PSIM, Maitimo, Vujovic, dan Suporter: Meretas Revolusi Parang Biru

Revolusi PSIM MOJOK.CO

MOJOK.COAkan terjadi revolusi dalam tubuh PSIM Yogyakarta, karena satu-satunya yang abadi di sepak bola adalah perubahan. Sudah siap kita dengan perubahan itu?

Iklim sepak bola itu tidak bisa ditebak. Sama seperti takdir. Namun, satu hal yang pasti terjadi, adalah perubahan. Entah ke arah positif, atau negatif, tergantung klub tersebut mau berjalan ke arah mana. Suatu hari sebuah klub berjuang dengan dana yang terbatas, suatu hari ini bisa membeli pemain tanpa melihat harga. Dinamika sepak bola tak bisa ditebak.

Adalah PSIM Yogyakarta yang tengah menikmati perubahan yang “menyenangkan” itu. Selama bertahun-tahun, PSIM berjuang dengan dana yang terbilang minimal. Hampir setiap tahun pula ia melakukan seleksi menjelang musim baru. Seleksi sendiri seperti menjadi ritual klub-klub di Indonesia, terutama yang bermain di kasta kedua atau ketiga. Sebuah kebiasaan yang seharusnya tidak lagi dilakukan klub profesional, kecuali untuk tingkat akademi.

Namun, meski hampir setiap tahun melakukan seleksi, pemain yang terjaring tidak bisa dikatakan buruk. Bahkan, pemain-pemain muda yang mereka dapatkan bisa bermain lebih baik dibandingkan “pemain berpengalaman” yang didatangkan tanpa biaya transfer, alias datang karena kontraknya dengan klub sebelumnya sudah selesai. Maklum, kontrak jangka pendek adalah keniscayaan di sepak bola Indonesia.

Memaksimalkan pemain muda hasil kompetisi internal, tim pelatih dengan mata yang jeli ketika menjaring pemain, dan pelatih muda revolusioner, PSIM bisa terus bertahan. Masih kesulitan untuk promosi ke Liga 1. Namun paling tidak, masih bisa bertahan di Liga 2, bersaing dengan klub-klub luar Jawa yang punya dana lebih besar.

Namun jangan salah, hasrat untuk bermain di level kompetisi tertinggi tidak pernah padam. Setiap tahun, harapan itu dijaga. Meski memang, semua orang, fans dan manajemen, paham betul dengan yang namanya “ekspektasi”. Menjaga warisan ini tetap ada selalu menjadi yang utama. Dan hal ini sangat bisa dipahami melihat sumber daya yang ada.

Nah, menjelang musim baru yang entah kapan bergulir, perubahan mulai terasa di tubuh PSIM. Investor baru masuk. Ia membawa dana yang besar, konon sampai 20 miliar untuk musim kompetisi mendatang. Ekspektasi, sangat masuk akal ketika terangkat melihat dana besar yang belum pernah dirasakan PSIM selama satu dekade terakhir.

Sebagai salah satu klub yang membidani lahirnya PSSI, Parang Biru bakal masuk ke dalam lembaran baru. Sebuah lembaran yang belum pernah dirasakan sampai saat ini. Mereka seperti sedang “meretas”, menjebol, mungkin juga memaksa perubahan terjadi. Tidak selalu negatif, tapi perlu seseorang dengan akal sehat untuk terus berjalan mendampingi.

Maksud saya begini. Semua orang pasti tahu bahwa investor dan “kapital” yang datang akan mengubah banyak hal. Ya kebiasaan klub, cara berpikir, hingga cara memandang dinamika suporter. Klub tradisional “agak dipaksa” untuk berubah menjadi profesional dengan cepat. Dan, bukan hanya manajemen yang dituntut akan perubahan itu, melainkan juga suporter.

Seperti yang saya sampaikan di awal tulisan. Sesuatu yang pasti di sepak bola hanya satu, yaitu perubahan itu sendiri. Selebihnya tidak ada yang abadi. Termasuk juga identitas klub.

Termasuk ke identitas klub. Secinta apapun investor ke klub, ia membawa misi supaya modalnya tidak sia-sia. Dan sering terjadi, benturan antara idealisme dan bisnis. Perlu ada keseimbangan di sini.

Sepak bola adalah industri yang hidup, dan nilainya sangat besar. Investor mungkin akan membawa ideologi dan paradigma mereka sendiri. Mereka akan mengubah sesuatu di dalam tubuh PSIM yang tidak lagi kompatibel dengan zaman.

Pendukung PSIM sedang dalam euforia, pembelian pemain bintang yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya sedang terjadi. Yang perlu dijaga dari fans adalah kesadaran akan identitas. Kalau klub melenceng, berani mengingatkan. Jangan ikut arus saja.

Investor perlu didampingi. Mereka perlu diingatkan bahwa perubahan yang akan mereka inisiasi, jangan sampai merusak tradisi dan identitas yang sudah diwariskan turun-temurun. Caranya bagaimana? Dengan ikut berkembang. Perubahan tidak bisa dilawan, dan hanya perubahan ke arah profesional dan kreatif, sebuah “organisasi” pendukung bisa menghidupi klubnya sendiri.

Kalau investor membawa klub ke arah yang betul-betul berbeda, mengubah tradisi yang ada, siapa lagi yang bisa mengingatkan selain suporter?

PSIM meretas perubahan mereka secara “radikal”. The New Mandala Krida yang konon sudah bisa dipakai untuk musim baru, manajemen dengan rasa baru, pelatih baru dalam diri Vladimir Vujovic, hingga pemain baru berlabel bintang dalam diri Raphael Maitomo. Tinggal suporter saja yang perlu menunjukkan perubahan ke arah yang lebih cemerlang.

PSIM sedang berusaha berubah secara cepat. Tentu untuk nama baik Kota Yogyakarta itu sendiri. Pendukung PSIM sudah mendampingi klub dalam suka dan duka. Dalam keterpurukan, dalam segala kegagalan.

Parang Biru justru semakin butuh “teman berjalan” di saat-saat seperti ini. Ketika mereka dalam “persimpangan”, ketika mereka akan masuk babak baru yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.

Pada akhirnya, menemani PSIM berjalan adalah sebuah usaha berlutut di depan perubahan. Satu-satunya momen yang akan terus abadi di sepak bola. Jangan sampai Parang Biru bernasib seperti klub-klub lawas di Indonesia, yang menjadi the dream team untuk satu musim, untuk gagal total musim berikutnya.

#AYDK

Exit mobile version