Kursi Terawan di ‘Mata Najwa’ dan Sarkasme dalam Jurnalisme Televisi

Kursi Terawan di ‘Mata Najwa’ dan Sarkasme dalam Jurnalisme Televisi

Kursi Terawan di ‘Mata Najwa’ dan Sarkasme dalam Jurnalisme Televisi

MOJOK.COKekuatan terbaru Mata Najwa itu lahir melalui “jasa” ketidakhadiran Terawan. Bermula dari sebuah keterbatasan, eh malah jadi sarkas sekalian.

Ketika menyaksikan Mbak Nana mewawancarai kursi kosong yang mestinya diduduki Terawan, saya segera meyakini bahwa Mata Najwa sedang menayangkan momen terbaik dalam jurnalisme televisi di Indonesia.

Awalnya saya merasa hal ini hanya momen terbaik televisi di masa pandemi doang, tapi setelah saya pikir ulang… hm, ternyata tidak. Ini momen yang bakal jadi pemantik cara baru televisi dalam mengkritik sesuatu—setidaknya untuk konteks media di Indonesia saja.

Dan di sinilah momen ketika publik (setidaknya netizen non-BuzzerRP) percaya bahwa televisi Indonesia punya kekuatan untuk berbicara dengan lugas dalam mengingatkan pemegang kursi kekuasaan.

Televisi seolah direpresentasikan dengan cara berbeda lewat Mata Najwa kemarin. Nggak cuma sebagai pendulang rating dengan siaran-siaran azab atau sinetron, ada tawaran baru dalam program televisi kita hari ini.

Bahkan ketika kita menyaksikan berbagai talkshow politik di televisi, yang kita lihat hanyalah adu bacot dengan tensi yang berisiko bikin gagal ginjal. Baik itu di ILC, Rosi, bahkan termasuk program Mata Najwa sendiri.

Kita, penonton, sering tidak mendapatkan apa-apa selain potongan-potongan pernyataan klikbet. Hal-hal yang kadang bisa membantu kita tertawa, menangis, atau marah. Lantas melampiaskannya di media sosial.

Adu bacot di televisi itu pun alihrupa dalam bentuk yang berbeda. Perang komentar di Facebook, parade makian di Instagram, atau twitwar penuh sumpah serapah di Twitter.

Kalaupun ada tayangan-tayangan televisi yang kritis ke pemerintah, karena alasan afiliasi politik pemiliknya, angle kritis itu dengan mudah bisa dimentahkan. Dan karena gejala ini sudah terjadi berulang-ulang, kita sebagai rakyat jelata pun jadi memakluminya belakangan.

Memaklumi bukan karena menerima dengan lapang dada, tapi lebih ke arah pasrah karena tak punya kuasa.

Nah, tayangan Mata Najwa tersebut, berbeda dengan yang pernah ada selama ini. Episode tersebut melabrak pakem-pakem umum yang dikenali. Aneh, anomali, berani, nekat, cablak, bikin gatel, bikin sebal, dan ajaib dalam satu waktu. Hal yang bukan tidak mungkin jadi benchmark baru untuk Mata Najwa.

Ironisnya (atau kreatifnya?) tayangan yang powerful ini justru muncul karena Terawan memutuskan tidak mau hadir. Lantas ketidakhadiran ini pun “dilawan” Mata Najwa dengan cara sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

Dan karena hanya ada kursi kosong di depannya, Mbak Nana tentu mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada si kursi. Barangkali seperti yang biasa kita lakukan kalau sedang sendiri, sambil menanti janji yang tak kunjung datang memberi kisi-kisi untuk ditepati.

Uniknya, kursi kosong di hadapan Mbak Nana ini bisa berarti banyak. Dan karena kursi itu tidak bisa berbicara sendiri, saya akan coba mewakilinya. Setidaknya menafsirkannya.

Berbagai pertanyaan Mbak Nana kepada kursi kosong itu sebenarnya adalah keresahan kita selama ini. Kita sudah lebih dari enam bulan berada di masa pandemi. Ratusan ribu positif Covid-19, ribuan meninggal, dan di antaranya ada teman bahkan keluarga kita.

Dalam kondisi seperti itu, kita masih sempat menyaksikan sejak awal pandemi berbagai pernyataan para pejabat yang terkesan meremehkan dampak pandemi.

Tentu saya tidak mau mengulang berbagai pernyataan konyol tersebut. Cukup cari di mesin pencari, dan Anda akan menemukan katalog blunder pernyataan-pernyataan para pejabat yang cukup ampuh jadi obat pencahar di pagi hari.

