Surat Marcus Rashford Mengingatkan Kita Bahwa Plesetin Manchester United Jadi ‘Munyuk’ Itu Rasis, Bego!

Surat Marcus Rashford Mengingatkan Kita Bahwa Plesetin Manchester United Jadi ‘Munyuk’ Itu Rasis, Bego! MOJOK.CO

Surat Marcus Rashford Mengingatkan Kita Bahwa Plesetin Manchester United Jadi ‘Munyuk’ Itu Rasis, Bego! MOJOK.CO

MOJOK.COStop jadi rasis bego. Berhenti plesetin Manchester United jadi “munyuk”. Baca surat terbuka Marcus Rashford biar kamu agak waras dikit.

Ketika Bukayo Saka gagal menunaikan tugasnya sebagai eksekutor penalti kelima, batin saya langsung mengembara. Sedih, sudah pasti. Setelah itu muncul kekhawatiran, yang sayangnya langsung menjadi kenyataan. Saka, beserta Sancho dan Marcus Rashford, menjadi sasaran aksi rasis dari suporter bego.

Melihat rekaman ulang, sepakan Saka, Sancho, dan Marcus Rashford memang kurang terukur. Jadi, dari sisi teknis, ketiganya memang kurang maksimal. Jika memang ingin menjatuhkan kritikan, kritik saja cara mereka menendang. Bukan lantas menyerang warna kulit dan asal-usul ketiga pemain tersebut. Itu rasis, bego!

Marcus Rashford sendiri, dalam surat terbuka yang ditulis satu hari setelah hari nahas Inggris mengakui kegagalan itu murni kesalahannya sendiri. Penyerang Manchester United itu datang ke Euro dalam kondisi tidak bugar. Secara mental juga tidak sepenuhnya prima.

Kondisi tersebut, ditambah jarangnya mendapatkan kepercayaan, membuat penaltinya kacau. Ini pengakuan lewat surat yang dia tulis. Dia mengaku gagal sebagai eksekutor penalti. Namun, dia menolak gagal sebagai manusia yang berdaulat.

I can take critique of my performance all day long, my penalty was not good enough, it should have gone in but I will never apologise for who I am and where I came from. The communities that always wrapped their arms around me continue to hold me up. I’m Marcus Rashford, 23 year old, black man from Withington and Wythenshawe, South Manchester. If I have nothing else I have that.”

Kalimat Marcus Rashford di atas sengaja nggak saya terjemahin biar orang rasis bego nggak bisa baca. MAMAM.

Beberapa waktu yang lalu, Luka Modric, pemain terbaik Real Madrid itu pernah mengungkapkan bahwa yang salah dengan sepak bola Inggris itu suporter dan medianya. Nggak ada masalah dengan kualitas pemain, tapi suporter yang rasis, berisik, bego dan media yang angkuh dan penuh bias.

Serangan kepada Marcus Rashford itu, kalau di Indonesia, persis kayak kelakuan fans-fans bego yang memplesetkan nama klub Manchester United menjadi “munyuk”.  Ada lagi Arsenal jadi “arsendal” atau Manchester City jadi “citykus”. Selain rasis, plesetan nama klub itu juga norak banget. Aksi plesetan nama klub ini sudah berlangsung sejak lama dan sayangnya, masih bertahan sampai sekarang.

Kebiasaan ini, dulu, sering ditemukan di kolom komentar akun Plesbol atau Plesetan Bola. Massa penuh kebodohan ini lalu mempopulerkan plesetan nama klub yang dulu “terdengar oke”, tapi sekarang norak, bahkan rasis. Sayangnya, kebiasaan itu menurun ke generasi sekarang dan semakin meresahkan.

Plesbol sendiri, sebetulnya, bukan yang menciptakan ledekan tak bermoral itu. Semuanya muncul di kolom komentar di beberapa unggahan zaman dulu. Admin Plesbol tak kuasa mencegah. Lantaran menjadi viral pada zamannya, bocil-bocil bego yang rasis itu dianggap sebagai “pasukan plesbol”. Sebuah kesalahan yang belum pernah diluruskan.

Tahukah kamu, fans rasis, kalau istilah “munyuk” dalam Bahasa Jawa yang merujuk Manchester United itu bermakna ‘monyet’ atau ‘kera’. Nggak ada unsur keren dari ledekan ini. Yang ada adalah sebuah pameran betapa lingkar otak kalian nggak lebih besar dari biji peler semut rangrang.

Marcus Rashford menjadi korban rundungan bukan hanya karena gagal mengeksekusi penalti. Narasi yang paling menyakitkan adalah serangan kepada warna kulit. Hitam, warna kulit itu menjadikan Marcus Rashford sebagai objek personifikasi. Dianggap seperti monyet dan direndahkan martabatnya.

Hal yang sama masih kita temukan di kehidupan nyata ketika saudara-saudara dari Papua menjadi korban rundungan. Rambut ikal, kulit hitam. Menjadikan mereka korban persekusi sepanjang zaman. Dianggap sebagai monyet dan tidak berpendidikan seperti “oknum” orang-orang Jawa yang rasis dan bego itu.

Jujur saja, akui secara terbuka, ketika kita menonton sepak bola di stadion lalu seorang pemain dari Indonesia Timur menggiring bola, masih ada yang menirukan suara monyet sebagai “bahan” meledek. Ini fakta menyedihkan di stadion-stadion Indonesia yang masih tabu untuk dibicarakan. Termasuk pelecehan kepada suporter perempuan yang disiulin ketika lewat. Busuk!

Plesetan nama klub, seperti Manchester United menjadi “munyuk” adalah wujud sebuah kesalahan yang tak pernah dikoreksi. Menyamakan sebuah insan dengan monyet adalah penghinaan akan martabat manusia dan penghinaan kepada monyet yang kadang lebih punya kasih ketimbang homo sapiens bego.

Zaman sudah berubah dan sudah sewajarnya kalau bentul ledekan menjadi lebih “berkelas”. Kita tahu, rivalitas di sepak bola adalah keniscayaan. Ledekan antara fans Manchester United dan Liverpool, misalnya, tak bisa dihindari. Namun, cukupkan memakai plesetan nama klub. Masih banyak bentuk banter yang lebih “manusiawi”.

Marcus Rashford sudah memberi penegasan bahwa asal-usul dan warna kulit bukan sesuatu yang bisa mendegradasikan kualitas manusia. Saling menghormati itu bagian dari “budi” yang ditanamkan Tuhan ke hati manusia. Kenapa kita kita melupakannya dan berubah jadi makhluk rasis bego tapi bernyawa?

Tidak suka kepada Manchester United itu wajar. Benci kepada Liverpool atau Arsenal bukan hal aneh. Namanya saja rivalitas. Namun, mendegradasikan martabat manusia itu tidak boleh ada di tengah lapangan hijau. Lalat-lalat rasis bego mending masuk goa dan mati kelaparan!

BACA JUGA Anthony Martial Membantu Manchester United Mengukur Gawang dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version