Arsene Wenger dan Bianglala Sepak Bola: Warna Arsenal dan Identitas Manusia

Arsene Wenger dan Bianglala Sepak Bola- Warna Arsenal dan Identitas Manusia MOJOK.CO

Arsene Wenger dan Bianglala Sepak Bola- Warna Arsenal dan Identitas Manusia MOJOK.CO

MOJOK.COArsene Wenger menyapukan kuasnya ke kanvas bernama Arsenal. Warnanya kini semarak lagi beragam. Menyiratkan identitas dan kebaikan paripurna dalam diri manusia.

Di dalam kepala Arsene Wenger, sepak bola adalah perpaduan berbagai warna, berbagai perbedaan, menjadi sebuah bianglala. Semua hal berpadu menjadi harmoni. Semua hal berputar pada porosnya seperti kincir. Dari sana, warna cinta Wenger kepada sepak bola (dan Arsenal) menjadi paripurna.

Saat ini, sembari menunggu biografinya terbit pada 10 November 2020, Arsene Wenger sedang berusaha menyelesaikan Sapiens karya Yuval Noah Harari. Mantan pelatih Arsenal itu ingin menggunakan waktu luangnya untuk lebih memahami manusia, bagaimana masyarakat bekerja, dan demokrasi berkembang.

Sebagai kepala Global Football Development di FIFA, Wenger merasa dirinya masih harus belajar lagi. Terutama tentang perubahan-perubahan yang tengah terjadi di tengah masyarakat dunia. Berbagai masalah yang tengah dihadapi dunia bersumber dari manusia itu sendiri. Dia merasa tertantang untuk tahu lebih banyak.

Kekuatan dan gairah untuk belajar adalah kekuatan utama Arsene Wenger. Dua aspek ini dia pelajari ketika melatih di Jepang. Sebagai orang asing, Wenger merasa dirinya harus “berkontribusi lebih banyak” untuk komunitas lokal. Pengalaman melatih di negara asing menguatkan sisi ketelitian dan menjadi lebih keras kepada diri sendiri. Sebuah kekuatan yang membuatnya bisa bertahan selama 22 tahun bersama Arsenal.

Sikap keras kepada diri sendiri adalah usaha sederhana supaya dirimu diterima di tengah komunitas baru. Ingat, respect is earned not given. Oleh sebab itu, saya tidak pernah memandangnya arogan ketika menegaskan Arsenal bisa melewati satu musim tanpa terkalahkan. Oyes, kita jadi saksi bahwa Wenger selalu bisa “mengukur dirinya”. Status tidak terkalahkan selama satu musim itu belum pecah sampai sekarang.

Saya pribadi mengenal Wenger terlebih dahulu ketimbang Arsenal. Saya mengenalnya lewat sepak bola, lewat cara bermain lebih spesifik. Beruntungnya saya pernah dilatih oleh pelatih SSB yang punya hobi merekam pertandingan. Dari rekaman-rekaman itu, saya yang masih kanak dikenalkan kepada sepak bola sebagai sebuah seni.

“Gaya bermain Arsenal sempat dikritik. Namun, memang begitulah kami bermain. Saya memahami bahwa banyak orang selalu ingin memenangi pertandingan. Namun, kamu harus punya gairah untuk mentransformasikan ekspresi menjadi seni. Ketika seorang suporter terbangun di pagi hari, dia akan berpikir, ‘Oh, mungkin hari ini saya akan merasakan pengalaman yang luar biasa!’ Dia ingin memenangi pertandingan sembari menjadi saksi sesuatu yang indah,” tegas Wenger kepada Guardian.

Satu hal yang saya pelajari dari sepak bola Arsene Wenger adalah kerja keras yang menjadi landasannya. Arsenal tidak bermain indah begitu saja. Sajian indah itu didasari oleh banyak perubahan di balik layar. Perubahan yang membuat sempat “dimusuhi” beberapa pemain senior.

Pendekatan Arsene Wenger tidak meledak-ledak seperti Sir Alex Ferguson. Dia memilih cara yang berbeda. Dia yang kini berusia 70 tahun itu merancang menu latihan holistik atau sifatnya menyeluruh. Latihannya bukan hanya soal kebugaran dan meningkatkan kemampuan olah bola pemain, tetapi juga menjangkau gaya hidup dan asupan nutrisi pemain.

Instruksi Wenger bahkan menjangkau sampai cara mengunyah makanan yang harus dipatuhi pemain. Tidak ada lagi cokelat batangan dan minuman tertentu selama jeda pertandingan, digantikan gula-gula berbentuk kotak dengan tambahan sedikit kafein (sugar lumps).

Totalitasnya mengubah warna Arsenal. Sebelum Arsene Wenger melatih pada 1996, klub dari London Utara ini sempat mendapat julukan “Boring, boring Arsenal!” Wenger mengubah Arsenal menjadi counter-attacking team, atraktif, bermain bola-bola pendek yang cepat. Fisik pemain sudah mendukung cara bermain ini berkat latihan holistik ala Wenger.

Kemauan untuk selalu “memberi lebih” dan kekuatan untuk terus belajar hal baru mendorong Wenger melewati ledekan para peragu. Baginya, sepak bola adalah urusan hidup dan mati.

