PSIM, Kembalinya Erwan Hendarwanto, dan Jalan Memutar Menuju Perbaikan

PSIM, Kembalinya Erwan Hendarwanto, dan Jalan Memutar Menuju Perbaikan

PSIM, Kembalinya Erwan Hendarwanto, dan Jalan Memutar Menuju Perbaikan

MOJOK.COTidak mengapa manajemen PSIM Jogjakarta mengambil jalan memutar untuk menemukan kembali bahwa Coach Erwan Hendarwanto adalah sosok paling tepat.

Kedatangan investor disambut bahagia oleh semua fans PSIM Yogyakarta. Cita-cita untuk lolos ke Liga 1 seperti diperkuat. Skuat yang lebih mewah, pembangunan infrastruktur, dan re-branding langsung dilakukan oleh manajemen baru. Apalagi, musim ini, Stadion Mandala Krida sudah bisa digunakan. Semuanya seperti puzzle yang lengkap.

Namun, fans PSIM disentak oleh pergantian pelatih. Coach Erwan Hendarwanto digantikan Vladimir “Vlado” Vujovic. Alasan soal syarat lisensi melatih Liga 2 bisa diterima oleh sebagian fans PSIM. Meski memang, kekhawatiran itu sudah lahir sejak awal. Maklum, Vlado belum teruji, belum punya pengalaman melatih di bawah tekanan.

Tidak bisa dimungkiri, tekanan yang ada di Pundak Vlado sangat berat. Dia memegang amanat meloloskan PSIM ke Liga 1. Apalagi setelah skuat klub asal Yogyakarta ini “diperkuat” dengan nama-nama besar nan mahal. Selain itu, di pundak Vlado ada siluet Coach Erwan, pelatih yang kini sudah dianggap “legenda” oleh banyak fans PSIM.

Coach Erwan Hendarwanto tidak lari ketika PSIM harus mengawali musim 2018/2019 dengan situasi minus 9 poin. Sanksi pengurangan 9 poin terjadi manajemen tidak bisa langsung melunasi tunggakan gaji tiga mantan pemain asing PSIM.

Mereka adalah Lorenzo Rimkus, Emile Lingkers, dan Kristian Adelmun. Ketiganya pemain asing berdarah Belanda yang memperkuat Laskar Mataram di Divisi Utama tahun 2012. Saat itu, tim-tim dari Divisi Utama dan kasta kedua masih boleh menggunakan servis pemain asing.

Surat sanksi itu ditandatangani langsung oleh Risha A. Widjaya, Chief Executive Officer tertanggal 25 April 2018. Hukuman tersebut merupakan tindak lanjut dari surat sengketa tentang ketenagakerjaan yang yang sebelumnya dikirimkan oleh FIFA dan sudah diterima langsung oleh manajemen PSIM, melalui perantara Sekretaris Jendral PSSI Ratu Tisha.

Isi surat tersebut berbunyi, “Bahwa sesuai dengan keputusan FIFA Disciplinary Committee sebagaimana dijelaskan dalam surat PSSI makan kub PSIM Jogja dihukum pengurangan poin sebanyak sembilan di kompetisi Liga 2 tahun 2018. Pada poin selanjutnya, PT LIB, selaku operator liga, diwajibkan melakukan implementasi hukuman dengan melakukan pengurangan poin tersebut.”

Apalagi, di musim itu, PSIM hanya bisa mengumpulkan 2 poin dari 3 laga awal, hasil dari 2 kali imbang dan 1 kalah. Di sinilah “keajaiban” disajikan oleh Coach Erwan. Pelatih muda kelahiran Magelang itu bisa mengubah kondisi minus 9 menjadi plus 9. Ide bermain yang sudah jelas membuahkan hasil. Skuat Parang Biru bermain lebih baik di laga-laga selanjutnya.

Oleh sebab itu, ketika Vlado datang menggantikan Coach Erwan, banyak suporter akan selalu membandingkan performa kedua pelatih. Dan ini hal yang wajar. Saya masih ingat betul, salah satu komentator sepak bola tanah air pernah bilang kalau cara bermain PSIM di bawah asuhan Coach Erwan menjadi yang paling enak ditonton di Liga 2, bahkan Liga 1 sekalipun.

Vlado tidak kuat memikul beban itu. Dia memutuskan mundur dan digantikan oleh Aji Santoso. Suporter berharap manajemen mau mendengarkan saran mereka untuk kembali merekrut Coach Erwan. Namun, manajemen punya “visi” lain. Dan sayangnya, “visi” itu gagal terwujud di atas lapangan.