Ironisnya, berbagai blunder komunikasi publik itu juga sinonim dengan kebijakan-kebijakan yang memunculkan pesan ambigu ke publik. Salah satu yang fenomenal tentu ketika pada masa puasa kita diajak untuk berdebat tentang definisi mudik dan pulang kampung. Seolah virus bisa berhenti menular kalau kita memutuskan menggunakan salah satu istilah tersebut.

Nah, dari perkara remuknya cara komunikasi pejabat ke publik itu saja, sudah banyak yang menyampaikan kritik. Dari netizen edgy sampai para pakar beneran, semua berusaha memberikan saran perbaikan. Sayangnya, setiap upaya menyampaikan kritik, sering mendapat respons balik yang tidak menyenangkan.

Misalnya seperti akun Twitter epidemiolog Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, yang sempat diretas karena beliau berkali-kali vokal menyampaikan kritik terhadap cara pemerintah menangani pandemi.

Berbagai kritik dan masukan yang tidak berbalas, ditambah respons yang semakin hari bikin sakit kepala. Hal semacam ini menambah dosis keresahan tambah membara. Keresahan makin nyata dan berlipat ganda.

Berbagai keresahan itu pun bisa dibahasakan oleh Mbak Nana dengan aksi simbolik: memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis—plus retoris—kepada kursi kosong.

Meski begitu, tak semua orang sepakat dengan cara Mata Najwa. Ada yang merespons bahwa bertanya kepada kursi kosong termasuk upaya mempermalukan Terawan dan itu termasuk kategori bullying.

Tunggu. Benarkah begitu?

Oke. Saya paham kalau banyak yang kaget dengan ide Mbak Nana mewawancarai kursi kosong karena di Indonesia, sependek pengetahuan saya, ini merupakan kejadian pertama kali. Di banyak negara lain, mewawancarai kursi kosong ini praktik yang biasa saja dan sudah berlangsung puluhan tahun.

Di Inggris, misalnya, berbagai stasiun televisi seperti BBC, Sky News, Channel 4 sering melakukannya. Channel 4 bahkan mengganti Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dengan balok es, karena Boris tidak mau datang dalam tayangan debat.

Itulah kenapa, sebenarnya bukan hal aneh meng-kursi-kosong-kan seorang politisi atau pejabat, apalagi kalau pejabat tersebut tidak mau ditanya perkara tanggung jawabnya. Lebih-lebih kalau kebijakannya selama menjabat perlu untuk diklarifikasi.

Dan dari kursi kosong atau terisi, kita bisa tahu bahwa seorang pejabat publik berani atau tidak untuk mempertanggungjawabkan kebijakannya di depan publik. Kalau tidak berani, berarti ada yang salah dengan kebijakannya selama ini dan hal tersebut diakuinya sendiri. Sedangkan kalau berani—paling tidak—dia merasa kebijakannya benar meski dianggap orang lain salah.

Bertanya kepada pejabat publik yang punya kekuasaan tentu tidak bisa kategorikan bullying. Ini bentuk koreksi. Jika mempertanyakan kebijakan pejabat saja salah, saya malah khawatir istilah bullying bisa mengalami penurunan makna kalau digunakan untuk melindungi citra pejabat publik.

Justru ketika Mata Najwa menyediakan kursi kosong, inilah wujud dari sarkasme di jurnalisme televisi. Selama ini sarkasme di dunia jurnalisme di Indonesia memang lebih sering hadir dalam bentuk teks, baik di media cetak maupun media online. Mbak Nana harus diapresiasi karena dia membawa model baru sarkasme di televisi ternyata bisa meninggalkan kesan yang cukup dalam.

Lantas pertanyaannya, apakah sarkasme model ini akan menjadi tren di program televisi lainnya?

Belum tentu, dan saya harap malah tidak. Karena kalau dijadikan tren dan dilakukan berulang, ia bisa menjadi klise. Dan cara klise sering tidak efektif untuk sarana kritik.

Termasuk ketika Mbak Nana mewancarai pihak paling bertanggung jawab dalam sebuah kasus, lalu ada disclaimer seperti ini, “Kami sudah mengundang yang bersangkutan, tapi beliau mengaku tidak bisa hadir di Mata Najwa.”

Dan supaya hal itu tidak menjadi klise lagi, disclaimer itu kadang memang tak perlu cuma disampaikan secara verbal tapi sekalian saja ditunjukkan secara visual.

BACA JUGA Yang Perlu Dilakukan Najwa Shihab agar Pak Terawan Mau Datang ke ‘Mata Najwa’ dan tulisan Wisnu Prasetya Utomo lainnya.

Exit mobile version