Indonesia Tanpa Feminis? Memang, Feminisme Itu Tidak Perlu Ada

Feminis di Indonesia Itu Nggak Membenci Laki-laki. Netizen Budiman, Muhasabah Diri Anda, Hei! mojok.co

Feminis di Indonesia Itu Nggak Membenci Laki-laki. Netizen Budiman, Muhasabah Diri Anda, Hei! mojok.co

MOJOK.COKaum feminis tak perlu susah payah kampanye konsep feminisme kepada semua orang. Yang perlu dikampanyekan adalah menghargai sesama tanpa pandang sekat apapun.

Ketika sibuk scroll timeline, di tengah kebosanan lantaran kepungan berita politik, saya menemukan sebuah diskusi yang menarik. Ditemani sebuah tagar yang berbunyi: Indonesia Tanpa Feminisme, perdebatan antara ukhti, perempuan pada umumnya, bahkan laki-laki berjalan dengan panas.

Konon, desakan meloloskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di sisa masa tugas DPR yang menjadi sebabnya. Perdebatan soal RUU ini menghadapkan kelompok feminis dan aktivis pendukung perlindungan perempuan dengan sebagian kelompok Islam. Lalu, lahir kampanye  dengan tajuk Indonesia Tanpa Feminis.

Kampanye gerakan ini cukup giat, terutama di Instagram. Tagar yang menggelitik pun lahir, seperti misalnya tagar Indonesia Tanpa Feminis dan Uninstall Feminism, dibumbui pesan “lawan pemikiran feminisme.” Foto yang diunggah di InstaStory menunjukkan puluhan perempuan berjilbab mengepalkan tangan kanan disertai keterangan foto: “wanita yang ingin generasinya tidak kena racun feminisme” seperti dikutip oleh VOA.

Sejauh yang bisa saya pahami, gerakan ini punya beberapa agenda. Pertama, persamaan gender yang dikampanyekan kaum feminis adalah untuk menghancurkan pondasi keislaman seorang muslimah, sehingga ia meninggalkan kewajibannya sebagai seorang wanita. Kedua, Pendukung tagar Indonesia Tanpa Feminis mencoba kritis tentang konsep otoritas penuh atas tubuh seseorang dengan menegaskan bahwa “tubuhku bukan milikku, melainkan milik Allah”.

Ketika membicarakannya dalam konteks agama, feminisme dianggap akan menghancurkan nilai-nilai di dalam agama itu sendiri. Oleh sebab itu, ketika sedang ramai-ramainya RUU Kekerasan Seksual, Ibu Maimon, dosen di Universitas Padjajaran Bandung, penggagas petisi menolak iklan Shopee Blackpink, juga ikut menolak RUU tersebut.

Beliau menilai RUU PKS itu mendukung perzinaan. Dari perspektif Ibu Maimon, RUU PKS dinilainya memberi ruang bagi individu yang tidak terikat pernikahan untuk melakukan hubungan seksual, namun bisa menjerat para lelaki yang secara hukum berstatus sah sebagai suami untuk memaksa istri melakukan hubungan seksual. Sebuah pemikiran yang sungguh syahdu.

Sebetulnya, apa sih feminisme itu? Ada yang menyimpulkan feminisme sebagai gerakan perempuan untuk bisa setara dengan laki-laki. Ada yang langsung ngeri mendengar istilah feminisme karena dianggap gerakan perempuan untuk membenci laki-laki.

Ada laki-laki (dan banyak perempuan lainnya) yang langsung merasa terancam karena gerakan feminisme dianggap sebagai agenda perempuan untuk menguasai dunia. Ada pula yang menganggap feminisme sebagai ajaran sesat karena bertentangan dengan syariat agama. Wah ngeri betul. Kalau begini, memang sebaiknya feminisme itu ditiadakan saja.

Apakah memang nilai-nilai agama dan konsep keluarga akan hancur jika kampanye feminisme berbuah manis? Kok saya rasa tidak begitu.

