Arsenal yang Menerima Sisi Medioker Perlu Belajar dari Kecerdasan Lukaku

Arsenal yang Menerima Sisi Medioker Perlu Belajar dari Kecerdasan Lukaku MOJOK.CO

Arsenal yang Menerima Sisi Medioker Perlu Belajar dari Kecerdasan Lukaku MOJOK.CO

MOJOK.COArsenal perlu belajar dari ketenangan berpikir Romelu Lukaku. Itu kalau The Gunners sudah sadar akan kelemahan diri yang bikin mereka jadi medioker.

Ada dua hal yang bisa saya soroti dari berbagai pertandingan di akhir pekan. Pertama, penerimaan sisi lemah dari Arsenal. Kedua, kecerdasan Romelu Lukaku, yang menjadi protagonista kemenangan Inter atas AC Milan. Keduanya, secara ajaib, berhubungan.

Tidak ada hidup yang sempurna. Kita ambil contoh Raffi Ahmad. Banyak yang iri dengan kekayaan bapak berusia 34 tahun itu. Iri, ingin merasakan hidup yang aman ketika ekonomi sehat. Namun, banyak orang enggan ikut merasakan kerja keras Raffi Ahmad untuk mencapai kenyamanan ekonomi itu.

Tahukah kamu, jadwal kerja Raffi Ahmad tidak dirinci berdasarkan hari, tetapi jam. Hampir setiap jam, sampai tengah malam, diisi dengan pekerjaan. Berapa banyak dari kita yang bisa tahan menanggung beban itu? Kalau berani mencoba, barang dua minggu saja, kamu bisa kena tipes.

Mengapa Raffi Ahmad sampai mengaku bahwa passion dalam hidupnya adalah bekerja keras? Jawabannya adalah perihal kelemahan. Raffi ingin dirinya dan keluarga bisa hidup enak, keluar dari kelemahan dalam bidang ekonomi. Pengakuan akan kelemahan menjadi pemacu terbesarnya.

Kekalahan Arsenal dari Manchester City adalah penegasan akan jauhnya kualitas dua tim ini. Skor akhir memang hanya 0-1 untuk City. Namun, di atas lapangan, Arsenal benar-benar tidak berdaya. Laga tersebut seperti sesi latihan saja bagi City, yang kini memuncaki klasemen Liga Inggris.

Di sisi lain, kekalahan ini direspons “secara benar” oleh Mikel Arteta hingga fans. Yah, tidak semua fans bisa menerima kelemahan ini. Namun setidaknya, kesadaran bahwa diri kita lemah adalah sisi yang patut disyukuri. Lebih baik kita tahu penyakit di dalam tubuh ketimbang mati dalam ketidaktahuan.

Di sesi wawancara selepas laga, Arteta mengaku banyak berteriak memberi instruksi lebih dari biasanya. Arteta ingin memastikan pemainnya tetap konsisten, baik ketika menguasai bola maupun menjaga ruang. Maklum, gol City tercipta karena kealpaan bek Arsenal untuk menjaga ruang krusial di antara bek.

Itulah kelemahan Arsenal; inkonsistensi dan alpa dengan penjagaan ruang. Kabar baiknya, masalahnya sudah terlihat. Artinya, solusi bisa dicari dan dieksekusi. Di sini, Arsenal perlu cerdas menyelesaikan masalah. Mereka bisa berkaca dari kecerdasan Romelu Lukaku.

Lukaku memang bongsor dan terlihat seperti monster. Namun, sisi berbahaya dari Lukaku adalah kecerdasannya. Gol pertama dari Lautaro Martinez ke gawang AC Milan adalah wujud terbaik dari kecerdasan Lukaku.

Sebelum melepas umpan silang, Lukaku melihat posisi Lautaro terlebih dahulu. Dia tidak terburu-buru melepas umpan silang karena dari sisi postur, Lautaro jelas kalah dari bek Milan. Oleh sebab itu, umpan silang harus presisi dan menyesar di antara bek Milan.

Umpan silang Lukaku mungkin terlihat sederhana dari rekaman ulang. Namun, kecepatan dan jalur bola itu tidak bisa begitu saja tercipta. Ada proses berpikir, mengukur, dan memaksimalkan teknik menendang. Semuanya dieksekusi dalam rentang sepersekian detik.

Umpan silang cerdas dari Lukaku adalah contoh bagi kita untuk menyelesaikan masalah dan melawan kelemahan diri. Banyak dari kita yang tergesa-gesa membuat keputusan tanpa berpikir panjang. Banyak pula yang bekerja asal keras, tetapi sebetulnya tidak efektif. Glorifikasi akan kerja keras itu bisa menjadi penyakit dan tidak menyelesaikan masalah.

Berpikir adalah proses mulia. Proses ini melibatkan banyak hal, perpaduan pengalaman dan berkah dari Tuhan bernama akal dan budi.

Kekalahan Arsenal, biasanya disikapi dengan pernyataan yang sebetulnya sudah “usang”. Kekalahan direspons dengan kalimat “bekerja lebih keras”, “kami akan lebih konsentrasi”, “ini pelajaran yang baik”, dan lain sebagainya. Pada titik tertentu, semuanya hanya sebatas alasan karena di atas lapangan, janji-janji itu tidak terbukti.

Dari sisi klub, Arsenal tidak boleh terjebak dalam romantisasi dengan pemain lagi. Kalau ingin maju, “sisi kejam” tidak boleh dibuang. Sepak bola berkembang secara cepat dan terkadang romantisasi pemain justru akan menghambat. Akui saja, kita ingin melihat prestasi, bukan apologi.

Arsenal dan Mikel Arteta perlu berpikir ulang susunan pemain. Fans sering dibuat bingung dengan 11 pemain utama. Yah, mungkin Arteta punya maksud tersendiri. Namun ingat, skuat yang tidak seimbang tidak akan memberikan hasil maksimal. Semoga kalimat saya bisa dipahami pembaca.

Berpikir seperti Lukaku adalah wujud manusia bijak dalam menghadapi masalah. Langkah awal bukan bertindak, tetapi berpikir. Buat apa menerjang hujan deras kalau kamu tidak pakai jas hujan? Mau masuk angin? Maka, langkah terbaik adalah berteduh dan menunggu hujan reda.

Semoga Arsenal bisa berpikir dengan tenang, sementara Lukaku sedang tertawa geli membayangkan hidung Zlatan Ibrahimovic yang kelewat panjang. Aduh, kok malah body shaming. Dasar aku.

BACA JUGA Lukaku ‘Mencium’ Inter, Aubameyang ‘Mencari’ Arsenal: Catatan Rekor 300 dan 303 Gol dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version