Yang Diving Napoli, yang Diledek Juventus: Penderitaan Menjadi Antagonis

Yang Diving Napoli, yang Diledek Juventus: Penderitaan Menjadi Antagonis

MOJOK.COPemain Napoli yang diving, tetapi Juventus yang tetap saja diledek. Menjadi antagonis karena sangat dominan di Serie A memang menderita.

Serie A akhirnya sepak mula. Liga paling romantis ini tak butuh waktu lama untuk menghadirkan drama. Dua laga pembuka, Parma vs Juventus dan Fiorentina vs Napoli, bisa memberi gambaran panasnya Serie A musim 2019/2020. Sebuah musim di mana Juventus untuk kesekian kali akan menjadi antagonis.

Cristiano Ronaldo punya banyak peluang untuk membuat gol. Malam itu, di kandang Parma, ketajaman gerak Ronaldo seperti lebih baik ketimbang selama pra-musim. Sayangnya, titik sepakan pemain asal Portugal itu belum sempurna. Banyak peluang dia ciptakan dan salah satunya menjadi gol, meski dianulir oleh VAR.

Lewat tayangan ulang terlihat Ronaldo memang offside. Teman saya di Twitter bilang jarak offside Ronaldo itu cuma seperti sehelai rambut dibagi tujuh bagian. Sangat tipis. Lihat foto di bawah ini:

Yah begitulah, yang namanya aturan tetap aturan. Pun seharusnya foto Juventus di atas tidak disirkulasikan menjadi sebuah meme. Lha wong namanya juga mengikuti aturan. Namun, nyatanya, foto di atas menjadi sebuah meme untuk meledek fans Napoli. Terutama setelah mereka mendapat penalti dengan “tidak wajar”.

Malam itu di Artemio Franchi, Fiorentina unggul lebih dulu lewat titik penalti. Ketika kemelut terjadi di kotak penalti, bola mengampiri tangan Piotr Zielinksi. Merujuk aturan baru, mau sengaja atau tidak, bola kena tangan berbuah pelanggaran. Erick Pulgar, debutan Fiorentina, menyelesaikan tugasnya dengan baik.

Setelah menyamakan kedudukan lewat gol cantik Lorenzo Insigne, Napoli mendapat hadiah penalti dari wasit. Gaetano Castrovilli, gelandang Fiorentina yang terjatuh di dalam kotak penalti dianggap dengan sengaja menyelengkat kaki Dries Martens. Tanpa pikir dua kali, tanpa mengintip layar VAR, wasit kasih penalti untuk Napoli.

Pemain Fiorentina langsung protes. “Sit, VAR, Sit! Wooo jianccc….!” Mungkin begitu mereka protes. Sayangnya, kali ini wasit memang blunder dan pemain Fiorentina benar. Lewat tayangan ulang, Dries Martens terlihat mengeluarkan “jurus jaran mengkal”. Pemain asal Belgia itu berusaha menyangkutkan kakinya sendiri ke arah belakang, ke kaki Castrovilli.

Kayaknya Martens tahu kalau kakinya belum sampai menyentuh Castrovilli. Namun, karena sudah telanjur, jurus kedua ia keluarkan. Namanya jurus “Swanton Bomb lumba-lumba”. Jurus yang orisinalnya milik The Great Sasuka, pegulat Jepang, dan didaur ulang oleh Jeff Hardy, pegulat WWE, dikeluarkan oleh Martens. Tinggal pake topeng, saya rasa Martens punya masa depan di ring gulat ala ala WWE dan menjadi the next Rey Mysterio. Secara fisik, keduanya mirip.

Namun, sekali lagi, yang jadi antagonis akan selalu Juventus. Diving Martens hanya ramai di kalangan Juventini. Fans AC Milan dan Inter Milan tetap sibuk meledek Juventus. Menyebut Si Nyonya Tua memang layak untuk dikerjai oleh VAR.

Peran antagonis dan masa lalu Juventus

Well, situasi ini memang bisa dimaklumi. Masa lalu Juventus memang tidak putih bersih. Masa lalu mereka penuh bercak. Degradasi ke Serie B menjadi hukuman, masih ditambah pencopotan dua gelar Scudetto. Makin pedih setelah dua gelar juara itu dilimpahkan ke Inter Milan.

Namun, untuk serangan dan ledekan yang menimpa Juventus kali ini, saya sendiri tidak setuju. Ronaldo memang offside dan golnya dibatalkan. Itu kejadian yang wajar dan bukan bahan ledekan yang berkelas. Sebagai klub, Juventus tidak protes, pun Juventini tidak mempermasalahkannya.

Menjadi masalah ketika Martens diving dan wasit tidak menengok layar VAR. Bukankah ini bentuk ketidakadilan? Alat VAR ada untuk mengurangi kesalahan-kesalahan seperti ini. Kalau sukses menganulir gol Ronaldo karena offside, yang mana itu sepele, seharusnya wasit juga bisa menggunakan VAR untuk mencegah Napoli bikin gol lewat cara yang tidak terpuji.

Fans Napoli yang bersorak bangga, fans Milan dan Inter yang menertawakan nasib ini, justru menjadi “Juventus masa lalu”, yaitu antagonis itu sendiri. Rivalitas adalah hal yang wajar. Tetapi, akal sehat tidak boleh disimpan rapat-rapat di dalam bilik bernama dengkul! Hasilnya sangat masif, yaitu Napoli dapat 3 poin. Kalau imbang, mereka cuma bisa mengumpulkan 1 poin saja.

Dulu, Bung Rayana Djakasurya menggunakan istilah protagonis untuk menggambar para pemain yang menjadi pahlawan dalam sebuah laga. Sebuah istilah yang dulu terasa asing di telinga saya yang masih bocah ketika Serie A menjadi liga terbaik di dunia.

Kali ini, justru Juventus yang menjadi protagonis sebenarnya. Mereka tidak berbuat salah pun menjadi sasaran ledekan. Mereka yang berbuat salah malah tidak mendapatkan “hukuman sosial” yang dulu pernah dirasakan Si Nyonya Tua.

Juventus memang antagonis. Delapan kali juara berturut-turut membuat lawan akan bersorak untuk sebuah pelanggaran berat yang menimpa pemain Juventus. Lawan akan tertawa puas ketika VAR mencegah kemenangan Juventus. Lawan akan berjoget bahagia ketika wasit berbuat salah dan Juve kalah.

Pada titik tertentu, Juventus adalah antagonis di tengah liga yang mereka dominasi. Well, dominasi memang berjalan sejajar dengan kedengkian dan iri hati. Jadi, sabar ya, Nyonya Tua.

BACA JUGA AC Milan, Inter, Napoli, dan Roma Harus Mau Cium Tangan Juventus dan Ronaldo

Exit mobile version