Real Madrid dan Juventus Kehilangan Cara Untuk Melangkah

real madrid juventus liga champions guardiola zidane sarri MOJOK.CO

MOJOK.COReal Madrid dan Juventus sudah “kehilangan cara untuk melangkah”. Jika tak bisa melangkah, bagaimana keduanya bisa berlari lebih jauh di Liga Champions?

Medio 90an, sepak bola begitu berwarna. Keajaiban yang diciptakan oleh individu masih berceceran, bisa kamu temukan di setiap liga. Fantasista, playmaker, orang-orang dengan keunggulan teknis menjadi pembeda sebuah laga. Seiring zaman bergerak, sepak bola menjadi lebih “terprogram”. Seperti mesin, sepak bola bersalin wajah.

Istilah-istilah seperti “taktik”, “4-4-2 diamond”, dan “inverted winger” lebih banyak mewarnai laporan pertandingan. Deretan istilah yang dulu hampir tidak terdengar. Dulu, mungkin, kamu lebih banyak mendengar grinta atau fino alla fine istilah yang dekat dengan Juventus. Istilah untuk menggambarkan determinasi dan semangat bertarung sampai akhir.

Liga Inggris sempat dibuat tersenyum ketika Sir Alex Ferguson menciptakan isitlah squeaky-bum-time. Istilah untuk menggambarkan gregetnya pertarungan di menit akhir. Porsi narasi soal determinasi, perjuangan pemain sampai detik akhir sudah sedikit berkurang. Kini, pembaca lebih mudah memahami dan menemukan jawaban dari kekalahan sebuah klub. Narasi yang dipakai menjadi lebih teknis. Tentu saja bukan hal buruk.

Pergeseran tradisi kepenulisan itu membuat kita bisa memahami alasan kekalahan Real Madrid dan Juventus di Liga Champions. Real Madrid kalah dengan skor 1-2 dari Manchester City. Sementara itu, Juventus tidak bisa berbuat banyak di rumah Lyon, klub penghuni posisi tujuh di Ligue 1. Juventus kalah dengan skor 0-1 tanpa bisa melepaskan satu tembakan tepat kea rah gawang.

Goal.com menggunakan istilah oculatezza tattica atau tactical prudence atau jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi ‘kebijaksanaan taktik’. Maurizio Sarri sendiri mengungkapkan kalau dirinya gagal menerapkan idenya sendiri. Lyon berhasil, dalam bahasa teknis, menutup semua ruang di wilayah berbahaya.

Ide seperti apa yang ingin diwujudkan Sarri di atas lapangan? Entah. Satu hal yang pasti, hanya Cristiano Ronaldo yang bisa membuat gol untuk Juventus di babak sistem gugur sejak dia bergabung. Berapa yang Ronaldo cetak? Lima gol saja. Fakta ini bisa dibaca sebagai betapa sulitnya Juventus membuat peluang. Mereka kehilangan cara untuk melangkah di titik paling penting.

Kegagalan untuk “melangkah” juga dialami Real Madrid ketika kalah dari Manchester City. Setelah pertandingan, Pep Guardiola menjelaskan kalau skuatnya sudah paham di luar kepala soal dua skema yang mungkin dipakai Real Madrid. City sudah memperkirakan kalau Real Madrid bakal bermain dengan skema 4-3-3 atau 4-4-2 diamond.

Real Madrid bermain dengan skema 4-3-3 di babak pertama. Skema itu berubah menjadi 4-4-2 diamond ketika Vinicius digantikan oleh Gareth Bale di 20 menit terakhir laga. Apa yang bisa kamu harapkan dari sebuah laga ketika skema bermain sudah dibaca oleh lawan? Tentu saja, lawan sudah tahu cara untuk mematikan skema tersebut.

