Tentang Perbedaan Level: Real Madrid Menunggu, Manchester United Mencari Keseimbangan

real madrid manchester united ed woodward ole gunnar solskjaer zidane MOJOK.CO

MOJOK.CODi antara Real Madrid dan Manchester United terbentang jurang perbedaan yang lebar. Jurang kualitas yang membuat masa depan keduanya terlihat sangat berbeda.

Level si sepak bola ditentukan banyak hal. Mulai dari kekayaan, sejarah, gelar juara, dan komposisi skuat. Perbedaan itu juga sampai ke detail-detail kecil seperti sikap dan ide pelatih, cara pelatih memaksimalkan kelebihan pemain dan melindunginya dari kelemahan. Namun, terkadang, detail kecil itu yang jadi pembeda. Pembeda perbedaan antara Real Madrid dan Manchester United.

Perbedaan detail antara dua raksasa Eropa itu terletak kepada pendekatan masing-masing klub untuk menemukan keseimbangan. Real Madrid sudah belajar banyak. Mereka berkembang berkat pengalaman pahit bernama proyek Galacticos. Proyek mahal yang boleh dikatakan mangkrak. Namun paling tidak, sekarang ini kegagalan itu punya makna.

Sementara itu, Manchester United tidak kunjung sadar bahwa titik keseimbangan yang mereka cari tidak berada di sosok pemain. Manchester United seharusnya sadar bahwa titik keseimbangan mereka hanya akan ditemukan jika pelatih berkualitas didukung sepenuhnya oleh manajemen. Membeli tidak akan menyelesaikan masalah.

Kita bisa bicara panjang lebar soal betapa Real Madrid suka sekali membeli pemain bintang. Bukan hanya satu, bahkan pernah dua megabintang mereka daratkan di satu jendela transfer. Atas nama citra, promosi, kekuatan finansial, dan nama besar klub, mereka boleh melakukannya. Tidak ada yang bisa menyalahkan.

Namun, bedanya dengan Manchester United, Florentino Perez mengukur setiap peser yang dikeluarkan Real Madrid. Presiden legendaris Real Madrid itu, secara pribadi, tidak pernah merugi. Setiap cegukan, setiap sandungan, cuma riak di panjangnya rencana Si Tangan Emas itu.

Dan semua hitungan itu, Perez letakkan kepada kepercayaan penuh kepada Zinedine Zidane. Sementara itu, Manchester United, lewat Ed Woodward, merasa lebih tahu soal dinamika lapangan hijau ketimbang setiap pelatih yang menjabat.

Siapa yang berani meragukan kualitas Jose Mourinho dan Louis van Gaal? Hanya fans bebal dan berkawan baik dengan Ed Woodward yang bisa meragukan dua pelatih kaliber besar itu.

Namun itulah yang terjadi, Ed Woodward membeli pemain yang tidak cocok dengan ide pelatih. Paul Pogba tidak pernah diinginkan Mourinho. Tapi, Pogba bagus sebagai “wajah komersil”. Wajah dan gaya rambutnya sangat menjual. Bagus untuk penjualan jersey klub. Maka, Manchester United menghamburkan hampir 100 juta paun untuk seorang pemain yang tidak masuk dalam ide pelatih.

Begitu juga Angel Di Maria dan Juan Mata. Louis van Gaal tidak pernah minta dibelikan dua pemain itu. Namun, Ed Woodward melangkahi kualitas pelatih untuk mendahulukan kebodohannya. Maka, ketika biji yang busuk ditanam, apakah kamu masih mengharapkan buah ranum akan bermunculan?

Dan berdiri di sana. Dengan senyum polos tak paham dengan apa yang terjadi. Ole Gunnar Solskjaer. Pelatih yang ketika berbicara kepada wartawan mengungkapkan kalau dirinya ingin dibelikan seorang striker yang “rela hidungnya patah” demi mencetak gol.

Pernyataan itu menggambarkan dua hal. Pertama, Ole tidak mempercaya dengan skuat yang ada. Tapi, pelatih mana, sih, yang masih percaya Jesse Lingard? Kedua, Ole tidak punya cara mengatasi rasa tidak percaya itu. Ke mana Manchester United harus belajar? Silakan tengok Florentino Perez dan Real Madrid kesayangannya.

Ketika rasa percaya, penuh, dipersembahkan kepada Zidane, Perez menekan ego membeli pemain berkaliber besar. Perez membeli pemain setelah berembug dengan pelatih. Zidane yang tahu dinamika di dalam ruang ganti, sementara Perez seperti penyihir di meja perundingan. Masing-masing bekerja sesuai kemampuannya. Keduanya tidak mengizinkan kebodohan ikut berdiskusi.

