Cesc Fabregas, Tentang Cinta yang Melelahkan Bersama Arsenal

Arsenal Fabregas arsene wenger Barcelona Liga Inggris MOJOK.CO

MOJOK.COFabregas boleh dianggap bukan legenda. Namun, kita semua sepakat kalau Fabregas mencintai Arsenal sepenuh hatinya. Bukankah itu sudah cukup?

Apakah Cesc Fabregas layak disebut sebagai legenda Arsenal?

Pertanyaan itu menjadi pemantik perdebatan panjang yang dimulai tahun 2011. Ketika hari yang sudah diramalkan itu datang juga. Ketika sang kapten, menjelang usia emas, akhirnya angkat kaki dari London Colney. Ketika Cesc Fabregas akhirnya merasa “sudah cukup” menanggung segalanya.

Samar-samar saya masih ingat laporan pertandingan debut Fabregas bersama Arsenal. Kala itu, layanan streaming belum ada di Indonesia. Kata “internet” saja masih jarang terdengar pada tahun 2003 itu. Tema laporan pertandingan itu adalah tentang seorang remaja, berusia 16 tahun 177 hari, menjadi pemain termuda yang melakukan debut untuk Arsenal.

Foto dari laporan pertandingan itu menunjukkan seorang remaja dengan rambut bergaya semi-mullet. Sungguh mencolok kala itu. Lewat narasi yang saya baca sepintas lalu, si remaja itu diprediksi akan menjadi pemain penting bagi Arsenal di masa depan. Kata “kecerdasan”, mungkin, saya temukan lebih dari satu kali.

Seiring waktu, bersama bahan bacaan yang masih sangat terbatas, saya mengenal Cesc Fabregas lebih jauh. Tentang kerja keras Francis Cagigao meyakinkan keluarga Fabregas untuk terbang ke London di musim panas, ketika kompetisi pemain muda Spanyol tengah rehat. Francis Cagigao dan Steve Rowley adalah dua pengawal divisi pencari bakat The Gunners yang termasyhur.

Saat itu, yang saya tahu, Fabregas yang masih berusia 15 tahun langsung menerika tawaran Arsenal. Keluarga si wonderkid juga langsung “mengiyakan” isi kontrak yang dijelaskan secara langsung oleh David Dein dan Arsene Wenger.

Berkat wawancara @arseblog dengan Fabregas 17 tahun kemudian saya tahu dinamika yang sebetulnya terjadi. Saat itu, manajemen Barcelona tidak ingin kehilangan pemain berbakat adik kelas Andres Iniesta. Manajemen Barcelona tidak putus-putus menelepon keluarga Fabregas. Mereka ingin Cesc kembali ke akademi setelah rehat kompetisi.

Berkat wawancara itu juga, saya tahu kalau Fabregas sendiri menolak pendekatan Manchester United. Cesc bilang kalau Arsenal adalah klub yang “ada untuk dirinya”. Dia langsung merasa cocok. Lewat pengamatan cara bermain, lewat pendekatan kekeluargaan yang dilakukan Arsene Wenger dan David Dein, dan dari kepercayaan yang langsung terasa.

Ditempa skuat legendaris Arsenal

Fabregas datang di saat paling tepat. Saya berani bertaruh. Banyak pemain muda berbakat di dunia yang tidak akan melewatkan kesempatan berlatih bersama skuat legendaris Arsenal. Skuat yang membungkus satu musim tanpa satu kekalahan. Skuat yang mendapatkan piala emas. Piala spesial yang sampai saat ini tidak bisa diraih oleh klub-klub mapan nan kaya Liga Inggris.

Satu hal yang membekas di dalam hati Fabregas adalah betapa pemain-pemain hebat itu tidak membiarkan dirinya kesepian. Ada sekitar tujuh atau delapan pemain yang selalu membantunya. Dari Thierry Henry, Robert Pires, sampai Lauren, selalu mengajaknya mengobrol, memberi nasihat. Bagi pemain muda yang pasti minder, sikap pemain senior itu adalah berkah.

