Pernikahan Luna Maya dan Maxime Bouttier beberapa hari lalu bikin heboh. Bukan karena mereka selebriti, tapi karena 2 hal, yaitu masa lalu Luna Maya yang penuh kontroversi dan perbedaan usia yang cukup mencolok.
Banyak orang jadi berspekulasi. Kok bisa? Kok mau? Padahal yang terjadi bukan “kok bisa”, tapi memang “Ya, bisa.”
Bertahun-tahun sebelumnya, Luna Maya lekat dengan “citra pelik” akibat skandal video syur yang bocor ke publik. Citra pelik ini menempel terus dalam relasi-relasi asmaranya.
Namun, ketika Luna Maya akhirnya menikah, saya justru belajar sesuatu yang lain. Bukan tentang “jodoh nggak akan ke mana meski butuh waktu lama”, tapi keberanian menabrak ekspektasi sosial yang menuntut “kesempurnaan”.
Kalau Luna Maya, yang masa lalunya lekat dengan kontroversi bisa menikah, masa lulusan SMA harus nunggu sarjana dulu biar bisa ke pelaminan?
Daftar Isi
- Patah hati 7 tahun lalu
- Tidak sempurna seperti Luna Maya tetap boleh bahagia
- Latar belakang pendidikan tak menjamin komitmen, betul?
- Pernikahan itu komitmen, bukan CV atau gelar
- Siap jalan bareng lebih penting dari latar belakang dan masa lalu seperti kisah cinta Luna Maya
- Memaafkan masa lalu seperti Luna Maya
Patah hati 7 tahun lalu
Tujuh tahun lalu, mantan pacar saya bilang begini. “Kalau mau nikah sama saya harus sarjana. Soalnya, sarjana itu nyambung diajak ngobrol.”
Saya, yang waktu itu cuma mentok di calon sarjana langsung sadar diri. Tanpa banyak alasan, wajib bagi saya mundur.
Yang paling sakit itu ketika dia mematok mahar tinggi. Alasannya macam-macam: terinspirasi pesta orang, punya teman-teman kantoran, keluarganya birokrat, dan latar belakang pendidikannya tinggi.
Untung beberapa tahun setelahnya, saya ketemu perempuan yang memiliki cara pandang berbeda. Perempuan ini enggak pakai embel-embel gelar. Waktu datang melamar, saya terang-terangan bilang ke sesepuh keluarganya tidak punya ijazah sarjana, tidak bisa memberi mahar mewah, dan saya minta prosesi adat ditiadakan.
Tidak sempurna seperti Luna Maya tetap boleh bahagia
Khawatir ditolak jelas ada. Beruntung, sesepuh itu malah tersenyum dan bilang, “Pernikahan itu ada tiga hukum: agama, negara, dan adat. Kalian cuma mengeluarkan hukum adat. Yang dua lagi masih sah. Jadi, bismillah.”
Pada musyawarah selanjutnya, ada sesepuh lain yang ngotot prosesi adat harus ada. Alasannya karena perempuan yang ingin saya nikahi bergaris keturunan biru dan seorang sarjana.
Namun, calon istri saya waktu itu ngotot juga. Laki-laki lulusan SMA bukan berarti tidak bisa mengajak hidup bahagia. Bagi dia, latar belakang pendidikan tidak bisa membatasi hak laki-laki dan perempuan untuk setara dalam rasa, seimbang dalam cinta, dan selaras dalam komitmen.
Luna Maya tidak sempurna karena masa lalunya. Namun, dia berhak bahagia. Sama seperti kita semua yang sama-sama tidak sempurna. Bukankah begitu gambaran manusia?
Latar belakang pendidikan tak menjamin komitmen, betul?
Di era sekarang, sudah bukan rahasia lagi jika latar belakang pendidikan menentukan besaran mahar. Semakin tinggi mahar, semakin tinggi pula ekspektasi.
Minta pasangan selevel, minimal satu strata. Akhirnya, bukan cinta yang dicari, tapi CV. Pernikahan jadi proyek branding keluarga. Hal ini yang juga menjadi gonjang-ganjing terkait Luna Maya. Padahal dia menikah karena memang cinta. Bukan karena sebatas memaafkan latar belakang atau perbedaan usia.
Curhat ibu teman saya bisa jadi contoh tentang ini. Dia menyesal menggelar pesta pernikahan anaknya dengan biaya besar. Dia memakai konsep mewah, lengkap dengan prosesi adat, plus tamu undangan orang-orang “besar”.
Ujung-ujungnya, pernikahan anaknya gagal di usia singkat. Gagal. Singkat. Mewah tapi rapuh.
