AC Milan, Franco Baresi, Paolo Maldini, dan Agama Sepak Bola yang Dilungsurkan

AC Milan, Franco Baresi, Paolo Maldini MOJOK.CO

MOJOK.COPengalaman jatuh cinta pertama kali dengan sepak bola tentu beragam. Saya dibuat jatuh cinta kepada AC Milan, Baresi, dan Maldini lewat sebuah lungsuran dari keluarga.

Dulu, jauh sebelum mengenal Arsenal, saya adalah pendukung AC Milan. Saya tidak ingat “ingin” mendukung klub ini dari dalam hati. Hanya saja, waktu itu, Serie A yang lebih akrab dengan saya yang masih bocah ketimbang Liga Inggris. Terlebih, beberapa keluarga saya, sejatinya, adalah Milanisti. Proses “jatuh cinta” itu seperti otomatis, meski tidak dengan hati.

Saya “dibabtis” menjadi fans AC Milan ketika mendapat “lungsuran” jersey Rossoneri dari kakak. Jersey yang masih kebesaran untuk saya yang masih SD. Ada nama Baresi dan nomor punggung enam yang dikeramatkan di punggungnya. Jersey yang sudah kakak saya pakai selama beberapa tahun. Jersey di mana lambang sponsor Opel di dada sudah agak buram.

Prosesnya “jatuh cinta” kepada AC Milan ini seperti seorang bocah yang mendapat “lungsuran” agama dari orang tuanya. Karena orang tua memeluk agam Islam, anaknya juga. Orang tuanya Katolik, anaknya juga. Begitulah. Tidak ada yang salah, meski seiring usia, bisa saja ganti agama.

Saya mengenal AC Milan lebih jauh berkat tabloid BOLA. Berkenalan dengan nama Franco Baresi pun dari tabloid sakti yang kini sudah almarhum itu. Tabloid, yang tidak hanya membuka cakrawala sepak bola di mata saya. Tabloid BOLA memberi saya pijakan untuk menjadi penulis sepak bola beberapa tahun kemudian.

Tabloid BOLA selalu menjadi rebutan kakak-kakak saya. Ketika tabloid itu sampai di tangan saya, kertasnya sudah lecek. Ujung kiri atas di bagian Internasional biasanya ditekuk kecil. Menandakan ada yang ingin membacanya lagi nanti di bagian itu. Atau, kakak saya ingin menggunting salah satu foto pemain sepak bola untuk dijadikan kliping.

Dulu, saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam membaca BOLA di kamar kakak saya yang seperti “gudang” itu. Kasur busa dengan alas karpet lusuh, komputer yang masih menggunakan disket di sisi seberang pintu, tumpukan kaset Pearl Jam di atas meja kecil, kaos-kaos band yang tidak dicuci, dan seragam SMA yang digantungkan begitu saja. Hanya jersey AC Milan yang tergantung dengan kebersihan “yang agak dijaga”. Sebuah kamar khas anak SMA khusus anak cowok, boleh gondrong, dan kalau ke sekolah pernah pakai sarung dan kaos saja.

Kakak saya pernah gimbal, mirip Ruud Gullit. Dia nakalnya luar biasa. Kenakalan yang kayaknya mandarah daging di keluarga saya. Lungsuran juga. Dia pernah ditangkap tentara pada 1998 setelah makan soto sepulang sekolah karena dikira pendemo. Ya itu tadi, sekolah pakai pakaian bebas, basah oleh keringat karena makan soto. Sepulang dari rumah sakit tantara, ada jejak sepatu lars di dada sebelah kanan.

Saya mengenal AC Milan di sebuah zaman peralihan. Zaman ketika mahkota Baresi, secara perlahan, mulai dilungsurkan ke Paolo Maldini. Pemain dengan mata tajam yang memukau mata saya ketika menyaksikannya lewat layar kaca. Pemain dengan kejelian melepaskan tekel, yang menjadi inspirasi saya ketika bermain sepak bola.

Proses jatuh cinta ke Maldini sama seperti proses “jatuh cinta” kepada AC Milan, lalu Baresi. Semuanya lungsuran. Diajarkan secara perlahan oleh kakak saya. Diamini dan diperkuat oleh mata saya yang terpukau lewat layar kaca.

Terkadang, saya sering heran dengan kesukaan saya akan cara bertahan sebuah tim. Kalau dilacak lebih jauh, mungkin awal kecintaan saya kepada AC Milan yang menjadi penyebab.

Pemain-pemain awal yang saya idolai adalah para bek; Baresi lalu Maldini. Setelah itu baru bergeser ke depan; Andrea Pirlo, Fernando Redondo, Rui Costa, Kaka, Filippo Inzaghi, Sebastian Deisler, Juan Roman Riquelme, Alen Boksic, Zinedine Zidane, Adriano, Dennis Bergkamp, Thierry Henry, Abou Diaby, dan the one and only, The Divine Ponytail, Roberto Baggio.

Selain Baresi dan Maldini, cinta untuk pemain lain saya pelajari sendiri. Semua pemain berkesan. Namun, seperti kata orang-orang, cinta pertama selalu meninggalkan kesan mendalam. Saya jatuh cinta dengan sangat cepat kepada Roberto Baggio dan bertahan hingga kini. Namun, kesan yang menjadi jejak di hati itu tetap kepada AC Milan itu sendiri, lalu Baresi dan Maldini.

Itulah awal mula saya mencintai sepak bola. Dari melihat, lalu diajarkan. Lewat merekam dengan mata, lalu dijelaskan. Sepak bola di sejarah hidup saya akan selalu beririsan dengan AC Milan, Baresi, dan Maldini. Sebagai cinta pertama, saya yakin ingatan akan tiga entitas itu tidak akan hilang hingga saya tutup usia kelak.

Awal mula kecintaan kepada sepak bola memang unik. Beragam untuk setiap orang. Bagi saya, sebuah “agama” ini dilungsurkan oleh keluarga, baik soal PSIM Yogyakarta maupun AC Milan. Saya yakin pengalaman ini mungkin kamu rasakan juga. Ketika sepak bola dilungsurkan seperti layaknya agama.

Terkadang, rasa kangen dengan proses awal jatuh cinta kepada sepak bola itu menyeruak. Sebuah rasa yang masih murni. Rasanya seperti anak kecil yang mencintai dongeng. Terpukau oleh cerita kakak tentang kehebatan Baresi dan Maldini sembari ditemani Jeremy, Mind Your Manners, dan Given to Fly dari Pearl Jam.

BACA JUGA Mencintai Serie A Lewat Kejayaan Juventus dan Kejatuhan AC Milan atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version