“Bagi saya, sepak bola di level tertinggi adalah soal hidup dan mati. Karena jika tidak berkaitan dengan hidup dan mati, sepak bola tidak akan punya makna bagi dirimu dan kamu tidak akan bisa bertahan di pekerjaan ini dalam waktu yang panjang,” tegas Wenger.

Orang bijak kerja keras pasti berbuah manis. Saya rasa ungkapan itu benar. Namun, ketika bicara Arsene Wenger, kita perlu menambahkannya menjadi: pekerja keras dan gila. Tanpa totalitas Wenger, saya rasa Arsenal tidak akan berkembang menjadi tim besar dan dikenal di seluruh dunia.

Memang, kemunduran Arsenal juga dimulai dari diri Wenger. Namun kini, saya tidak lagi memandangnya sebagai sebuah penyesalan. Pada titik ini, begitulah kehidupan berjalan. Ada pasang, ada surut. Ada kebahagiaan, pasti ada kesedihan. Seperti bianglala yang berputar pada porosnya. Yang ada di atas, berganti di bawah, dan kelak akan kembali ke atas.

Dari semua kebahagiaan dan kesedihan yang saya bagi bersama Arsene Wenger, beberapa hal positif bisa kita peras. Pertama, sepak bola, pada sisi yang lain adalah alat paling ampuh membentuk karakter manusia.

Ketika ditanya oleh Nines, seorang rapper dari Inggris, perihal kontribusi terhadap toleransi lewat sepak bola, Wenger menjawab:

“Lewat sepak bola, saya ingin menunjukkan kepada dunia bahwa, ya, yang paling penting dalam hidup ini adalah seberapa baik kamu kepada sesama. Bahwa kita bisa mengatasi berbagai masalah bersama-sama,” kata Wenger yang pernah menukangi AS Monaco sebelum hijrah ke Jepang.

“Saya selalu menegaskan kalau olahraga adalah soal meritokrasi. Semua berdasarkan kepantasan, kepada kompetensi. Jadi, saya merasa bahagia bisa berkontribusi di sepak bola ini. Sekali lagi, bagi saya, di kehidupan ini, semua bergantungn kepada seberapa baik kamu kepada sesama. Semua itu tidak ada hubungannya dengan warna kulit,” tambahnya.

Bagi saya, yang sepanjang hidup diajari bahwa hukum tertinggi dalam agama adalah berbuat baik kepada sesama, Wenger berhasil membuat saya menemukan diri sendiri di dalam Arsenal. Mungkin ini jawaban paling tepat ketika ditanya alasan saya mencintai Arsenal. Karena saya menemukan segala kebaikan yang saya pelajari sejak kecil di dalam tim ini.

Hal positif kedua yang saya pelajari dari dinamika Arsene Wenger dan Arsenal adalah usaha menjadi manusia yang berpikiran terbuka. Pengalaman melatih di Jepang “memaksa” Wenger untuk menjadi manusia dengan pikiran terbuka.

“Pengalaman seperti ini membuatmu menjadi lebih toleran, lebih mau memahami orang lain dan menyadari bahwa, di penghujung hari, budaya di setiap negara tersusun dari kebiasaan-kebiasaan yang kita pelajari sejak kecil. Bertemu dengan orang baru artinya kamu harus mau keluar dari kebiasaanmu dan mencoba memahami siapa orang baru ini. Ini juga bagian dari menjadi pelatih.”

Sebagai orang Indonesia, kita mengenal istilah di mana langit dijunjung, di situ bumi dipijak. Arsene Wenger sadar harus beradaptasi dengan Jepang. Dia sampai menyewa asisten berkewarganegaraan Jepang untuk menjelaskan caranya bersikap di tengah masyarakat Jepang. Dengan membuka diri dan pikiran, Wenger menemukan bahwa kebudayaan Jepang sangat menarik. Sampai-sampai dia sempat berpikir tidak mau lagi melatih di Eropa.

Kemauan untuk memahami dan menghargai budaya setempat, terutama ketika kamu adalah pendatang, adalah langkah awal menjadi “manusia”. Sebagai makhluk sosial, kamu akan kesulitan berproses, berkarya, dan mengembangkan diri tanpa bantuan orang lain.

Sekarang ini, di tengah pandemi corona, kita menemui semakin banyak orang yang abai dengan keberadaan sesama. Manusia jadi mudah sekali menyakiti orang lain. Manusia jadi ringan sekali menentukan batas dan menebalkan perbedaan dengan sesamanya. Dari sana bibit perpecahan sudah tumbuh dan terkadang tidak kita sadari.

Sebagai fans Arsenal, setidaknya saya punya satu hal untuk dibagikan untuk masyarakat, yaitu kemenangan tidak akan bisa dicapai tanpa keharmonisan. Menjadi fans Arsenal adalah usaha sederhana menjadi manusia welas asih sebenarnya. Seperti Arsene Wenger yang mau membuka diri dan menghargai eksistensi orang lain.

Arsene Wenger menyapukan kuasnya ke kanvas bernama Arsenal. Warnanya kini semarak lagi beragam. Menyiratkan identitas dan kebaikan paripurna dalam diri manusia.

BACA JUGA Arsene Wenger Mundur: Cinta dan Dukungan Saya Selalu Untuk Arsenal dan tulisan-tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version