Kasus ini sejalan dengan riset dari Andrew Francis-Tan dan Hugo M. Mialon (2023). Dia bilang semakin mahal biaya nikah, semakin besar kemungkinan cerai. Sebaliknya, yang nikah sederhana, hasilnya lebih langgeng. Kadang, yang murah memang lebih awet. Harga gaun bisa dipotong. Harga ego? Sulit.
Pernikahan itu komitmen, bukan CV atau gelar
Orang kadang lupa, bahwa yang lebih penting dari latar belakang pendidikan adalah pendidikan itu sendiri. Latar belakang pendidikan cuma bukti pernah sekolah. Pendidikan itu soal cara berpikir, cara memandang, dan cara memperlakukan orang lain seperti Luna Maya dan Maxime Bouttier.
Di Gorontalo, ada sindiran buat orang yang sekolah, tapi tidak tahu soal adab dan akhlak. Contoh: “O sikola, bo diya o manyanyi.” Artinya: “Sekolah, tapi tak tahu malu.”
Ini kenapa seorang lulusan S3 pun bisa dibilang “tidak berpendidikan” kalau sudah melewati batas adab dan akhlak. Sementara banyak juga lulusan SMA atau bahkan tak tamat sekolah yang lebih sopan dan tahu batas. Seperti Luna Maya, masa lalu tidak menentukan kualitas diri dan hak mendapatkan kebahagiaan.
Sindiran ini juga berlaku dalam rumah tangga. Makanya, pemerintah mewajibkan semua calon pengantin ikut pendidikan pranikah. Itu artinya, setebal apapun ijazahmu belum tentu kamu paham bagaimana cara berkomitmen.
Siap jalan bareng lebih penting dari latar belakang dan masa lalu seperti kisah cinta Luna Maya
Sebagai laki-laki yang pernah ditolak karena berstatus non-sarjana, saya pernah beranggapan kalau dunia pernikahan itu terlalu jahat. Masa untuk menjadi seorang suami wajib bergelar sarjana, tapi untuk menjadi seorang sarjana tidak perlu bergelar suami? Kan, esensi ibadah terpanjang dalam hidup ini tidak melulu soal gelar, tidak sekadar ikatan fisik atau legal, isinya tidak hanya kewajiban menafkahi saja.
Dalam Islam, idealnya sebuah pernikahan dibangun dengan konsep ketenangan hati (sakinah), kasih sayang (mawaddah), dan mengasihi (warahmah). Pondasinya ma’ruf. Konsep ma’ruf dijelaskan dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat ke-19: “Pergaulilah mereka dengan cara yang patut.”
Mengutip NU Online, Asy-Sya’rawi dalam tafsirnya Al Khawatir menjelaskan konsep ma’ruf mencakup tindakan baik dan sesuai norma terhadap pasangan, meski rasa cinta tak seperti pada awal pernikahan. Inilah yang disebut komitmen hidup bersama.
Jauh sebelum Asy-Sya’rawi menafsirkan kata ma’ruf sebagai komitmen, Ki Hajar Dewantara sudah lebih dulu mengajari kita soal komitmen pernikahan lewat konsep pendidikan yang progresif dan humanis.
Lewat semboyan “Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”, Ki Hajar Dewantara ngasih tahu bahwa hubungan manusia, termasuk pernikahan, harus dibangun di atas contoh, dorongan, dan dukungan.
Tidak harus sama-sama sarjana, yang penting sama-sama belajar. Karena yang penting bukan siapa paling pintar, tapi siapa paling sabar saat cucian menumpuk. Luna Maya dan suaminya adalah wujud dari cita-cita ini.
Saya patut bersyukur bisa melewati pasang surut pernikahan bersama istri meski latar belakang pendidikan kami berbeda. Makanya, sampai sekarang kami berupaya mengejawantahkan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara ke dalam kehidupan sehari-hari.
Memaafkan masa lalu seperti Luna Maya
Sejak awal kami sepakat bahwa ujian pernikahan itu dimulai bukan saat saya bilang “sah”, tapi justru setelah malam pertama, ketika dia bilang “ah sayang” tagihan datang.
Dari kisah ini dan cerita masa lalu Luna Maya, mungkin sudah waktunya kita berhenti menunggu “kesempurnaan” yang tidak ada habisnya itu. Karena pada akhirnya, pernikahan bukan tentang siapa yang paling tinggi gelarnya, paling mahal maharnya, atau paling mulus masa lalunya. Namun, siapa yang paling siap berjalan bersama, apa pun latar belakangnya.
Jadi, kalau masa lalu Luna Maya saja bisa dimaafkan, masa lulusan SMA nggak boleh dikasih kesempatan menikah? Atau jangan-jangan, kitanya saja yang belum bisa berkomitmen, tapi sibuk pasang standar?
Penulis: Yakub Mianto Kau
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Dari Luna Maya Saya Belajar, Kalau Jodoh Nggak Bakal Kemana meski Butuh Waktu yang Nggak Sebentar
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.