Begini, lho. Saya sih yakin kalau agama dibangun atau dibesarkan juga dengan yang namanya logika dan kesadaran kritis. Semua agama, seharusnya, punya napas pembebasan. Toh di dalam ajaran agama perempuan dikisahkan menjadi perawat ketika perang, menjadi pejuang di jalan Tuhan, dan lain sebagainya.

Ketika terbangun sebuah konsep yang “menuhankan” laki-laki–dalam artian ada pemaksaan dan kekerasan di dalamnya–ya masuk akal toh kalau dilawan? Bukan hanya laki-laki saja, tetapi di dalam keluarga juga terbangun konsep “menuhankan” tugas.

Perempuan hanya sebatas kasur, dapur, dan pupur. Perempuan itu tangannya selalu di bawah, terkait soal pendapatan sebuah keluarga. Perempuan tidak perlu bekerja, dan lain sebagainya. Ya kalau melawan penuhanan seperti ini, tak perlu feminisme dikampanyekan sebegitu masif.

Susah dipahami? Sebentar saya tambah satu hal lagi. Terkait penegasan “tubuhku bukan milikku, melainkan milik Allah”. Apakah perempuan itu hanya seonggok daging tanpa akal? Apakah perempuan itu hanya seperti batang pohon lapuk yang bagian tengahnya kopong? Ya tentu tidak, perempuan juga punya akal sehat, punya logika yang berhak untuk diasah.

Saya setuju dengan Kalis Mardiasih yang menulis di akun Twitter pribadinya. Ia menulis demikian: “Karena Allah menitipkan tubuh kepadaku, maka aku wajib menjaga tubuhku dengan baik, yaitu dengan kesadaran sepenuhnya bahwa tubuhku punya hak, hak kesehatan reproduksi, hak cuti menstruasi dan hamil, hak akan rasa aman dengan tidak menerima diskriminasi, pelecehan dan kekerasan.”

Ya apa kalau perempuan dipaksa untuk ngeue sama laki-laki, baik yang sudah sah maupun tidak, perempuan tidak perlu melawan? Itu tubuhnya, lho. Bukan sekadar potongan pohon mahoni yang sudah lapuk dan tidak berdaya. Pemaksaan, segala bentuknya, segala alibinya, ya tidak ada yang benar.

Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran di Jakarta, Dr. Nur Rofiah, berkata bahwa ada golongan rasional yang berpandangan bahwa, “Tubuhku milik Allah SWT tapi perempuan berdaulat atasnya dan bertanggungjawab untuk menggunakannya hanya dengan cara-cara yang maslahat, sebagaimana diamanahkan Allah SWT.” Hoo, apakah penjelasan dari Nur Rofiah tidak jelas?

Gini lho, kalau susah memahaminya dari sudut pandang agama, mari sederhanakan perdebatan ini. Perempuan, maupun laki-laki, adalah sama-sama manusia. Kedua gender ini adalah sesama dalam persaudaraan. Dari sebuah fakta yang sederhana itu saja sudah terlihat kalau perempuan dan laki-laki itu setara. Ini logika yang sangat sederhana.

Kalau sudah begitu, logikanya, perempuan punya hak untuk berdaulat atas dirinya sendiri, bukan? Patuh kepada suami adalah patuh kepada manusia. Kalau saya bilang begitu, apakah lantas perempuan melupakan Tuhan? Ya tentu tidak! Perempuan, sekali lagi, adalah sosok dengan akal sehat. Mereka bisa berpikir, ya ampun begitu saja nggak paham.

Kalau sudah agak paham, maka kampanye feminisme dan kaum feminis itu tidak perlu ada. Kampanye yang perlu kita suarakan adalah kampanye menghormati sesama, tanpa memandang gender, agama, warna kulit, kesukuan, dia gemuk, dia kurus, rambutnya ikal, rambutnya lurus, semuanya!

Kamu bisa membayangkan itu semua, bukan? Gampang sekali, bukan?

Exit mobile version