Prediksi Juara Piala Dunia 2018: Antara Jerman dan Brasil Saja?

MOJOK – Meraba masing-masing negara unggulan di Piala Dunia 2018, prediksi juara Mojok mengerucut kepada dua negara saja, Jerman dan Brasil. Mengapa?

Dengan greget yang terasa datar saja, Piala Dunia 2018 akhirnya sepak mula juga. Kompetisi terbesar di dunia ini akan dibuka dengan partai tuan rumah, Rusia, menjamu Arab Saudi. Sementara itu, petunjuk bursa taruhan dan prediksi sudah mulai bertebaran. Perubahan situasi di beberapa negara membuat Piala Dunia kali ini, bisa jadi, lebih mudah ditebak.

Mojok Institue menyaring banyak berita dan analisis terkait peserta Piala Dunia 2018 kali ini. Kami berusaha mengerucutkan analisis menjadi satu atau dua tim saja. Prediksi juara Piala Dunia 2018 kali ini dibuat berdasarkan pandangan teknis supaya penilaian menjadi lebih objektif. Jadi, jika prediksi Mojok memang meleset, kami sudah memberi peringatan.

Piala Dunia 2018 mengerucut ke dua tim saja?

Jika bicara siapa yang menjadi unggulan, setidaknya ada delapan negara yang layak. Mereka adalah Jerman, Brasil, Argentina, Prancis, Spanyol, Inggris, Portugal, lalu Belgia. Namun, jika membedah satu per satu, peluang negara yang menjadi juara hanya mengerucut ke dua negara saja. Yang dimaksud adalah Jerman dan Brasil. Berikut analisisnya.

Sekitar satu bulan sebelum Piala Dunia 2018 dimulai, susunan empat negara unggulan menurut Sam Tighe, jurnalis dari bleacherreport.com adalah sebagai berikut: Spanyol, Jerman, Brasil, Argentina. Spanyol, yang menjadi juara dunia tahun 2010 dijagokan untuk menjadi juara karena dua alasan.

Pertama, di bawah asuhan Julen Lopetegui, timnas Spanyol belum pernah kalah. Dari 20 pertandingan, Spanyol menang 14 kali, imbang 6 kali, dan 0 kalah. Sepanjang 20 pertandingan tersebut, Spanyol mencetak 61 gol dan kebobolan 13. Spanyol, di bawah Lopetegui, menjadi tak hanya kreatif, namun juga efektif.

Alasan kedua, banyak pemain utama timnas Spanyol saat ini yang sudah kenal betul dengan Lopetegui. Mulai dari Isco Alarcon yang menjadi andalan, lalu ada Marco Asensio yang berperan besar di babak penyisihan Piala Dunia, hingga Lucas Vazquez, andalan sejak Spanyol U-21. Kedetakan ini menjadi pondasi skuat yang tangguh.

Sayangnya, “tragedi” terjadi ketika secara tiba-tiba, federasi sepak bola Spanyol memecat Lopetegui hanya dua hari sebelum Spanyol berlaga di Piala Dunia 2018. Alasannya, Lopetegui tidak menghargai federasi. Lopetegui kedapatan menjalin kesepakatan dengan Real Madrid hanya 2 hari sebelum Piala Dunia dimulai.

Pengganti Lopetegui adalah Fernando Hierro, salah satu legenda Real Madrid. Perubahan kepemimpinan membuat Spanyol tak lagi dijagokan. Susunan empat negara unggulan menjadi seperti berikut: Jerman, Brasil, Argentina, dan Spanyol. Pelatih baru, ide baru, suasana baru, dianggap tidak ideal untuk Piala Dunia. Meski bola itu bulat dan semua bisa terjadi, sungguh sulit masuk ke logika ketika secara tiba-tiba Spanyol tetap solid seperti di bawah asuhan Lopetegui.

Nah, bagiaman dengan negara-negara unggulan lainnya?

Argentina dan Prancis punya komposisi pemain yang sungguh menarik. Secara individu, kedua negara ini tak kalah jika disejajarkan dengan Jerman atau Brasil. Namun, baik Argentina maupun Prancis punya masalah masing-masing, yang bisa sangat memengaruhi sejauh apa perjalanan keduanya di Rusia 2018.

Argentina? Tentu masih soal keberadaan Lionel Messi di dalam skuat. Bagaimana Jorge Sampaoli memaksimalkan Messi? Apakah Messi bisa menemukan chemistry dengan kawan-kawannya di Argentina? Apakah harus Messi yang berkorban menyeret tim ini kembali ke babak final seperti di Brasil 2014? Pertanyaan-pertanyaan itu sungguh mengganggu bagi Argentina.

Prancis? Tim Ayam Jantan ini punya komposisi skuat yang sangat baik. Boleh dikata, inilah generasi emas jilid kedua, setelah Prancis 1998. Mulai dari barisan pertahanan, hingga penyerang, diisi pemain-pemain di usia emas dan pemain muda yang matang dengan cepat. Pun, di bawah asuhan Didier Deschamps, Prancis mulai menemukan bentuk permainan terbaik.

Masalah Prancis sendiri adalah masalah konsistensi dan mental. Di Piala Eropa dua tahun yang lalu, di rumah sendiri, Prancis justru kalah di sebuah laga di mana mereka tidak boleh kalah, yaitu di babak final. Dengan barisan depan yang tidak jauh berbeda, Prancis sulit menemukan gol.