Aji Santoso bukan pelatih jelek. Pengalamannya melatih Liga 1 sangat berharga. Namun, siapa saja pelatih PSIM akan selalu disandingkan dengan Coach Erwan, pelatih legendaris itu. Secara psikologis, sebetulnya pembandingan ini tidak sehat. Namun, manusia adalah insan yang merekam. Mereka mencatat mana yang baik dan mana yang buruk. Dan tidak bisa disalahkan.

PSIM kembali bermain buruk. Tidak punya solusi untuk berbagai masalah di atas lapangan. Ketika para pemain terbentur jalan buntu, maka mereka kembali ke kebiasaan lama: bermain long ball yang sangat tidak efektif. Mudah ditebak dan tidak ada skenario untuk memenangi second ball.

Menyadari rentetan kesalahan ini, manajemen akhirnya merekrut kembali Coach Erwan, kali ini mendampingi Liestiadi. Liestiadi pernah melatih PSMS Medan dan memegang lisensi syarat melatih di Liga 2.

Meski menempuh jalan memutar, manajemen seharusnya sadar kalau cara bermain yang jernih adalah dasar perkembangan sebuah tim. Dan kenyataan itu langsung terlihat ketika PSIM mengalahkan Persatu Tuban dengan skor 2-0. Hanya melatih 4 hari, Coach Erwan menunjukkan kejelasan dibandingkan Vlado di 4 bulan pertama melatih.

Mengapa kejelasan cara bermain menjadi penting?

Tujuan berkompetisi adalah untuk menang. Betul kata Vlado, bermain indah itu bukan prioritas. Bermain pragmatis pun tidak masalah, misalnya yang beberapa kali ditunjukkan Jose Mourinho. Namun, yang katanya “bermain pragmatis” pun ada kejelasan di dalamnya. Ada sistem yang mendukung, bukan asal bermain bola jauh dan mengharapkan keajaiban.

Bermain indah atau “enak ditonton” adalah hasil dari kejelasan cara bermain. Misalnya di mana pemain harus berdiri dan bergerak tanpa bola (atau ketika menguasai bola), ke mana harus bergerak untuk memancing lawan, kepada siapa bola harus didistribusikan di sepertiga akhir, bagaimana cara membangun serangan dari bawah.

Kejelasan itu melahirkan kenyamanan bagi pemain. Umpan-umpan pendek terlihat sangat serasi dan lebih sinkron. Maka, di mata penonton, cara bermain seperti itu enak untuk ditonton. Penonton juga semakin paham tim akan bermain dengan cara apa. Perlu diingat, penonton zaman sekarang sudah jauh lebih melek taktik ketimbang satu dekade yang lalu.

Penonton bisa menilai dan berpendapat. Dan terkadang opini penonton bisa menggambarkan dengan jernih tentang kesalahan-kesalahan yang terjadi dan berulang. Jadi, pada titik tertentu, manajemen bisa datang ke suporter, silaturahmi ngopi bareng sembari rembugan tentang perkembangan tim.

Cara bermain yang jelas juga melahirkan kepercayaan diri. Meski komposisi pemain tim lebih “lemah” ketimbang lawan, tetapi tim tahu bisa menang. Kenapa? Karena sudah belajar tentang kelemahan dan cara mengeksploitasinya. Bukan sekadar umpan jauh dan berharap Christian Gonzales bisa bikin gol dari setiap bola jauh.

Pemain PSIM yang lebih optimis melahirkan keyakinan untuk menang di setiap laga. Hal inilah yang menjadi latar belakang mengapa PSIM bisa membalikkan defisit minus 9 menjadi plus 9 di bawah asuhan Coach Erwan.

Jalan memutar yang diambil manajemen memang sudah terjadi. Kini, di tangan yang tepat, sudah waktunya menejemen mendukung penuh konsep Coach Erwan. Toh kalau PSIM lebih rutin menang, manajemen juga yang akan mendapatkan apresiasi. Suporter senang, manajemen bangga. PSIM ke Liga 1 bukan angan belaka.

BACA JUGA PSIM Bersama Vladimir Vujovic: Bisakah Mengikis Jejak Manis Erwan Hendarwanto? Atau artikel Yamadipati Seno lainnya.

Exit mobile version