Daniele De Rossi Serupa Thierry Henry: Bukan Pergi, Mereka Abadi

de rossi henry mojok.co

MOJOK.CODaniele De Rossi dan Henry abadi, wanginya tersisa di setiap kejayaan yang dirindukan setiap pagi, terekam dalam doa untuk cinta yang hakiki.

Part of the journey is the end. Hal-hal baik cenderung tidak bertahan lama di dunia ini. Kesedihan, putus asa, jalan buntu, stres, kesendirian, lebih banyak menyapa. Dan mereka betah betul berada dalam kehidupan kita. Seolah-olah manusia disusun oleh Tuhan hanya untuk menanggung perpisahan dan kegagalan.

Mengapa Tuhan terus mencobai ciptaan tercintanya? Katanya karena Tuhan mencintai anak-anaknya dan memberi cobaan sebagai bentuk “cinta itu”. Bapak mana yang tega melakukannya? Namun itulah kenyataannya. Detik dan menit kita didominasi oleh dua hal: penerimaan akan akhir dan move on untuk menemukan jalan baru.

Sepak bola adalah metafora paripurna untuk hidup yang penuh kekecewaan ini. Kebahagiaan bertahan sepanjang usia bunga. Untuk kemudian layu, kering, dan gugur. Untuk kemudian bertunas di lahan yang berbeda. Untuk kemudian melahirkan tunas-tunas kekecewaan. Untuk kemudian dinikmati generasi mendatang.

Namun itulah proses. Ada kalanya kita menolak untuk merasakannya. Mengingat masa lalu menjadi ekstasi lari dari kekecewaan. Daniele De Rossi merasakannya. Ia sadar bahwa kaki-kaki renta miliknya bukan lagi kaki yang dibutuhkan kaki-kaki serigala. Ia sadar, ketika sayap-sayapnya mulai layu, yang menanti di ujung jalan adalah kering dan gugur.

Saya merasakan kegetiran itu ketika meniti foto-foto laga Roma melawan Parma, laga terakhir De Rossi. Tidak ada yang rela ditinggal kesayangannya. Para penonton saling menautkan tangan, berpelukan. Namun, mata mereka terpaku kepada satu pemain di atas lapangan, yang sedang melakukan “victory lap”, mengelilingi arena gladiator bernama Olympico itu.

Para penonton di stadion yang sold-out itu seperti menghitung sisa langkah De Rossi di atas running track yang basah. 10, 9, 8…sembari menahan napas, sisa langkah De Rossi adalah jejak masa silam yang menjadi identitas paten AS Roma.

Selama 34 tahun terakhir, Roma selalu dikawal secara langsung oleh seorang Roman sejati. Mulai dari Ago Di Bartolemi, Giuseppe Giannini, Francesco Totti, hingga Daniele De Rossi. Dan mulai musim depan, Roman lainnya akan mengenakan ban kapten magis itu. Kapten utama itu bernama Alessandro Florenzi.

Perpindahan ban kapten dari De Rossi ke Florenzi tak seharu pensiunnya Totti. Il Purpone adalah ikon tunggal Roma. Ia bahkan bersinar lebih terang ketimbang bulan sempurna di atas Kota Roma. Ia lebih berbahaya ketimbang serigala Roma itu sendiri.

Namun, ketika Totti undur diri, Romanisti paham bahwa harga diri mereka dipikul oleh orang yang tepat: De Rossi. Ia sosok petarung yang tidak sempurna, tapi tak pernah memikirkan dirinya sendiri. Ia sosok Italiano sejati, yang menempatkan keluarga di atas segalanya.

Penyisihan Piala Dunia, saat itu tahun 2017. Italia tertinggal agregat dari Swedia. Pertandingan leg kedua skor masih 0-0 ketika Gian Piero Ventura ingin memasukkan De Rossi. Tak disangka Ventura, De Rossi menolak melakukan pemanasan.

Ia berkata kepada staf pelatih: “Kenapa aku yang harus bermain? Kita tidak sedang mencari hasil imbang. Kita harus menang!” De Rossi menyampaikan kalimat keras itu sambil melihat ke arah Lorenzo Insigne. Ia memberi tanda bahwa Italia lebih butuh Insigne untuk mengejar kemenangan ketimbang dirinya. De Rossi lebih memikirkan keluarga besar ketimbang dirinya.

Kehilangan pemain seperti ini, bukan kualitas di atas lapangan saja yang akan dirindukan. Romanisti, dan semua penikmat olahraga paling indah di dunia ini akan kehilangan determinasi, wujud cinta sejati, dan eloknya pengorbanan. Ia memang belum pensiun, tapi ketika kata “pergi” sudah diberi pintu, kita tetap kehilangan.

Sebagai fans Arsenal, merasakan perginya De Rossi sama seperti ketika Thierry Henry akhirnya hengkang. Kaget tentu saja, sedih dan kecewa kemudian. Ia adalah raja, ia adalah tonggak besar untuk Arsenal. Ia bukan pencetak gol, Henry adalah pemasti kejayaan. Ia bukan pencetak kemenangan, Henry adalah penyusun kenangan terbaik.

Namun, setelah proses panjang penerimaan keadaan, saya bisa menerima keputusan Henry. Ketika saatnya pergi, manusia akan pergi. Tidak bisa kamu tahan. Henry mengejar tropi terbesar di dalam kariernya dan tidak ada yang bisa menghalangi. Ia sudah memberikan semuanya untuk Arsenal. Sebuah patung di luar Emirates menjadi monumen cinta itu.

Melihat kekecewaan itu kembali datang, Romanisti kehilangan Totti lalu De Rossi, Gooners kehilangan Bergkamp, Henry, Fabregas, dan seterusnya. Kekecewaan itu akan kembali datang di masa depan. Menelan manusia selanjutnya, dan meninggalkan kesedihan hanya untukmu.

Bunga itu tak akan pernah pergi seutuhnya. Ia akan layu, kering, lalu gugur. Namun, gambaran kelopak yang mekar penuh, rekam memori akan wangi yang semerbak, dan warna yang menyeruak akan menyusun kenangan abadi.

De Rossi dan Henry tak pernah sepenuhnya pergi, mereka menjadi abadi. Di hati, di diri kalian sendiri. De Rossi dan Henry abadi, wanginya tersisa di setiap kejayaan yang dirindukan setiap pagi, terekam dalam doa untuk cinta yang hakiki.

Exit mobile version