Perez beradaptasi, mengubah caranya memandang sepak bola. “Semuanya, di sepak bola, akan berubah. Kami tak tahu sampai kapan Real Madrid menjadi klub paling berharga. Semakin banyak klub Eropa yang dibeli pemilik kaya. Di Spanyol, ada Atletico Madrid dan Valencia. Di Inggris, uang dalam jumlah besar dari hak siar memberi efek besar. Manchester City mendapat uang dari Abu Dhabi, PSG dari Qatar, dan beberapa tim di Inggris mendapatkan dana dari para pemilik berkewarganegaraan Amerika Serikat,” ungkap Perez.

“Oleh sebab itu, kami harus mengubah kebijakan transfer. Saat ini, kami memilih membeli pemain muda dengan harga yang lebih murah. Jika transfer murah ini berhasil, maka masa depan akan aman. Namun jika gagal, setidaknya kami tidak kehilangan banyak uang. Kami harus memperbaharui kebijakan transfer untuk bersaing dengan klub-klub kaya. Kami percaya bahwa ini adalah salah satu cara untuk memenangi trofi dan mempertahankan posisi kami sebagai klub paling berharga,” tambahnya.

Yang perlu dicatat di atas adalah: Perez tak keras kepala, meski ia sebenarnya mampu. Perez meletakkan keyakinannya akan masa depan, bukan kenikmatan sesaat.

Meski membeli pemain-pemain muda, Real Madrid tak lantas buta dengan kualitas. Bahkan, boleh dibilang, pemain muda yang dibeli Real Madrid, punya potensi luar biasa. Tak hanya yang dibeli, beberapa pemain muda sudah lama “dipupuk” oleh Real Madrid sejak lama. Mereka dipinjamkan ke klub lain untuk mendapatkan menit bermain.

Artinya, sudah sejak lama Perez menyiapkan kebijakan ini. Sudah sejak lama Perez berhitung dengan perubahan wajah sepak bola (industri). Buktinya sangat terasa dengan beberapa pemain dari La Fabrica, akademi Real Madrid, punya potensi besar. Mulai dari Luca Zidane, Achraf Hakimi, Oscar Rodriguez, Sergio Diaz, Fede Valverde, Dani Gomez.

Apakah Madrid gagal dengan skuat muda ini? Ya, tapi mereka menunggu. Bobot kata “mencari” antara Real Madrid dan Manchester United sangat besar. Achraf Hakimi berubah menjadi salah satu bek sayap menjanjikan di Eropa. Fede Valverde menjadi bagian penting dari skuat utama saat ini. Marco Asensio menjadi pemain kunci sebelum tumbang karena cedera.

Perez melanjutkan kebijakan ini dengan membeli Vinicius, lalu Rainier Jesus. Dua pemain Brasil dengan talenta sangat besar. Kepercayaan yang tinggi kepada Zidane ditunjukkan ketika Perez tidak tergoda menjual Toni Kroos.

Musim 2018/2019 yang lalu, Kroos menjadi salah satu penampil terburuk. Namun, yang kali pertama Real Madrid lakukan adalah menunggu. Mereka percaya dengan kualitas pemain. Hasilnya, musim 2019/2020, hinga saat ini, Kroos sudah mencetak 4 gol dan 8 asis. Musim lalu, Kroos hanya mencatatkan 1 gol dan 6 asis.

Bagi Real Madrid, Kroos seperti ballast di dalam kapal kuno. Ballast adalah penyeimbang sebuah kapal besar. Dahulu, orang menggunakan batu dan pasir sebagai ballast supaya kapal tidak oleng dan karam. Ketika kapal berbahan baja diperkenalkan, orang menggunakan air sebagai ballast.

Intinya adalah, Real Madrid “mencari” keseimbangan dengan menunggu. Percaya penuh kepada skuat yang ada. Sementara itu, Manchester United membeli pemain yang sebetulnya tidak perlu dilakukan. Ole tidak tahu caranya membangkitkan Nemanja Matic, memaksimalkan Fred, dan membantu Paul Pogba menemukan keseimbangan di dalam dirinya.

Real Madrid memberi pelajaran yang sangat berharga ke semua tim. Kepada Barcelona yang sibuk menjual pemain muda demi menyeimbangkan neraca di pembukuan mereka. Kepada Manchester United yang gagap dan lalai. Kepada manajemen Manchester United yang pongah dan sok tahu. Kepada Ole, bahwa percaya kepada pemain adalah langkah awal dari kesuksesan.

Inilah perbedaan level Real Madrid dan Manchester United.

BACA JUGA Real Madrid Menuju Los Galacticos Jilid III bersama Reinier Jesus atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version