Operator call center menjadi salah satu pekerjaan yang banyak menyerap fresh graduate. Selain kebutuhannya yang memang besar, pekerjaan ini tidak menuntut persyaratan yang neko-neko, semua jurusan boleh mendaftar yang penting mau belajar. Di sisi lain, pekerjaannya tampak “bersih” dengan seragam rapi, ruang kerja ber-AC, dan gaji UMR. Nggak heran banyak lulusan baru yang melirik pekerjaan ini, itung-itung bisa jadi “batu loncatan” dan memperpanjang CV kerja.
Akan tetapi, di balik itu, banyak yang tidak tahu bahwa pekerjaan ini bisa berubah menjadi “lingkaran setan” yang menyedot energi fisik dan mental. Tulisan ini bukan untuk mendiskreditkan pekerjaan operator call center ya. Saya pernah melakoni pekerjaan ini dan tahu betul sisi-sisi buruknya. Itu mengapa saya sangat salut dengan mereka yang masih bertahan di posisi tersebut. Saya hanya ingin berbagi pengalaman kepada mereka, terutama para fresh graduate, yang tergiur dengan pekerjaan ini. Biar ekspektasinya nggak kemana-mana.
Daftar Isi
- #1 Jam kerja operator call center berpotensi mengacak-acak hidup
- #2 Fresh graduate bisa kehilangan kontrol emosi karena terlalu sering meredam emosi orang lain
- #3 Penilaian performa yang kejam dan kurang manusiawi
- #4 Fresh graduate harus awas supaya tidak terjebak lingkaran setan bernama operator call center
#1 Jam kerja operator call center berpotensi mengacak-acak hidup
Mayoritas pekerjaan call center, apalagi yang berurusan dengan layanan publik atau sektor vital seperti kelistrikan atau telekomunikasi, pasti memiliki pembagian kerja dengan sistem shift. Jangan bayangkan shift-nya bisa dibuat fleksibel atau bersahabat. Kerja di malam hari akan jadi rutinitas yang dilakukan berulang kali. Kalian bisa sampai lupa rasanya kenikmatan tidur normal.
Tubuh yang belum terbiasa dengan jam kerja malam pasti akan menunjukkan reaksi, mulai dari kepala yang sering terasa pusing, membuat mual, hingga suasana hati yang mudah berubah. Waktu akhir pekan pun belum tentu bisa dimanfaatkan untuk beristirahat dengan tenang. Ingin cuti atau izin karena sakit? Sah-sah saja, tapi bersiaplah untuk mengganti hari kerja dan jangan berharap ada tambahan uang lembur. Saya tidak bohong peraturan ini memang sudah jadi pedoman hampir di semua perusahaan penyedia agen call centre.
#2 Fresh graduate bisa kehilangan kontrol emosi karena terlalu sering meredam emosi orang lain
Sebagai operator call center, kalian dituntut untuk menjawab pertanyaan atau menyelesaikan masalah pelanggan. Tanggung jawab itu sepaket dengan jadi tempat pelampiasan kemarahan. Tidak jarang caci maki dan umpatan harus kalian terima. Kata-kata seperti “goblok”, “nggak becus kerja”, bahkan umpatan-umpatan kasar yang tak pantas didengar bisa jadi makanan sehari-hari.
Lebih mirisnya lagi, kalian nggak boleh membalas atau menunjukkan nada defensif. Itu bisa mengurangi performamu. Skor evaluasi bisa turun. Itu artinya bonus melayang atau surat peringatan akan menghampirimu. Pekerjaan ini terus menuntut kalian untuk sabar, meskipun di saat yang sama, tak ada yang benar-benar peduli bagaimana kondisi batinmu. Bagi fresh graduate yang baru mencicipi dunia kerja, mungkin hal ini akan berat.
#3 Penilaian performa yang kejam dan kurang manusiawi
Setiap bulan, performa agen call center dinilai berdasarkan standar yang sangat spesifik dan ketat. Biasanya ada target jumlah panggilan, waktu bicara, tingkat kepuasan pelanggan, bahkan nada bicara. Ini semua diukur dan dimonitor terus-menerus, tak ada bedanya dengan mencetak robot yang terus dipantau agar meningkatkan nilai perusahaan.
Salah satu hal yang paling menyakitkan, capaian kalian selama sebulan bisa runtuh hanya karena satu pelanggan rese. Belum lagi ditambah dengan sistem kerja yang masih outsourcing, membuat posisi kerja jauh dari kata aman. Kalian bisa saja tidak diperpanjang kontrak hanya karena evaluasi bulanan turun sehingga tidak mencapai target yang ditentukan.
#4 Fresh graduate harus awas supaya tidak terjebak lingkaran setan bernama operator call center
Awal jadi fresh graduate dan diterima sebagai kerja sebagai call center, saya berkata dalam hati, “Setidaknya ini pengalaman kerja, nanti bisa pindah.” Tapi, kenyataannya, setelah satu tahun lebih bekerja di dunia call center, saya malah merasa terjebak. Kesibukan kerja, jam shift yang tidak tetap, dan tekanan mental membuat saya kehabisan energi untuk berkembang atau mencari pekerjaan lain.
Mau lanjut kuliah? Sulit. Mau ambil pelatihan tambahan? Waktunya tidak tentu. Mau pindah kerja? CV hanya penuh pengalaman call center dengan posisi jabatan yang stagnan, yang kadang dianggap kurang relevan untuk posisi lain yang lebih strategis. Pekerjaan ini benar-benar seperti “lingkaran setan”. Kalian bisa-bisa terjebak bertahun-tahun dalam pekerjaan ini hanya karena sulitnya mencari peluang lain yang mendukungmu untuk lebih berkembang.
Tulisan ini bukan berarti melarang para fresh graduate untuk melamar pekerjaan sebagai call center ya. Pengalaman ini saya harap bisa memberi gambaran terkait dunia call center sehingga para fresh graduate bisa mengatur ekspektasi dan siasat hidup. Selain itu, semoga tulisan ini bisa menyadarkan para pengguna jasa call center supaya nggak jahat-jahat amat pada operator. Kecewa dan komplain boleh-boleh saja, tapi tetap dijaga tutur katanya.
Penulis: Dimas Junian Fadillah
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Saya Banting Setir dari Wartawan Jadi Buruh Pabrik, Berujung Dieksploitasi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.