Kemarahan Xhaka dan Cara Emery Menumpuk Bangkai di Gudang Arsenal

Kemarahan Xhaka dan Cara Emery Menumpuk Bangkai di Gudang Arsenal MOJOK.CO

MOJOK.COJika Emery malah delusi dengan mendaku sudah membuat Arsenal lebih kompetitif dan Xhaka hanya bisa merajuk, apakah kemarahan fans masih dianggap kesalahan?

Pantaskah fans Arsenal mencemooh Granit Xhaka? Atau, biar saya ganti pertanyaannya menjadi, “Pantaskah fans mencemooh pemain dari klub kesayangannya?” supaya lebih universal?

Jawaban untuk pertanyaan itu tentu akan sangat beragam dan masing-masing punya kebenarannya sendiri. Protes kepada pemain dari klub yang kita bela tentu sah saja. Sementara itu, mendukung si pemain secara penuh tentu sangat baik. Nah, bagaimana jika dilema itu masuk ke dalam masalah besar sebuah klub bernama Arsenal?

Saya sebut sebagai masalah besar karena masalah yang sedang menimpa Arsenal sangat kompleks. Ada banyak dan salah satunya adalah menajemen pemain dari Unai Emery. Di mata saya, adegan kemarahan Xhaka ketika diganti di laga melawan Crystal Palace adalah sebuah keniscayaan, sebuah bom waktu yang menunggu waktu meledak saja.

Pertengahan babak kedua, skor sama kuat 2-2, Emery mengganti Xhaka dan memasukan Bukayo Saka. Seingat saya, ini kali ketiga Emery mengganti Xhaka di tengah laga. Biasanya, cara bermain Arsenal menjadi lebih segar, lebih cair di tengah. Merasa tidak bermain sejelek biasanya, Xhaka marah dengan keputusan Emery.

Xhaka menunjukkan kekesalannya dengan tidak segera berlari ke pinggir lapangan supaya Saka bisa masuk. Dia malah berjalan dengan perlahan sebagai bentuk kemarahan. Sedetik kemudian, Stadion Emirates meledak. Cemoohan kepada Xhaka semakin menjadi. Merasa tidak didukung fans, Xhaka justru bikin suasana semakin panas lewat gesture tangan dan disusul makian “Fuck off!” yang tertangkap kamera tivi.

Menurut saya, kemarahan Xhaka ini tidak bisa dipandang sebagai aksi tunggal. Ini bukan saja reaksi atas pergantian pemain yang dilakukan Emery. Pun kamu juga perlu berlaku adil kepada penonton yang hadir langsung di dalam stadion.

Paul Fischer, salah seorang penonton yang duduk di Clock End bercerita. Beberapa penonton sebetulnya masih biasa saja ketika wasit keempat mengangkat papan pergantian pemain dan nomor punggung Xhaka yang keluar. Penonton menjadi “liar” ketika Xhaka tidak segera keluar, justru berjalan pelan, padahal Arsenal diburu waktu untuk mengejar gol ketiga.

Ingatan banyak fans, saya yakin, terlempar ke beberapa pertandingan sebelumnya. Xhaka bukan satu-satunya pemain yang tampil buruk sepanjang musim ini. Namun, kesalahan-kesalahan yang konsisten dilakukan itu membuat dirinya rentan akan caci maki. Apalagi, pemain asal Swiss itu adalah kapten utama Arsenal.

Xhaka memang tidak memilih dirinya sendiri sebagai kapten. Emery yang melakukannya. Namun, ada 2 hal yang perlu dipahami ketika kamu menjadi kapten. Pertama, jika bermain buruk, kamu tidak imun kepada kritik, bahkan hinaan. Kedua, kamu tidak boleh bereaksi brutal kepada kemarahan fans. Itu aturan tidak tertulis.

Merespons kemarahan fans tidak bisa dengan kemarahan juga. Sebagai kapten, ketika Arsenal sedang diburu waktu mengejar gol kemenangan, kamu tidak bisa malah berjalan santai demi protes “Kenapa saya yang diganti?”. Kamu harus membunuh perasaan pribadi itu dan berkorban untuk tim. segera lari ke tepi lapangan supaya pemain lain bisa masuk. Setiap detik berharga dan Xhaka justru memancing chaos. Xhaka tidak membantu dirinya sendiri malam itu.

Rasa sayang yang ditunjukkan fans kepada Mesut Ozil dan kebencian kepada Xhaka menjadi gambaran mereka akan sosok Emery. Bagi saya, sejak musim ini dimulai, Emery sudah menumpuk bangkai di dalam gudang. Bau bangkai tidak akan bisa ditutupi. Hanya butuh waktu saja ketika bau itu terasa mengganggu dan perlu disingkirkan.

Pengasingan yang dilakukan kepada Ozil sangat tidak membantu. Terbukti dari betapa sulitnya Arsenal menyirkulasikan bola di sepertiga akhir. Pilihan yang bisa diambil hanya umpan silang dari sisi lapangan. Artinya, cara menyerang Arsenal menjadi sangat terbatas.

Afeksi berlebihan dari Emery untuk Xhaka juga sangat tidak membantu. Sudah seharusnya Xhaka kena rotasi selepas ditahan imbang Watford. Namun, Emery justru terus memainkannya. Ketika performa pemain semakin buruk, dia akan semakin rentan menjadi tujuan kebencian. Emery tidak membantu Xhaka untuk bernapas dan memperbaiki performa.

Ketika kebencian itu terus memuncak dan si pemain tidak sadar dengan posisinya, respons chaos yang disajikan oleh fans di Emirates menjadi bisa dimaklumi. Ada banyak fans yang sudah mendukung Arsenal sejak pertengahan 80an, ketika nama Emery belum terdengar dan Xhaka masih menendang bola sambil mengenakan popok.

Fans ini merekam dengan mata dan hati mereka akan masa-masa jaya Arsenal. Kerinduan yang bergejolak, yang sudah ditahan selama satu dekade lebih itu butuh pelampiasan. Bukan dengan performa buruk pelatih dan pemain yang tidak sadar posisi. Bukan dengan pembelaan kosong, tetapi prestasi dan usaha menjaga harga diri.

Jika Emery malah delusi dengan mendaku sudah membuat Arsenal lebih kompetitif dan Xhaka hanya bisa merajuk, apakah kemarahan fans masih dianggap kesalahan?

BACA JUGA Menyimpan Bangkai Ala Arsene Wenger atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.

Exit mobile version