Arsenal dan Freddie Ljungberg: Menyambut Kebijakan “Klub Miskin”

arsenal freddie ljungberg

MOJOK.COKlub miskin Arsenal tengah berjuang dengan caranya sendiri. Salah satu caranya adalah dengan mengangkat Freddie Ljungberg sebagai asisten pelatih.

Ketika menulis soal kebijakan AC Milan dengan Ivan Gazidis di dalamnya, saya sering mendengar komentar kalau itu kebijakan yang kurang populer. Milan, bersama Gazidis dan Marco Giampaolo, menurut hemat saya, sedang menyiapkan rencana jangka panjang. Mereka membeli pemain muda berbakat untuk kemudian dijadikan investasi.

Sebetulnya, kebijakan seperti ini bukan hal baru. Kamu bisa menemukannya di klub-klub seperti Atalanta, Sampdoria, Southampton feeder club-nya Liverpool, hingga Borussia Dortmund beberapa tahun yang lalu. Caranya mungkin berbeda, tapi konsepnya sama: memaksimalkan atau mengembangkan pemain (muda) untuk kemudian dijual dengan harga tinggi.

Mengapa tidak populer? Karena yang melakukannya adalah “klub besar”. Mereka, meski tengah terpuruk baik dari sisi prestasi maupun manajemen, dianggap tidak pantas melakukannya. Itulah pandangan fans yang hanya menggunakan patokan prestasi dan sulit betul memahami dinamika yang terjadi, baik di atas lapangan, di dapur manajemen, dan sepak bola dunia itu sendiri.

Fans Atalanta, Sampdoria, dan Southampton akan maklum ketika klub melepas wonderkid mereka dengan harga 40 juta euro. Namun tidak untuk fans AC Milan, hingga Arsenal. Masih banyak fans Milan dan Arsenal yang menutup mata dengan kondisi klub, hingga kebijakan yang diambil terkait rencana jangka panjang. Pokoknya kalau “klub besar” itu harus selalu membeli pemain bagus nan mahal, sembari mempertahankan pemain (muda) terbaik mereka.

Namun, my love, tidak demikian dunia berjalan. Tidak semua anganmu itu bisa terwujud, bahkan ketika kamu sampai lelah memaki di media sosial dan menentang semua orang yang mencoba menjelaskan. Saran paling gampang yang bisa saya berikan adalah berhenti mendukung Milan atau Arsenal. Real Madrid, Manchester City, atau PSG siap menawarkan kesenangan sesaat itu.

Ada masanya ketika fans Milan dan Arsenal harus sadar kalau klub yang mereka dukung sedang masuk dalam mode “klub miskin”. Sebentar, jangan keburu “tegang otot” begitu. Ini cara bertahan hidup yang masuk akal untuk dipilih di tengah inflasi harga pemain dan dominasi uang minyak di sepak bola.

Arsenal dan Freddie Ljungberg sebagai jembatan

Kehidupan klub bukan hanya soal latihan dan bertanding. Sebuah klub profesional harus punya rencana jangka panjang di bidang manajemen keuangan. Selain membenahi skuat, Arsenal juga melakukan perubahan di jajaran pelatih. Mulai musim 2019/2020, The Gunners mengangkat Freddie Ljungberg sebagai asisten pelatih Unai Emery.

Kebijakan ini bukan hanya soal menentukan “para pembantu” Emery. Lewat penunjukkan ini, Arsenal sedang membangun sebuah jembatan masa depan. Sebuah kebijakan yang menarik, meski mereka harus mau menutup kuping rapat-rapat ketika dimaki “klub miskin” oleh fansnya sendiri.

Amy Lawrence, kolumnis The Guardian, memberi pandangan yang menarik dari kebijakan Arsenal menunjuk Freddie Ljungberg. Penulis buku Invincible itu menjelaskan bahwa penunjukkan Ljungberg adalah usaha membangun jembatan antara tim utama dengan tim U-23. Tim muda yang sebelumnya “sukses” ketika dipegang oleh Ljungberg sendiri.

Apa yang dimaksud dengan “jembatan”?

Satu hal yang harus dipahami adalah Liga Inggris bukan liga yang bersahabat untuk pemain muda berusia 18 hingga 21 tahun. Amy menyebutnya sebagai “lubang hitam”. Memang, dalam beberapa tahun terakhir, tidak banyak pemain berusia 18 hingga 21 tahun yang sukses menjadi langganan tim utama.