Untuk Piala Dunia 2018, Prancis akan mengandalkan trio Kylian Mbappe, Antoine Griezmann, dan Ousmane Dembele. Tiga pemain cepat dan tajam. Di belakang ketiganya, Deschamps membuat perubahan dengan menaikkan posisi Paul Pogba satu garis lebih tinggi. Ia akan ditopang N’Golo Kante dan Corentin Tolisso. Pogba, yang bermain berdekatan dengan kotak penalti, adalah Pogba yang berbahaya. Komposisi, kepaduan, dan kreativitas lini serang ini yang membuat Prancis dijagokan melaju lebih jauh dibandingkan Argentina.

Tentu saja, apabila les Blues mampu menemukan konsistensi dan mengatasi lemahnya mental mereka ketika bermain di pertandingan penting. Dari kontestan Eropa, Prancis menjadi negara yang paling punya bekal mendekati kesempurnaan Jerman.

Bagaimana dengan Inggris dan Belgia?

Perbaikan cara bermain sudah ditunjukkan oleh Gareth Southgate bersama Inggris. Cara bermain mereka lebih modern. Southgate terbukti mau belajar dan mengubah wajah tim Tiga Singa menjadi lebih segar. Namun, masalah bagi Inggris, dan Belgia, tidak jauh dari masalah Prancis, yaitu soal konsistensi dan mental.

Jangan salah, bersama Spanyol, Inggris menjadi tim yang sangat dominan ketika melewati babak kualifikasi Piala Dunia 2018. Di beberapa laga uji coba, Inggris juga bermain solid. Pertanyaannya, mampukah mereka membawa performa ini ke Rusia 2018? Karena sudah terbukti di kompetisi sebelumnya, Inggris gagal menduplikasi performa babak kualifikasi ke babak putaran final.

Jerman dan Brasil yang solid

Mengapa Jerman dijagokan bisa mempertahankan gelar juara dunia? Paling tidak, ada tiga alasan yang mendukung klaim tersebut.

Pertama, tangguh di kompetisi resmi. Sebagai spesialis turnamen, narasi ini selalu diulang-ulang setiap Piala Dunia atau Piala Eropa dimulai. Kenapa? Karena memang tidak salah. Semua tim harus bermain sempurna untuk menyingkirkan Tim Panser. Dan ketika Anda bermain di Piala Dunia, dengan tekanan yang begitu berat, bermain sempurna adalah pekerjaan yang ringan diucapkan, berat untuk diwujudkan.

Kedua, regenerasi yang terbilang sukses. Philipp Lahm sudah pensiun. Begitu juga dengan Bastian Schweinsteiger. Di lini depan, Mario Gomez bukan lagi pilihan pertama (setidaknya jika melihat performa Jerman di penyisihan). Namun, pemain-pemain yang dibawa, mulai dari Joshua Kimmich, Ilkay Gündogan, dan Timo Werner mampu mencocokan diri dengan ide Joachim Löw.

Satu kerikil kecil bagi Jerman adalah soal dilema pemilihan kiper. Marc-Andre ter-Stegen bermain apik untuk Barcelona musim ini. Namun, Löw nampaknya masih menaruh harapan tinggi kepada kiper super milik Bayern München, Manuel Neuer, yang baru terbebas dari cedera. Jika Neuer tidak fit, namun dipaksa bermain, Jerman bisa berada dalam situasi berbahaya.

Alasan ketiga, kondisi lawan yang dipertanyakan dan tidak lebih baik dari Jerman. Penjelasannya sudah ada di atas soal Spanyol, lalu Argentina, dan Inggris.

Bagaimana dengan Brasil?

Tite, pelatih Brasil, punya dua kondisi yang memungkinkan anak-anak asuhnya menantang Jerman di laga puncak Piala Dunia 2018.

Kondisi pertama, Tite mampu menginjeksikan sifat pragmatis ke dalam imajinasi ala Brasil. Masalah usang milik Brasil di hampir semua kompetisi adalah daya tarung dan lini pertahanan. Di bawah asuhan Tite, Brasil menjadi sulit untuk dikalahkan. Mereka tetap tangguh ketika menghadapi lawan yang sama kuat, tanpa kehilangan kreativitas yang sudah mendarahdaging.

Kondisi kedua, Tite mendapatkan kepercayaan penuh dari anak-anak asuhnya. Bahkan, Tite menjadi satu dari sedikit pelatih yang mampu menjinakkan Neymar. Megabintang milik PSG itu dibuatnya menangis haru ketika Tite bela di depan wartawan. Tite pula yang mampu “memaksa” Neymar berlari membantu pertahanan ketika dibutuhkan.

Kepercayaan anak-anak Samba kepada Tite sangat terasa ketika sang pelatih mengoplos jatah kapten tim. Biasanya, pemain yang sudah ditunjuk sebagai kapten akan marah ketika statusnya diganti. Namun hal itu tidak berlaku di timnas Brasil. Di pertandingan A, Neymar menjadi kapten. Namun di pertandingan B, Willian yang gantian dipercaya.

Cara ini ampuh untuk mengangkat kepercayaan diri si pemain yang mengenakan ban kapten, sekaligus mengasah rasa saling percaya di antara pemain. Suasana harmonis, para pemain yang punya kedekatan mental, bisa menjadi bekal penting melawan tekanan Piala Dunia. Oleh sebab itu, wajar apabila Brasil diunggulkan.

Lantas, siapa yang akan menjadi juara? Kesimpulan terakhir saya kembalikan kepada para pembaca. Masing-masing tentu punya preferensi sendiri.

Exit mobile version