Apalagi, pemain muda satu angkatan Fabregas banyak yang bermasalah dengan cedera. Philippe Senderos dan Sebastian Larsson bermasalah dengan cedera di awal-awal karier mereka bersama Arsenal. Praktis, ketika berlatih bersama tim utama, karena dinilai lebih berbakat ketimbang pemain muda lainnya, Fabregas selalu sendirian. Tidak ada pemain seusia yang relate dengannya.

Fabregas belajar soal dedikasi dan totalitas di lapangan latihan. Suatu kali, Arsenal berlatih sebagai persiapan melawan Manchester United. Patrick Vieira melakukan tekel keras kepada Freddie Ljungberg. Fabregas kaget setengah mati melihat tekel keras itu karena besoknya adalah pertandingan penting. Bagaimana kalau cedera….

Lauren, bek kanan skuat legendaris itu tahu kalau Cesc kaget. Lauren mendatangi Fabregas dan berkata: “Tekel keras dari kapten itu artinya kita tidak berlatih dengan baik.” Dan beberapa saat kemudian, intensitas dan kualitas latihan meningkat pesat. Dedikasi dan totalitas itu tertanam begitu dalam di jiwa manusia Fabregas.

Dia ditempa oleh lingkungan terbaik. Ketika skuat legendaris itu pergi satu demi satu, dia yang sudah ditempa mampu mengenakan ban kapten dengan hati sekeras berlian.

Ketika Fabregas lelah

Fans Arsenal tahu betul penderitaan klub ini setelah hengkang ke Emirates Stadium. Pengetatan keuangan menjadi kenyataan pahit yang mau tak mau harus ditelan. Arsenal, dari sebuah klub berisi pemain kelas satu berubah menjadi “pabrik, pengimpor pemain berbakat”. Semuanya demi pemasukan klub.

Fabregas menyadari betul keadaan ini. Dia, yang masih berusia 20 tahun, mampu memahami dan mau memikul beratnya tanggung jawab. Hingga suatu ketika di tahun 2009, ketika Xabi Alonso sangat ingin pindah ke Arsenal, alih-alih Real Madrid. Sepanjang musim panas, Xabi menelepon Fabregas.

Xabi meminta tolong Fabregas untuk membujuk manajemen Arsenal. Kata “begging” bercampur di dalam obrolan-obrolan panjang dua pemain ini. Kamu pastinya paham, ketika ada pemain yang sampai “memohon” untuk dibeli, si pemain akan menjadi aset penting. Artinya, dia sudah mencintai klub ini bahkan sebelum bergabung.

Fabregas sudah melakukan semua yang dia bisa. Menghubungi manajemen, hingga berbicara secara langsung dengan Arsene Wenger. Namun sayang, “final push” itu tidak terjadi. Manajemen The Gunners tak punya uang. Cesc maklum. Namun, kekecewaan sudah kadung terjadi.

Padahal, saat itu, skuat Arsenal seperti tinggal kurang satu atau dua pemain saja untuk mampu mengejar gelar juara. Gelar juara Liga Inggris yang diimpikan Fabregas sejak lama. Dia memang terdaftar di skuat invincible, tetapi tidak bermain pertandingan liga satu kali pun. Dia merasa belum mengangkat piala karena tidak punya hak.

Selain soal kerja transfer Arsenal yang memang mengecewakan, meski kita maklum karena kondisi keuangan, situasi ruang ganti juga tidak membantu. Ketika Fabregas memberikan semuanya untuk Arsenal, dia merasa pemain lain tidak punya komitmen yang sama.

Fabregas pernah tetap bermain ketika dirinya demam tinggi, ketika sedang cedera, bahkan di hari ketika kakeknya meninggal. Arsenal selalu dinomorsatukan. Namun, sayangnya, dia tidak melihat komitemen yang sama dari rekan-rekannya.