Hector Bellerin, John Stones, dan Rob Holding mungkin yang paling mulus. Tom Davies dari Everton, James Ward-Prowse dari Southampton, dan Marcus Rashford entah dari mana punya karier yang naik dan turun. Nama terakhir yang bisa dibilang punya karier paling bagus dibanding dua nama yang disebut lebih awal. Tom dan James mentok di tim “level dua” karena tidak konsisten, baik secara individu maupun tim.

Kecenderungan baru lahir di Liga Inggris, ketika pemain muda mereka memutuskan pergi ke Jerman untuk belajar atau mengembangkan karier. Jadon Sancho menjadi pionir, dan nampaknya akan disusul oleh pemain-pemain muda lainnya.

Saat ini, kondisi keuangan Arsenal tidak terlalu bagus. mereka sehat secara keuangan, tapi tidak cukup punya modal untuk bertarung mendapatkan tanda tangan pemain mahal. Sektor gaji pun sudah bermasalah sejak masa Arsene Wenger. Sifat kebapakan Wenger berbalik menyulitkan ketika Arsenal harus menggaji pemain medioker tak berkembang hingga saat ini. sepak bola adalah dunia yang kejam. Sifat kebapakan itu sangat langka, tapi seperti simalakama.

Oleh sebab itu, melihat potensi pemain U-23 mereka, Arsenal ingin Freddie Ljungberg menjadi jembatan, membantu pemain muda mendapatkan kesempatan lebih besar untuk bermain bersama tim utama.

Raul Sanllehi, Director of Football The Gunners menegaskan betapa pentingnya keberadaan kelas U-23 yang penuh pemain berbakat. “Transisi dari U-23 ke tim utama sangat penting. Ini masalah serius di Inggris karena kami tidak punya tim B yang bermain di level tinggi, seperti para kompetitor kami di Eropa.” Jelas Raul.

“Jadi, kami harus berhati-hati ketika menentukan siapa yang akan bertahan di U-23, siapa yang berlatih di tim utama, dan siapa yang akan dipinjamkan. Tim transisi akan bertanggung jawab mengatur rencana perkembangan untuk setiap pemain untuk memaksimalkan potensi mereka,” tambahnya.

Sebetulnya, rencana ini sudah berjalan sejak musim lalu. Arsenal sudah meminjamkan Reiss Nelson dan Emile Smith Rowe ke Bundesliga. Sementara itu, Krystian Bielik sukses ketika dipinjamkan ke Charlton. Joe Willock, Bukayo Saka, dan beberapa pemain lainnya yang sudah bermain dan berlatih bersama tim utama akan menjadi fokus kerja tim transisi ini.

Memutar waktu ke belakang, ada berapa pemain muda dari akademi yang sukses bersama tim utama? Yang langsung terbayang adalah Cesc Fabregas, lalu ada Aaron Ramsey, dan Hector Bellerin. Rob Holding dalam proses menuju “sukses”, sementara pemain-pemain seperti Jack Wilshere, Carl Jenkinson, Kieran Gibbs, dan Theo Walcott mentok di kelas medioker. Kejam, tapi itu kenyataan.

Jika kamu melihat roaster U-23 Arsenal, memang, ada banyak pemain berbakat di sana. Sebuah kebijakan yang cerdas, apabila, dalam waktu lima tahun ke depan, para pemain ini mengisi tim utama.

Tujuannya jelas, “klub miskin” ini bertarung dengan caranya sendiri. Lima tahun ke depan, ketika Nicholas Pepe konon dibanderol 90 juta euro lebih, pesepak bola muda yang baru bisa melakukan 20 kali juggling, melakukan feint tajam, dan jago menggocek bola, tidak heran, apabila dibanderol 50 juta euro.

Ketimbang membeli, lebih baik mengembangkan. Tentunya, mereka yang didatangkan untuk mengisi akademi akan melewati seleksi yang lebih ketat. Ada sebab, ada pula akibat. Kebijakan ini seperti membuat Arsenal menjadi “sekolah favorit”. Tidak ada yang salah. Hanya mereka yang betul-betul potensial yang bisa masuk, dan tanpa sistem zonasi segala.

Ini adalah salah satu cara bertahan klub besar yang dipandang “miskin” di tengah harga pemain yang makin tidak wajar. Arsenal dan Ljungberg-nya mengambil kebijakan itu. Kalau sudah begitu, silakan, bagi yang sudah lelah mendukung value sebuah tim, untuk menepi dan mengaso.

Mendukung value sebuah tim memang lebih berat ketimbang menjadi glory hunter yang bisa pesta di setiap akhir musim. Mereka yang bisa bertahan di tengah cobaan, adalah manusia teruji yang paling merasakan manis ketika kesayangannya berhasil.

#COYG

Exit mobile version