Arsenal Itu Kayak Cewek Bingung Lagi Hunting Sepatu

Arsenal kangen Wenger MOJOK.CO_

MOJOK.COInflasi harga pemain saat ini memang brengsek betul. Bikin Arsenal kebingungan ketika hendak membeli winger. Mirip cewek bingung lagi hunting sepatu.

Kamu, para cowok semua, pernah nememin pacar hunting sepatu di sebuah pusat perbelanjaan? Apa yang kamu rasakan? Kaki pegal dan banyak menghela napas? Well, begitulah cewek bingung lagi hunting sepatu.

Lompat dari satu gerai ke gerai yang lain, bingung, membandingkan segala hal. Mulai dari harga, bahan, diskon, zodiak, shio, fengsui, lebar depan, tapak depan, luas bangunan, luas tanah, lingkungannya satu agama apa enggak, pak RTnya gimana, warganya nyebelin apa enggak, harga jual kembali gimana, dll. Mau beli sepatu, kayak lagi nyari KPR.

Ya enggak semua cewek begitu. Banyak juga yang sat set, datang ke dua gerai saja, lalu menentukan pilihan. Ada? iya, ADA, meski mitos saja. Cewek bingung itu, kalau di sepak bola, namanya berganti jadi Arsenal. Kebanyakan membandingkan, kebanyakan excited, dan ini yang paling nyebelin: kebanyakan bilang “Lucu” pas lihat sepatu branded, yang mana bikin cowok waspada dengan dompetnya, tapi tiba-tiba berubah mood lalu pindah gerai. Alamak!

Arsenal butuh winger

Arsenal, jika menyesuaikan dengan cara bermain Unai Emery, membutuhkan winger. Jika menepikan Reiss Nelson untuk sejenak, The Gunners, paling tidak butuh dua winger. Satu winger murni, dan satu lagi yang bisa menggantikan Alexandre Lacazette dan Pierre-Emerick Aubameyang untuk keperluan rotasi.

Bahkan sebelum musim 2018/2019 tutup tirai, Arsenal sudah dihubungkan dengan beberapa nama. Salah satunya adalah Ryan Frasser. Saat itu, beredar kabar kalau dana belanja klub ini tidak lebih dari 45 juta paun. Sementara itu, Ryan Frasser dibanderol 30 juta paun. Untuk winger berusia 25 tahun, asli Inggris, harga itu dianggap “masih” wajar.

Pendekatan pun dilakukan. Lamaaa sekali klub ini melakukan pendekatan, lantaran Bournemouth, pemilik Frasser, keras hati tidak mau menurunkan harga. Frasser dianggap belum layak dibanderol 30 juta paun. Buat pemain “kelas 2”, harga yang cocok yang di sekitar 22-25 juta paun saja.

Gagal. Sudah bilang “lucu”, sudah ditimang-timang, sudah dicoba di kaki, “sepatu” dari Bournemouth ditaruh lagi di etalase. “Yuk, yang, lihat ke sana dulu. Warna sepatu ini nggak matching sama panu di jempolku, deh.”

Lalu, cewek bingung bernama Arsenal pindaj gerai. Dia masuk ke “gerai Rotelli”. “Ihhh, yang, yang heelsnya 40 cm itu lucu, deh.” Ingat, para cowok, kata “lucu” itu berbahaya. Kalau cewek udah bilang “lucu” ke sebuah barang branded, lebih baik kamu pura-pura mati atau tiba-tiba ayan. Serius, ketimbang dompetmu bobol, dan dari tanggal 20 sampai akhir bulan kamu cuma makan nasi aking sama bon cabe saja.

Ketika sampai di “gerai Rotelli”, Arsenal ngelihat ada sepatu keren bermerk Wilfried Zaha. Sepatu itu dianggap paling cocok. Warnanya matching sama warna panu, modelnya pas buat kaki lebar dengan dua jempol. Sayangnya, harga Zaha memang mahal. Gerai itu membanderol Zaha sampai 80 juta paun. Jelas jauh dari jangkauan dompet si cowok dan cewek digabung.

Si cewek bernama Arsenal bingung. Mondar-mandir di dalam gerai, gayanya lihat sepatu lain, tapi matanya lirik-lirik ke Zaha, sambil cemas kalau sepatu itu diembat pembeli lain.

