Saga Mustafi dan Dembele: Pekerjaan Paling Berat untuk Arsenal dan Barcelona

mustafi dan dembele dibuang arsenal dan barcelona MOJOK.CO

MOJOK.COMeminta Mustafi dan kelak Dembele untuk pergi bukan perkara mudah bagi Arsenal dan Barcelona. Kekecewaan akan selalu terbayang di balik keputusan itu.

Pekerjaan pelatih sepak bola dan staf yang terlibat di dunia ini tidak terbatas di atas lapangan saja. Pekerjaan yang justru paling berat, menyita waktu, dan menyedot pikiran adalah “merawat” mental pemain. Makanya, sering terjadi, pelatih sepak bola sudah dianggap seperti orang tua sendiri.

Mengatasi anak yang tengah merajuk butuh teknik sendiri. Saya belum pernah punya anak. Namun, hanya dengan mengamati keluarga saya saja, saya bisa membayangkan keribetan yang terjadi. Bagi Arsenal dan Barcelona, mereka tengah dan sudah dihadapkan kepada masalah berat ini: merawat pemain dengan mental yang ambruk dan menegaskan masa depan mereka pada akhirnya.

James McNicholas lewat kolomnya di The Athletic mengungkapkan keprihatinannya. James berpendapat kalau meledek Shkodran Mustafi itu pekerjaan yang sia-sia. Ledekan karena si pemain tidak bermain bagus tidak akan membantu si pemain menaikkan performanya. Tapi, James, suporter tidak bekerja dengan kebijaksanaan seperti itu.

Walau setidaknya tidak semua suporter. Masih ada kok yang bisa menahan diri untuk tidak marah kepada Mustafi. Namun, sebagian lagi, yang jumlahnya saya yakin lebih besar, sudah kehabisan kesabaran kepada Mustafi. Ingatan suporter memang pendek. Namun, pada titik tertentu, mereka bukan insan pemaaf.

Mustafi tidak selalu bermain buruk. Sayangnya, perbandingan performa bagus dan jelek yang ia tunjukkan tidak sebanding. Paling tidak untuk dua musim terakhir. Kala itu, bersama Carl Jenkinson, Mustafi selalu selamat dari usaha klub untuk menjualnya.

Saya percaya Unai Emery bukan sosok pelatih yang akan meninggalkan pemain begitu saja. Toh Mustafi masih diberi kesempatan ketika Laurent Koscielny absen karena cedera. Bahkan bersama Sokratis dan Rob Holding, ketika membentuk trio bek tengah yang lumayan juga. Pada saat-saat seperti inilah, Mustafi justru mengecewakan. Ia sungguh tidak konsisten. Personanya yang seperti nggak sadar apa yang sudah terjadi, terkait kesalahan-kesalahannya di atas lapangan, membuat Mustafi bisa begitu mudah dibenci.

Kalau Mustafi bermasalah dengan performa, lain lagi dengan Ousmane Dembele. Pemain muda ini kelak akan meneruskan tongkat estafet dari Lionel Messi. Setidaknya itulah narasi harapan yang tertulis ketika Dembele resmi menjadi milik Barcelona. Masalah Dembele bukan pada performa, tetapi pada sikapnya. Dembele dianggap tidak profesional.

Februari 2018, Barcelona merekrut koki khusus untuk Dembele. Barcelona berusaha memperbaiki diet dan mencegah Dembele terlalu mudah kena cedera karena tidak “merawat” badannya sendiri. Sebagai atlet, Dembele punya tanggung jawab kepada dirinya sendiri. Misalnya dengan menjaga berat badan, menjaga level body fat, mengistirahatkan tubuh secara proporsional, dan lain sebagainya.

Bukan hanya koki, Barcelona bahkan mengirim doktor dan ahli fisioterapi ke rumah Dembele. Semuanya untuk memastikan Dembele tetap berada dalam level fisik ideal. Begitu besar cinta dan harapan Barca kepadanya. Sayang, sungguh sayang, Dembele sendiri tidak “menghargai” posisinya sebagai atlet profesional.

Agustus 2019, Mickale Naya, mantan koki Dembele buka suara. Menurut Naya, baik Dembele maupun orang-orang terdekatnya seperti tidak peduli dengan tanggung jawab sebagai atlet. Kekayaan yang kini mereka nikmati justru menutup mata mereka.

“Ousmane Dembele itu anak yang baik, tetapi ia seperti tak punya kuasa atas kehidupannya sendiri. Sekarang dia satu rumah dengan paman dan teman-temannya, yang tak pernah berusaha menasihatinya. Itu bukan kehidupan yang baik. Saya tidak pernah melihatnya mengonsumsi alkohol, tetapi dia tidak menghargai waktu istirahatnya. Tidak terasa ada lingkungan yang profesional di lingkungan pribadinya,” ungkap Naya kepada Marca.

Kini, Dembele harus menepi untuk kesekian kali karena cedera hamstring. Dia akan absen selama satu bulan. Padahal, baru Juni 2019 yang lalu dia sembuh dari cedera yang sama. Hamstring adalah cedera otot, yang biasa terjadi karena si atlet tidak pemanasan dengan baik, atau tidak mengistirahatkan otot dengan benar.

Yang terjadi kepada Mustafi dan Dembele memang disayangkan di mata fans. Ekspektasi kepada Mustafi sangat tinggi. Dia datang sebagai bagian dari skuat yang menjuarai Piala Dunia. Dembele dibeli Barcelona sebagai pengganti Neymar, sekaligus penerus Lionel Messi. Potensi dan kualitas pemain asal Prancis ini memang tidak main-main.

Unai Emery sudah mengambil keputusan. Dia sudah meminta Mustafi untuk pergi sebelum tutupan jendela transfer Eropa. Emery memang berani membuka keputusannya untuk publik. Meski terdengar kejam, tetapi saya yakin Emery tidak melewati proses yang menyenangkan. Ia harus berani “menelan” kekecewaannya sendiri dan siap menanggung risiko dibenci si pemain.

Emery bilang ini “demi kebaikan” si pemain. Saya memilih untuk percaya dengan ucapannya. Ini bentuk kesimpulan yang tidak mudah untuk dibicarakan secara terbuka. Kelak, ketika kamu menjadi orang yang punya kuasa, “memecat pegawai” bakal melahirkan dilema tersendiri. Sebagai profesional, Emery harus berani melakukannya. Untuk itu, saya respect betul kepada Emery. Toh ini juga demi masa depan Arsenal juga.

Emery sudah mengambil jalan paling pedih ketika membukakan pintu keluar untuk “anaknya sendiri”. Kini tinggal Ernesto Valverde, pelatih Barcelona, untuk melakukan hal yang sama. Pemain profesional sadar akan tanggung jawab.

Kesadaran itu tidak lahir begitu saja. Selain ada andil si atlet, lingkungan pribadi juga sangat menentukan. Selama Dembele belum berani mengambil keputusan untuk keluar dari kehidupan pribadi yang toxic, selama itu pula Barcelona akan dibuat kecewa.

Sebagai sebuah klub dan entitas bisnis, Barcelona tentu tidak bisa selamanya menahan “investasi gagal”. Mereka harus dan akan sampai pada saatnya untuk tegas dan mempersilakan Dembele pergi. Ketahuilah, meminta orang tersayang untuk pergi, meski dengan apologi demi kebaikan, adalah keputusan yang pedih. Inilah beratnya menjadi pelatih sepak bola.

BACA JUGA Seperti Kecoa, Jenkinson dan Mustafi Bisa Bertahan dari Perang Nuklir Arsenal

Exit mobile version