European Super League: Persekutuan Jahat para Pencuri Sepak Bola

European Super League: Persekutuan Jahat para Pencuri Sepak Bola MOJOK.CO

European Super League: Persekutuan Jahat para Pencuri Sepak Bola MOJOK.CO

MOJOK.COEuropean Super League adalah arena bermain orang-orang kaya. Kita, orang-orang miskin, hanya sebatas penonton di luar garis.

Saya masih ingat betul. Kala itu awal 2009 dan Arsene Wenger memprediksi bahwa dalam waktu kurang lebih 10 tahun lagi, Liga Super di Eropa tak bisa dihindari. Dan sekarang, 2021, kompetisi para pencuri sepak bola itu lahir juga. Mereka memberinya nama European Super League.

European Super League dibidani oleh 12 klub dari 3 kompetisi besar di Eropa. Manchester United, Manchester City, Liverpool, Chelsea, Arsenal, Tottenham Hotspur (Liga Inggris), Atletico Madrid, Barcelona, Real Madrid (La Liga Spanyol) AC Milan, Internazionale, dan Juventus (Serie A).

Selain 12 klub di atas, masih ada dua klub yang tengah mempertimbangkan ikut bergabung. Dua klub yang dimaksud adalah Bayern Munchen dan RB Leipzig dari Bundesliga. Bayern sendiri berpeluang besar masuk dalam daftar peserta European Super League.

Sejarah singkat European Super League

Liga Super Eropa ini sebetulnya bukan “barang baru”. Pencetus awal European Super League adalah Presiden Real Madrid, Florentino Perez. Pada 4 Juli 2009, Perez mengkritik penyelenggaraan Liga Champions. Katanya, “Yang terbaik harus selalu melawan yang terbaik dan format terkini tak bisa mengakomodasi hal itu.”

Saat itu, Perez menegaskan, atau lebih tepatnya, mengancam, akan membentuk semacam break-away competition jika UEFA tak mau mengganti format Liga Champions di mana tim besar bertemu tim besar setiap tahunnya. Sebuah ancaman yang ternyata mengandung kebenaran di dalamnya.

Sebetulnya, UEFA sudah “mengakomodasi” ancaman Perez dan beberapa klub yang mendukungnya. UEFA akan mengubah format Liga Champions pada 2024. Nantinya, kompetisi ini akan diikuti 36 tim. Masing-masing tim bermain 10 kali dalam satu liga. Posisi 1 sampai 8 akan lolos ke 16 besar. Sementara 8 tim tersisa akan playoff.

Perubahan format ini sekilas memberi harapan bagi klub kecil untuk ikut berpartisipasi. Namun, pada kenyataannya, UEFA takluk kepada power play tim-tim kaya. Lebih banyak peserta artinya tim besar (dan kaya) akan selalu punya kesempatan lolos dan lebih banyak pertandingan artinya akan lebih banyak cuan yang membanjiri rekening. Sesederhana itu.

Para pencuri sepak bola yang membidani European Super League ini nampaknya lupa akan esensi sepak bola itu. Olahraga dengan peminat terbesar di dunia ini adalah sebuah wadah bagi siapa saja untuk bisa berpartisipasi. Singkatnya, pesta untuk semua. Termasuk Liga Champions, di mana tim kecil punya impian besar untuk menorehkan sejarah di sana.

European Super League adalah sebuah asosiasi jahat di mana tim kaya seperti sekumpulan bocah perajuk yang tak mau kalah oleh tim kecil. Hilangnya 12 tim pioner European Super League dari Liga Champions artinya hilang pula keajaiban-keajaiban yang membuat sepak bola menjadi begitu indah.

Tak akan ada lagi kejutan manis dari Atalanta. Tak ada lagi final yang unik seperti AS Monaco vs FC Porto. Tak ada lagi comeback magis Deportivo La Coruna ketika menyingkirkan AC Milan. Tak ada lagi suguhan sepak bola bertenaga yang mendobrak status quo ala Bayer Leverkusen pada 2001/2002. Tak akan ada lagi kebahagiaan back to back final seperti Valencia.

Semuanya hilang demi kesejahteraan palsu dari tim-tim kaya yang langgeng mengatur jalannya sepak bola dunia. Sepak bola, diciptakan orang-orang miskin, dicuri oleh orang kaya, dan dijadikan mainan demi keseimbangan neraca keuangan semata.

