Perang Ludah Yeyen Tumena: Menyaksikan Kelanjutan Opera Sabun PSSI

Perang Ludah Yeyen Tumena: Menyaksikan Kelanjutan Opera Sabun PSSI Shin Tae-yong Indra Sjafri MOJOK.CO

Perang Ludah Yeyen Tumena: Menyaksikan Kelanjutan Opera Sabun PSSI Shin Tae-yong Indra Sjafri MOJOK.CO

MOJOK.COSaya heran, di bagian mana Shin Tae-yong meremenkan pemain timnas PSSI. Duh, Pak Yeyen Tumena cuma “satu lagi episode” dari opera sabun murahan PSSI, nih.

“Jujur saja, sebagai pelatih menurut saya STY (Shin Tae-yong) terlalu banyak mengucapkan kata-kata yang tidak pantas, termasuk meremehkan pemain Indonesia. Seharusnya, pelatih harus memberikan motivasi dan perkataan positif kepada pemain dan timnya. Bukankah dia dibayar mahal untuk memperbaiki sepakbola Indonesia?” Kata Yeyen Tumena seperti dikutip Goal Indonesia.

“Opini yang buruk, Yeyen. Sekarang kembali bawain kuis.” Hoi, itu Yeyen Lidya, bukan Tumena. Bukan, itu bukan rekaan saya, tetapi respons netizen kepada pendapat Yeyen Tumena. Perseteruan antara Shin Tae-yong vs Indra Sjafri + PSSI belum juga mereda, Om Yeyen datang dengan obor yang menyala.

Publik sepak bola Indonesia, saya berani katakan, sedang sebal betul sama PSSI. Semua orang, saya juga yakin, kalau kritikan keras Shin Tae-yong kepada Iwan Bule dan PSSI tidak mungkin muncul begitu saja. Dan terima masih kepada pentas opera sabun murahan PSSI selama bertahun-tahun, banyak yang justru mendukung Shin Tae-yong. Bukan kejutan, sih.

Sementara itu, Yeyen Tumena punya cara pandang yang berbeda, untuk tidak mengatakannya unik. Pertama, soal meremehkan pemain Indonesia, yang dituduhkan Om Yeyen kepada Pak Shin. Jujur, saya tidak pernah menemukan satu kalimat dari Pak Shin yang meremehkan pemain hasil kompetisi PSSI.

Tunggu, apakah yang dimaksud meremehkan itu adalah data shuttle run pemain Indonesia dibandingkan dengan Korea Selatan? Soal “kemampuan” Shin Tae-yong bilang begini:

“Ketika kami berlatih shuttle run dengan pemain Korea, mereka biasanya bisa mencapai 60 hingga 70. Namun, dengan pemain Indonesia, mereka melakukan 30 sampai 40, lalu menyerah. Saya sebenarnya tidak ingin membuat program latihan terlalu berat. Namun, saya berharap kita menyadari di mana posisi kita saat ini. Saya berpikir kita hanya bisa meraih target dengan meningkatkan kemampuan.”

Kalau begitu, bukankah PSSI harusnya berterima kasih? Berterima kasih karena Pak Shin tahu apa yang perlu dilakukan untuk membangun timnas yang lebih BERKUALITAS. Daaan…kita tahu imbasnya, kalau timnas jadi lebih baik, kualitas kompetisi juga akan terdongkrak. Di sana akan terjadi proses belajar, saling menguntungkan, dan ujungnya sepak bola Indonesia yang menikmati, termasuk Yeyen Tumena yang saya yakin akan menari kegirangan ketika timnas menjuarai sebuah kompetisi.

Bukankah salah satu cara untuk maju dan menjadi lebih baik adalah dengan memetakan kelamahan? Kalau sudah lemah, tapi besar kepala, egosi, dan merasa bangsa besar, itu namanya tidak tahu diri. Ketika kesombongan dan ke-aku-an masih dipikul, kita tidak akan maju satu langkah pun.

Oiya, satu hal lagi, caranya mengukur shuttle run itu gimana? Apakah dengan nemempelkan telapak tangan ke jidat pemain binaan PSSI lalu bisa ditakar nilainya? Atau, apakah shuttle run itu diukur dengan “sebuah teknologi”? Silakan dipikirkan baik-baik.

“Seharusnya, pelatih harus memberikan motivasi dan perkataan positif kepada pemain dan timnya,” kata Pak Yeyen Tumena.

Sejauh yang saya tahu, yang dibutuhkan pesepak bola adalah ilmu. Baik soal teknis sepak bola yang diiringi oleh ilmu kebugaran untuk merawat tubuh masing-masing pemain. Motivasi adalah “sesuatu” yang membungkus dua hal itu. Kalau hanya motivasi dan perkataan positif, mending timnas Indonesia dilatih Tung Desem Waringin.

Pelatih yang baik hidup “di dunia nyata”. Dia harus tahu kelebihan dan kekurangan tim yang diasuh. Dan sudah tugasnya untuk mengatakan yang sebenarnya. Meski pahit, tetapi demi perbaikan ke depan. Bisa jadi, perkataan manis hanya bertahan sesaat. Namun, ilmu sepak bola akan bertahan selamanya di dalam kepala pemain.

Pak Yeyen juga menduduh Pak Shin membuat Danurwindo kehilangan pekerjaannya sebagai Direktur Teknik. Namun, pada kenyatannya, PSSI yang mencopot Danurwindo dan menggantinya dengan…the one and baking only…Indra Sjafri. Nah lo, saya nggak mau melanjutkan, ah. Malu.

Bolalob mengukutip kalimat Yeyen Tumena lainnya. Bunyinya: “Saya melihat dari sisi etika, sejak awal kedatangan Shin Tae-yong sudah tidak baik. Mungkin dia tipe pria yang sulit percaya pada orang asing di luar rekan senegara.”

Yeyen Tumena bilang kalau Pak Shin harus menghormati PSSI karena statusnya sebagai “karyawan”. Sebuah kalimat yang kuno sekali, tapi ya sudahlah. Kita ikuti logikanya.

Sebagai “karyawan yang baik”, sudah sewajarnya Pak Shin bekerja sebaik mungkin. Demi apa? Gaji? Kalau soal gaji, Pak Shin nggak akan melatih PSSI, eh timnas Indonesia, tapi sebuah klub dari Cina. Pak Shin, bekerja demi hasil maksimal. Salah satu caranya dengan membawa staf terbaik.

Para staf yang sudah menemani Shin Tae-yong menghadapi tim-tim raksasa dunia. Para staf yang membantu Pak Shin dan pemain Korea Selatan mengalahkan Jerman di Piala Dunia. Kalau jadi pemain timnas PSSI, saya akan merasa sangat bahagia karena dikelilingi staf kelas dunia. Artinya, kualitas diri ini akan meningkat. Karier di depan akan lebih cerah.

Bung Tommy Welly memandang pernyataan Indra Sjafri sebagai kalimat-kalimat yang tidak mencerdaskan. Meminjam kalimat Bung Towel, maaf-maaf saja, pendapat Om Yeyen Tumena juga sama tidak mencerdaskan.

Om Yeyen datang, langsung menyemburkan ludah saja. Lebih baik diam dan kembali bawain kuis. Ahh, maaf, itu Yeyen Lidya. Maaf ya, saya sering kebalik-bolak.

BACA JUGA PSSI dan Indra Sjafri Mencoreng Arang ke Kening Sendiri atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version