Arsenal pun pakai strategi “emak-emak pakai daster lagi belanja di pasar.” Dia menawar.

“Bang, turunin dikit deh harganya. Kasih 40 juta paun aja ya.”

Si abang bernama Crystal Palace ngelihatin si emak-emak dengan tatapan nanar. Dalam hati dia bilang, “Mbahmu kiper! Harga 80 ditawar 40. Dasar misqueen!” Namun, yang keluar dari mulut masih kalimat sopan: “Wah, maaf, Bu. Udah harga pas. Saya ngambil di supplier juga segitu kok.”

“Wah apaan, mahal begitu, nggak boleh ditawar!” Setelah menggerutu, si emak ngeloyor pergi. Ini strategi mengulur waktu, biar dipanggil lagi sama abangnya. Si abang ngelirik si emak yang ngacir pergi sambil membatin, “Nah, pergi sono. Mamam, nggak bakal gue panggil. Fufufu.”

Si emak ngeloyor, tapi pelan-pelan. Setengah langkah per 10 menit. Sambil siul-siul ngelihat barang lain di gerai sebelah. “Bentar lagi pasti si abang manggil, terus nurunin harga.”

Dua abad kemudian…

“Sueg betul, si abang nggak manggil. Pegel nih jalan pelan-pelan.”

MAMAM

Demi diskon

Begitulah Arsenal. Inflasi harga pemain memang brengsek betul. Lima tahun yang lalu, harga jual Zaha mungkin tak lebih dari 25 juta paun. Namun, begitulah dunia sekarang bekerja dan Arsenal dipaksa bermain di pasar transfer dengan cerdik.

Capek ngulur waktu, si cewek bernama Arsenal ngajak pacarnya pindah gerai. Tak jauh dari Rotelli, ada gerai Sport Station Barcelona, gerai sepatu palugada: apa lu mau gue kadang-kadang enggak ada. Gerai sepatu jual dan beli. Kamu bisa jual sepatu di sini kalau lagi butuh duit.

Kebetulan, si cewek langganan di sini. Arsenal sering jual pemain ke Barcelona kalau lagi butuh duit. Kebetulan juga, Barcelona sedang siap-siap cuci gudang. Salah satunya sepatu bernama “Malcom”. Dulu, harga Malcom, sebelum gabung Barcelona, mencapai 80 juta paun. Kini, harganya cuma 30 juta paun saja. Bahkan, yang minat bisa test drive dulu, lalu bayar kemudian.

Malcom ini adalah sepatu yang dibutuhkan Arsenal. Winger, bisa main jadi gelandang serang, cukup tajam, pekerja keras, dan lain sebagainya. Sepatu itu ditimang-timang, diraba-raba. Bahannya cocok, warnanya oke. Sudah sangat masuk ke kemampuan finansial Arsenal. Namun, kok ya si cewek sempat-sempatnya ragu.

Dua abad dia memikirkan. Sampai muncul sarang laba-laba di lubang hidungnya. Ketika masih ragu-ragu, di gerai yang lain, gerai paling awal ketika di cewek masuk pusat perbelanjaan, sebuah sepatu bersinar terang.

DISKON! Ini! Ini dia yang paling diburu.

Ryan Fraser tak lagi dibanderol 30 juta, tapi sekarang 20 juta saya. Demi sebuah diskon, si cewek bernama Arsenal meletakkan sepatu Malcom ke etalase. Dia meletakkan sepatu yang paling pas, warna oke, dan bahan bagus. Mengalahkannya demi sepatu lain karena ada DISKON. Bahkan meskipun secara harga, Malcom lebih masuk akal. Bisa loan dulu, risiko rendah.

“Yang, balik ke sana. buruan! Lelet amat, sih!”

Si cowok, sudah empat abad menemani hunting sepatu, kelelahan. Tapi dia membatin, “Syukur deh, dah sana beli itu aja. Jangan ngelirik sepatu di Rotelli lagi. Makan nasi lauk Promag kalau beliin yang Zaha.”

Sampai di gerai Bournemouth, bukannya langsung minta ukuran yang pas, si cewek malah bingung lagi. “Ditawar 10 juta dulu kali ya, terus ditinggal pergi. Siapa tahu si abang kali ini kena jebakan gue.”

Abang-abang di gerai Rotelli ngelirik sambil tersenyum jahat. MAMAM.

Exit mobile version