpul keluarga, selalu ada “perjamuan” yang terjadwal. Mulai dari bir yang ringan-ringan saja, sampai oplosan dengan kadar alkohol agak tinggi. Sebuah kultur, yang saya berani bertaruh sangat jamak terjadi di Indonesia ini.

Kumpul keluarga hingga kumpul teman, di rumah hingga di kampus, alkohol merupakan alat mempererat tali silaturahmi. Jangan salah, ketika dikonsumsi secara terukur dan teratur, alkohol bukan biang kejahatan. Kamu perlu tahu, salah satu bahasa slang di kampus medio 2000an awal adalah: “Vodka: connecting people”, sebuah plesetan dari tagline Nokia, merek hape.

Enggak di rumah, enggak di kampung, enggak di kampus, alkohol tidak pernah absen ketika kami berkumpul bersama.

Saya kuliah di sebuah kampus swasta di Jogja. Dulu, sebelum renovasi besar-besaran, kampus ini punya satu tongkrongan yang menyenangkan. Mahasiswa lama memberi nama “Halte” untuk tempat nongkrong ini. Kursi dari beton yang saling berhadap-hadapan memang membikin tempat ini seperti halte pada umumnya.

Kamu, pembaca sedikit tua pasti tahu kampus mana yang saya maksud. Kalau kamu tahu “Halte”, berarti kamu pernah, setidaknya satu kali, menyaksikan mahasiswa klesetan di lantai karena terlalu mabuk untuk masuk kelas. Ini sebetulnya aib, tetapi sungguh kenangan yang terlalu menyenangkan jika tidak dibagikan. Heuheu…

Saya sedikit beruntung, sebelum diterima masuk kuliah pada tahun 2005, saya sudah nongkrong di sini. Salah satu kakak saya juga kuliah di kampus yang sama. Beliau lulus, ketika saya diterima masuk. Salah satu kultur yang beliau perkenalkan kepada saya, adiknya, adalah “kultur lodse”. Tidak langsung memang, karena intensitas kami ketemu di kampus agak jarang karena dia lulus ketika saya masuk.

Kata lodse merupakan kata walikan atau bahasa slang khas Jogja. Kata itu berarti ‘minum’, tentu konotasinya adalah mabuk. Minum, tentu butuh alkohol sebagai menu utamanya. Kami, mahasiswa bangkrut kantong cekak, selalu mengawali ritual lodse dengan ucapan: “Seribu pertama!”

Ucapan itu maksudnya sebuah ajakan untuk patungan. “Sewu sewu dadi banyu!” dimulai dari seribu, kami bisa mengumpulkan uang patungan hingga 100 ribu untuk beli “banyu” atau air (baca: alkohol). Kok bisa? Karena “seribu” memang hanya ungkapan. Rata-rata kami patungan 10 hingga 20 ribu.

Tahukah kamu, salah satu tingkat toleransi tertinggi adalah ketika patungan sedikit tapi dapat sloki sama banyaknya dengan yang patungan lebih banyak. Mabuk bareng adalah wujud nyata Bhineka Tunggal Ika dan toleransi.

Ke mana kami membeli minuman? Dulu, di sekitar kampus saya masih sangat mudah menemukan warung untuk beli Anggur Merah Cap Orang Tua. Minuman legendaris murah meriah. Ketika warung jujugan kami kehabisan stok, kami bertandang ke Jalan Kaliurang, tepatnya ke sebuah tempat yang bernama Warung Ijo.

Saya tidak terlalu ingat soal nama warung ini. Dahulu, kami menyebutnya sebagai Warung Pakdhe. Di Warung Ijo ini kami menyerahkan kegilaan masa muda. Pilihan Anggur Merah dan bir adalah pilihan favorit. Kami menyebutnya sebagai Ambipur (Anggur Merah dan bir dicampur). Di tempat lain dikenal sebagai Abidin (Anggur Merah dan bir dingin).

Saya mengalami periode ketika Anggur Merah Cap Orang Tua hanya dibanderol 11 ribu. Kini, harga per botolnya bervariasi. Mulai dari 65 ribu hingga 85 ribu. Kalau beli online, kamu akan kena biaya ongkir 10 ribu.

Jadi, dengan modal 100 ribu, kami bisa beli dua botol Anggur Merah, tiga botol bir, dan es batu cukup banyak. Cara minum kami pun sedikit khas, pakai aqua gelas yang bagian bawahnya ditekuk ke atas menyerupai sloki. Murah meriah dan cukup efektif bikin ngangkat kalau kamu bisa habis minimal 10 “sloki” ini.

Seiring waktu, kami juga mencoba menu lain yang bahan-bahannya tersedia di warung ijo. Mulai dari Mansion House, sejenis whisky, dicampur Coca Cola, hingga Vodka gepengan dengan Calpico. Ini jenis menu khusus untuk malam minggu karena efek mabuk yang lebih awet dan bagi yang nggak kuat pasti sampai mutah.

Warung Ijo juga menjadi jujugan saya bertahun-tahun kemudian, ketika keluarga saya tengah berkumpul. Menu kami saat ini adalah Mansion House, susu segar, dan sirup strowberi. Campurkan ke botol shaker kecil lalu shake selama beberapa menit. Kami menyebut menu ini dengan nama Red Devils.

Mulai dari arisan, merayakan Natal, peringatan tiga harian orang meninggal, sampai peringatan seribu harian, menu lodse selalu ada. pokoknya hampir setiap kali kumpul, nama Warung Ijo pasti terselip di setiap obrolan yang berakhir dengan kegiatan ngoplos.

Saya agak jarang membeli bir di Warung Ijo karena Bulik saya sendiri punya usaha lodse kelas bir. Jadi, tidak perlu jauh-jauh naik motor dan khawatir kena razia ketika ingin minum bir.

Warung Ijo sudah kukut per Januari 2019. Warung legendaris ini pasti meninggalkan kenangan manis di hati masing-masing penggumul seni oplosan. Bagi saya, Warung Ijo adalah penanda kegilaan, ketika masa-masa kuliah, terlalu mabuk untuk masuk kelas, atau masuk kelas dengan aroma Anggur Merah menguar dari mulut. Untung saja, dosen di program studi Sastra Indonesia cukup maklum dengan kelakuan mahasiswanya.

Atau ketika saya memilih mabuk bersama teman-teman selepas kuliah ketimbang pacaran. Meski akhirnya marahan dengan pacar, yang sudah jadi mantan, rasa kapok itu tak pernah ada. Untung saja, pacar saya yang sekarang sangat toleran dengan lodse.

Terima kasih Warung Ijo, yang dengan setia menyediakan penyambung tali silaturahmi. Penyedia minuman yang bikin tenggorokan licin dan betah mengobrol panjang lebar. Terima kasih bikin masa kuliah saya tidak hambar dengan kegiatan kuliah lalu langsung pulang. Lewat lodse, saya menemukan teman dan kenangan menyenangkan yang sungguh berbekas.

Kultur lodse bukan sesuatu yang buruk. Semua orang butuh kanalisasi ekspresi. Seperti lirik lagu “Orang Miskin Dilarang Mabuk” dari Libertaria bahwa:

Orang miskin kerja membanting tulang

Butuh obat stres tapi kok dilarang

Stres itu adalah hak asasi

Orang miskin juga butuh kanalisasi

Stresmu butuh kanalisasi, lodse menjadi jawaban yang hakiki.

Exit mobile version