Pernah suatu kali, ketika Arsenal kalah, para pemain lain justru bercanda di dalam bus. Pemain lain malah membuat janji untuk nongkrong setelah sampai di London malam harinya. Dia mereka “sendiri” di London. Dia hanya bisa menangis. Sebagai kapten, dia merasa menjadi sosok yang paling bersalah dari setiap kekalahan.

Apa yang terjadi, ketika kamu sudah bekerja lebih keras ketimbang rekan satu tempat kerja, tetapi tidak mendapatkan apresiasi yang layak?

Fabregas adalah kapten. Beberapa dari kalian menyebutnya sebagai legenda, sebagian lagi membencinya karena memaksa kepindahan ke Barcelona pada 2011. Namun, pada akhirnya, dia juga manusia. Yang bisa merasa lelah. Yang bisa bisa kalah oleh dirinya sendiri. Yang tidak dipahami dan dihargai oleh rekan di tempat kerja.

Ketika kalimat “mentally exhausted” meluncur dari mulut Fabregas, hati saya terasa pedih. Dia mencintai klub ini secara bulat. Arsenal adalah bagian dari dirinya. Namun, sekali lagi, dia adalah manusia yang bisa merasa lelah.

Arsenal memalingkan muka

Ketika Barcelona hendak menjual dirinya beberapa tahun kemudian, yang diinginkan Fabregas adalah kembali ke Arsenal. Saat itu, di dalam kontrak penjualan Fabregas, dari Arsenal ke Barcelona berisi sebuah klausul yang namanya “first option to buy”. Artinya, Arsenal punya waktu satu minggu penuh untuk bernegosiasi dengan Barcelona. Saat itu, Fabregas tidak boleh melakukan pendekatan dengan klub lain.

Fabregas berinisiatif menelepon manajemen Arsenal. Dia menegaskan kalau ingin pulang. Namun, selama satu minggu itu, tidak ada satu pernyataan pun yang keluar dari manajemen The Gunners. Satu minggu yang senyap. Hingga akhirnya satu minggu lewat dan Cesc mendapatkan tawaran dari tiga klub: Manchester United, Manchester City, dan Chelsea.

Dia tidak mau bermain di Manchester. Toh sejak remaja dia sudah menolak pendekatan Manchester United. Jose Mourinho dan Chelsea justru yang memberikan kejelasan, baik soal kontrak maupun visi di lapangan. Dan kita tahu pada akhirnya, Cesc akhirnya memenuhi impiannya mengangkat piala Liga Inggris bersama Chelsea.

Banyak fans Arsenal yang menghujat Fabregas karena memaksa kepindahan ke Barcelona. Apalagi ketika Cesc terlihat tidak berusaha melawan sekuat tenaga ketika Pepe Reina memakaikan seragam Barcelona di acara selebrasi juara Piala Dunia. Beberapa pemain Barcelona pun membantu Pepe Reina untuk memaksa Cesc.

Dia mengakui kalau itu sebuah kesalahan. Namun, di tengah euforia menjuarai Piala Dunia, ketika setengah mabuk, dia tidak berdaya. Dia memaklumi kalau ada fans yang membenci dirinya. Itu sudah bagian dari pekerjaan. Cesc hanya bisa berterima kasih untuk semua cinta yang diberikan klub ini kepadanya.

Apa arti legenda bagi dirimu? Apakah dia yang hanya bermain di satu klub sepanjang karier? Apakah dia yang sukses membawa sebuah klub menjuarai kompetisi tertinggi? Atau…apakah dia yang bertahan dengan segenap hati, menelan semua kekecewaan, dan menanggung penderitaan mental seorang diri?

Semua makna legenda baik adanya. Fabregas boleh dianggap bukan legenda. Namun, kita semua sepakat kalau Fabregas mencintai Arsenal sepenuh hatinya. Bukankah itu sudah cukup?

BACA JUGA Arsenal: Prasasti Kegagalan yang Dicuci dengan Tangis Eduardo dan Abou Diaby atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version