Kehadiran dr. Reisa Broto Bukan Pertanda Buruk, Ini Kelebihan dan Kekurangannya

Kehadiran dr. Reisa Broto Bukan Pertanda Buruk ahmad yurianto cubir covid-19 pandemi corona MOJOK.CO

Kehadiran dr. Reisa Broto Bukan Pertanda Buruk ahmad yurianto cubir covid-19 pandemi corona MOJOK.CO

MOJOK.COMari kita nikmati kemunculan dr. Reisa Broto di depan layar kaca ketimbang curiga ke hal-hal yang sebetulnya, udah nggak bagus, kok.

Apakah ditunjuknya dr. Reisa Broto Asmoro menemani dr. Achmad Yurianto itu pertanda buruk? Jelas itu pendapat ngawur saja. Bahkan ada yang bilang kalau dr. Reisa Broto itu cuma dijadikan “tumbal” dari payahnya penanganan corona di Indonesia. Ckckck…iri bilang, bos!

Tercatat, dr. Reisa Broto menemani dr. Achmad Yurianto sejak 8 Juni 2020. Sejak saat itu, pro dan kontra masih saja menggelinding, tabrak-tabrakan. Padahal, kalau dipikirkan dengan tenang, ada banyak kelebihan dari penunjukkan dr. Reisa Broto sebagai juri bicara pemerintah terkait perkembangan corona di Indonesia.

Mari kita bedah satu per satu.

Kemasan dr. Reisa Broto justru penting buat penyampaikan pesan

Tsamara Amany cemas. Dia bilang kalau penunjukkan dr. Reisa Broto sebagai jubir Indonesia untuk pandemi corona mendampingi dr. Achmad Yurianto bakal “menomorduakan substansi”. Tidak lain dan tidak bukan, banyak orang mau menyimak paparan tim Gugus Tugas Covid-19 karena cuma mau mengagumi fisik dr. Reisa Broto semata.

Argumen itu didasarkan kepada jumlah retweet di unggahan akun Twitter BNPB ketika mengabarkan perkembangan pandemi corona. Dari yang biasanya dapat, paling banter, cuma 11 retweet, sejak dr. Reisa Broto menjadi jubir, melonjak sampai 88 retweet. Reisa effect memang betulan terasa, sih.

Namun, apa iya efeknya memang buruk? Tunggu dulu.

Sebuah uraian yang menarik disampaikan oleh Sudjiwo Tedjo. Seniman ndugal itu memaparkan arti nama dr. Reisa Broto Asmoro. Kata Mbah Tedjo, kata “broto” bermakna ‘keheningan pertapaan’. Sementara “asmoro” berarti ‘cinta’. Jadi nama dr. Reisa Broto mengandung makna ‘persatuan yang hening di dalam cinta’. Syahdu sekali.

Bukankah komunikan baru bisa memahami pesan komunikator apabila pesan dapat diterima dengan baik? Beberapa hal membantu proses tersebut. Misalnya, pertama, komunikan menyimak penyampaikan dengan tenang. Kedua, konsentrasi penuh kepada komunikator. Ketiga, pesan yang disampaikan komunikator memang jelas.

Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit, bilang begini: “Ada kemasan, ada pesan. Pesan dengan kemasan lama, dikit yang baca. Pesan dengan kemasan baru, setidaknya banyak yang lihat (semoga banyak yang baca juga).” Dan argumen Ismail Fahmi sudah terbukti dari jumlah retweet BNPB berkat dr. Reisa. Semakin banyak orang yang “bersatu dalam keheningan cinta”.

Apakah tampilan dr. Reisa akan mendistraksi substansi seperti yang dikhawatirkan Tsamara Amany? Bukannya tidak mungkin. Namun, yang namanya usaha, perlu diapresiasi juga. Karena setidaknya, semakin banyak orang yang mau menyimak. Dan harapannya, semakin banyak orang yang aware dengan pandemi corona.

Suara dr. Reisa Broto nggak merdu-merdu amat, sih, tapi….

Saya akui, suara dr. Reisa nggak merdu-merdu amat. Untuk menjadi juru bicara, atau narator yang menarasikan naskah, suara dr. Reisa Broto justru terdengar, maaf ya, agak cempreng. Cedal yang sedikit terasa juga mungkin terasa mengganggu bagi beberapa orang karena berpotensi intonasi maupun pengucapan sebuah kalimat menjadi tidak jelas.

Justru, dr. Achmad Yurianto punya kejelasan dari sisi suara. Lebih cocok menjadi narator, ketika membaca sebuah naskah. Namun, terkadang, kecepatan bicara dr. Yuri nggak konsisten. Jadi, terasa agak belibet di beberapa kata.

Coba kalau intonasi dan kecepatan bicara lebih tertata atau konsisten, dr. Yuri punya potensi menjadi Morgan Freeman dari Indonesia. Menarasikan penjelasan sains tentang inti bumi dan akhir dunia pasti asyik banget.

Nah, di sini, dr. Reisa Broto punya kelebihan. Di samping tampilan fisik yang berhasil menjadi magnet “penonton”, suara dr. Reisa bikin betah. Bahkan kalau kamu menutup mata ketika mendengarkan penjelasan beliau. Ini bukan lantas menutup mata untuk berimajinasi, ya. Tapi menutup mata untuk berkonsentrasi menyimak pesan dari komunikator. Dasar kepala mesum, larinya ke hal-hal yang “menyatukan bangsa” saja. Share link, gan.

Satu-satunya kekurangan adalah….

Satu-satunya kekurangan adalah dr. Achmad Yurianto, yang baru saja menjadi PR Person of the Year, ehh, sudah digeser sama dr. Reisa Broto. Kalau gitu, bisa dipastikan, dr. Reisa Broto adalah PR Person of the Decade, dong. Mengalahkan karisma dan kesabaran dr. Yuri ketika menghadapi ledekan netizen itu bukan perjuangan yang mudah.

Oya, satu lagi kekurangan, bahkan mungkin akan kita rindukan, adalah dr. Yuri tidak akan lagi mejeng di depan kamera sambil memamerkan maskernya yang beraneka ragam. Dari polosan, sampai motif batik. Setidaknya, dr. Yuri sudah berusaha jadi love-able sama netizen dengan kreativitas maskernya. Perlu kita apresiasi, dong.

Mungkin dr. Yuri bisa berbagi info sama dr. Reisa Broto kalau mau pesan masker di mana. Perlu kamu ketahui, di pinggir-pinggir jalan sudah banyak yang jualan masker unik. Ada yang pakai gambar kumis panjang melintang atau muka anggota K-Pop. Saya, kok, curiga masker-masker unik ini terinspirasi dari dr. Yuri.

Nah, jadi sudah jelas, bukan. Kehadiran dr. Reisa bukan pertanda buruk. Apalagi menuduh seperti ini:

“Kalau kamu suka baca sejarah atau nonton film tentang intrik, perempuan cantik sering dijadikan senjata suatu pihak untuk melumpuhkan atau menipu pihak lain.”

Jahat bener. Lagian, apa sih yang mau dikritik dari penanganan Indonesia akan pandemi corona dan siapa, sih, yang mau ditipu?

Lha wong penanganannya sudah buruk sejak awal. Substansinya sudah “gitu amat” sejak dulu. Setidaknya, mari kita nikmati kemunculan dr. Reisa di depan layar kaca ketimbang curiga ke hal-hal yang sebetulnya, udah nggak bagus, kok.

BACA JUGA Asal Tahu Saja, Kehadiran dr. Reisa Broto adalah Pertanda Buruk atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version