Mau bermain skema 4-3-3 atau 4-4-2 diamond, Real Madrid tidak bakal mendapatkan “sesuatu” di laga ini. Guardiola sudah punya cara untuk mengatasinya. Satu hal yang dia bagikan adalah sebuah petunjuk:

“Kami bermain dengan false 9 untuk menyesuaikan dengan cara bertahan Real Madrid. Mereka sangat agresif di lapangan tengah. Sergio Ramos, Raphael Varane, dan Casemiro jago merebut bola di area tersebut. Jadi, kami ingin menciptakan sebanyak mungkin situasi diagonal.”

Apa itu false 9? Apa yang dimaksud dengan “situasi diagonal” untuk mengatasi cara bertahan Real Madrid?

False 9 adalah merujuk peran spesifik seorang striker yang bergerak bebas ke banyak ruang. Bisa ke sisi lapangan atau turun ke lini kedua untuk ikut terlibat dalam sirkulasi bola. Sudah akrab dengan istilah itu?

Sementara itu, “situasi diagonal” bisa merujuk ke dua situasi. Pertama, pergerakan pemain dari lini kedua ke lini ketiga, dari sisi lapangan, masuk ke kotak penalti. Bukan gerak horizontal, tetapi diagonal. Yang dimaksud dengan lini kedua adalah lapangan tengah, sementara lini ketiga adalah ruang yang dekat dengan kotak penalti.

Situasi kedua merujuk umpan-umpan silang, baik mendatar atau lambung, dari lini kedua ke lini ketiga. Lagi-lagi, secara diagonal. Kenapa “diagonal” menjadi penting?

Pemain bertahan yang membelakangi gawang harus membuat gerakan ekstra untuk mengantispasi “situasi diagonal”. Misalnya bek tengah dang gelandang bertahan harus berbalik badan untuk mengejar bola, sementara pemain lawan tinggal berlari lurus saja.

Satu hal yang perlu dipahami adalah “situasi diagonal” tidak melulu berakhir dengan melepas umpan atau melakukan penetrasi secara langsung. Gimana maksudnya?

Untuk memahami “situasi diagonal” itu sangat berbahaya, silakan baca penjelasannya di sini.

Silakan cermati proses dua gol City ke gawang Real Madrid. Barisan pertahanan Real Madrid sudah menyadari kalau City akan banyak membuat “situasi diagonal”. Ketika proses menuju situasi itu sudah terpenuhi, Real Madrid sudah bersiaga. Pada titik ini, pemain City sangat kreatif menyesuaikan diri dengan situasi.

Mereka mengecoh barisan Real Madrid dengan membuat “situasi diagonal” palsu. Gelagat membuat “situasi diagonal” membuat Fede Valverde dan Dani Carvajal kehilangan momentum. Pertama, ketika Valverde gagal mengantisipasi penetrasi Kevin De Bruyne ke byline atau ujung lapangan. Kedua, ketika Carvajal salah membaca arah lari Raheem Sterling. Tekel telat kepada Sterling berbuah penalti dan menegaskan kekalahan Real Madrid.

Mungkin terlalu berlebihan, tetapi Real Madrid sudah kalah sebelum pertandingan. Guardiola berhasil menebak cara bermain Madrid dan para pemain City jago menyesuaikan diri dengan perubahan pertandingan. Sementara itu, Juventus gagal menerapkan ide Sarri dan menemukan cara mencari gawang Lyon. Tanpa peluang terjadi, bagaimana sebuah tim membuat gol?

Tulisan teknis seperti ini, mungkin, bakal lebih sering kamu temukan seiring perubahan sepak bola itu sendiri. Tulisan yang bisa menjelaskan alasan kekalahan sebuah tim secara lebih jernih. Untuk Real Madrid dan Juventus, mereka sudah “kehilangan cara untuk melangkah”. Jika tak bisa melangkah, bagaimana keduanya bisa berlari?

BACA JUGA Sosok Cristiano Ronaldo Terlalu Besar Bagi Juventus atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version