Juventus boleh merasa kecewa kepada Serie A dan UEFA yang tidak mengakomodir perubahan secara lokal. Andrea Agnelli mungkin sudah muak dengan usaha mengubah Serie A menjadi kompetisi yang lebih menghadirkan profit.

Namun, apa pun alasan yang dipakai, tujuan terbesarnya adalah uang. Berdasarkan data dari Swiss Ramble per 2019/2020, founding members dari European Super League mencatatkan kerugian kolektif mencapai 1,2 triliun paun. Alasan “ekonomi” adalah alasan terbesar.

Coba saja terka berapa banyak “alasan ekonomi” yang tertera di dalam pernyataan resmi European Super League. Kamu bisa menyingkirkan berbagai alibi lain di dalam pernyataan resmi itu. Termasuk pernyataan resmi dari Florentino Perez, Chairman dari Liga Super Eropa ini.

“Kami akan membantu sepak bola di semua level dan mempertahankannya di tempat yang layak. Sepak bola adalah satu-satunya olahraga global dengan lebih dari 4 miliar fans dan tanggung jawab kami sebagai klub besar adalah memenuhi gairah mereka.”

Tahi kuda!

Fans mana yang ingin disenangkan oleh anggota European Super League? Ketika tradisi dan sejarah bisa dibengkokkan begitu saja demi “kelestarian klub kaya”, fans mana yang ingin disenangkan? Gairah besar dari fans global adalah sumber pemasukan dari hak siar. Itu saja. titik. Tahi kuda!

Sekarang, UEFA dan asosiasi sepak bola lokal mengecam dengan keras penyelenggaraan European Super League. Namun, pertanyaannya, sampai kapan mereka bisa melawan?

UEFA tak bakal berkutik

UEFA mengancam akan melarang semua pemain dari 12 klub pendiri European Super League bermain di kompetisi internasional. Misalnya, Piala Dunia atau Piala Eropa. Namun, apakah Piala Eropa atau Piala Dunia masih bisa dijual jika tidak ada pemain-pemain dari 12 klub besar itu? Omong kosong.

Para pendiri European Super League sedang melakukan power play. Mereka akan menang karena punya sumber daya terpenting dari industri sepak bola, yaitu pemain dan sponsor. Bahkan, jujur saja, mereka sebetulnya sudah menang karena UEFA juga “koperasi sepak bola” yang korup dan tak menutup mata kepada aliran uang.

Ya, kamu tidak salah baca paragraf di atas. Saat ini, sumber daya terpenting dari sepak bola adalah pemain dan sponsor. Bukan fans yang datang ke stadion apalagi kamu yang nonton bola lewat kanal streaming ilegal.

Kamu, kita semua, penonton global, tak lebih dari sekadar “celengan ayam” bagi klub kaya brengsek itu. Kita adalah sasaran terbesar mereka. Seperti kata Perez, ada 4 miliar fans global yang akan disenangkan (baca: jadi sasaran marketing dan sumber pendapatan). Berkat pandemi, sepak bola tak lagi sama. Siaran langsung jadi akan semakin mahal.

Mereka pasti menyadari bahwa fans Manchester United, Manchester City, Liverpool, Chelsea, Arsenal, Tottenham Hotspur, Atletico Madrid, Barcelona, Real Madrid, AC Milan, Internazionale, dan Juventus akan marah. Namun, pada akhirnya, fans akan tetap mendukung tim-tim ini berlaga di mana saja sampai liang lahat menjemput.

Sepak bola berubah menjadi vampir penghisap darah. Mereka tak peduli lagi dengan sejarah atau tradisi. Uang selalu menjadi oli perubahan dan dari fans, “oli perubahan” itu ditambang sampai kering.

European Super League adalah arena bermain orang-orang kaya. Kita, orang miskin, yang mendedikasikan hidupnya untuk sepak bola, hanya sebatas penonton di luar garis. Kita bertepuk tangan tempik sorak, dengan selang-selang infus menggantung dari nadi. Bukan darah yang mereka isap, tapi uang dan gairah kita.

European Super League. Sepak bola sudah mati.

BACA JUGA Real Madrid Mulai Berkarat: Ketika 2 Tangan Emas Kehilangan Sentuhannya dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version