logo jbt putih 220x80
hasoe angels tugu JBT

Dangdut Jogja di Pusaran Biduanita dan Gemerlap Klub Malam

Jogja dulu punya Purawisata, tempat yang jadi episentrum untuk menikmati goyang dangdut. Selepas tutup, muncul Panggung Basiyo di XT Square yang jadi jujugan penikmat dangdut. Namun, panggung itu juga tidak abadi. Terakhir, ada Panggung Alpha Bravo di Jalan Parangtritis Km. 5 yang menyajikan dangdut setiap hari, ada atau tidak ada penonton. 

Mojok mencoba menelusuri cerita bagaimana tiga panggung yang disebut di atas menjadi kawah candradimukanya pedangdut asal Jogja. Termasuk sejak kapan dangdut masuk kafe atau klub malam.

Panggung Alpha Bravo di Jalan Bantul, jadi kawah candradimuka penyanyi dangdut setelah hilangnya panggung di Purawisata dan XT Square

Semakin malam, Panggung Alpha Bravo makin bergetar. Alunan kendang bersambut goyang biduanita berbalut pakaian seksi membuat penonton yang datang tenggelam dalam kenikmatan.

Mata para penonton yang berdiri tepat di depan panggung sesekali terpejam. Kepala digoyang-goyang.  Gerak tangan dan badan mereka seiringan dengan nada-nada yang dibawakan oleh personel Orkes Melayu (OM) Mandala. Kendang, suling, gitar, dan kibor berpadu memandu lagu-lagu dangdut koplo.

Rabu (28/12) malam, OM Mandala membawa sepuluh biduanita ditambah satu bintang tamu khusus yakni Yosha Yolanda. Seperti hari-hari sebelumnya, malam ini Jogja diguyur hujan. Namun, hujan tidak jadi penghalang bagi para penikmat dangdut ini untuk bergoyang.

Panggung Alpha Bravo konsepnya memang terbuka luar ruang. Cuaca membuat penonton yang hadir malam ini tidak terlalu banyak. Kalau ditaksir, mungkin sekitar tiga puluhan. Sebagian dari mereka asyik bergoyang di depan panggung. Sebagian lainnya duduk nikmat di beberapa sudut teduh dari rintik hujan.

Setiap satu lagu usai dinyanyikan, pembawa acara OM Mandala berjuluk Mbah Gono akan melafalkan sambutan bagi biduanita selanjutnya. Sejurus kemudian, penyanyi lain naik ke atas panggung menyapa penonton.

“Dikasih yang kalem-kalem dulu ya, kayak, Mas-masnya ini,” sapanya sambil menunjuk para personel OM Mandala.

“Jangan lupa sawernya juga,” sambungnya dengan kedipan manja. Lalu kendang pun ditabuh kembali. Penyanyi tenggelam dalam pendar kerlap-kerlip lampu panggung yang memanjakan mata.

Di depan panggung, sejak lagu pertama Andi (31) begitu asyik bergoyang. Lelaki ini mengaku penikmat sejati penampilan di Panggung Alpha Bravo yang nyaris setiap hari menggelar dangdutan. Setidaknya, sepekan sekali pasti ia datang ke arena yang terletak di Sewon, Bantul ini.

“Aku udah seneng dangdut sejak umur 15. Pas dangdut Jogja masih di Purawisata. Rumahku kebetulan dekat situ dan dulu bapak yang ngajakin dangdutan,” ucapnya, masih sambil menggoyangkan pinggulnya.

Andi merasa bahwa panggung dangdut di Jogja memang sudah tidak seramai dulu yang hampir setiap hari bisa ditonton ratusan orang. Tapi itu tidak menghalanginya untuk tetap bergoyang. Dengan atau tanpa uang untuk menyawer para biduanita.

Sambil tertawa, ia mengaku kalau tidak selalu hafal nama penyanyi yang tampil di sini. Asal tahu lagu yang dibawakan, ia tetap bisa menikmati penampilan. Bahkan tanpa tahu lagunya, irama dangdut membuatnya bergoyang.

Untuk bisa masuk ke Panggung Alpha Bravo, penonton dikenakan tiket seharga Rp15 ribu. Para penampil merupakan sejumlah OM asal Jogja beserta para penyanyinya. Mulai dari Mandala, AB Pro, Zarima, Garangan, dan beberapa lainnya.

Panggung ini mulai aktif sejak awal 2019 silam. Tak lama setelah panggung di XT Square yang sebelumnya jadi ajang dangdut reguler andalan di Jogja ditiadakan.

Sejak saat itu, kontan hanya panggung di bawah naungan Alpha Bravo Entreprise ini satu-satunya tempat dangdutan tanpa libur di Jogja. Panggung yang terletak di Jalan Parangtritis, Sewon, Bantul ini mengadakan pentas dangdut antara jam 21.00 sampai 00.00. Sesekali, mulai lebih dini sejak pukul 20.00.

Panggung Alfa Bravo di Pyramid Cafe Bantul

Penonton yang sedang tak begitu ramai, membuat para biduanita yang usai tampil turun lalu membaur dengan para penonton. Menyalami dan duduk bersama mereka tanpa rasa canggung di sudut-sudut kios yang berhadapan persis dengan panggung. Siapa tahu bisa dapat saweran.

Panggung Alpha Bravo menerapkan sistem sharing tiket antara penyelenggara dengan bintang tamu. Pendapatan para penampil tak menentu. Sehingga saweran dari penonton pun jadi harapan.

Salah satu penyanyi yang barusan turun panggung menarik perhatian saya. Mengenakan mini dress berwarna hitam, Irma Aldifa (22) duduk di seberang di sudut remang bangku penonton. Dengan ramah, ia mengulurkan tangan untuk bersalaman saat saya hampiri.

Perempuan kelahiran Bantul ini mengaku sudah sekitar tiga bulan bergabung bersama OM Mandala. Praktis, sejak saat itu ia kerap manggung di Alpha Bravo.

Irma meniti karir sebagai penyanyi dangdut sejak 2017. Berawal dari membawakan lagu di hajatan-hajatan warga. Ia ingat, pada tahun itu sempat merasakan panggung yang lumayan saat tampil di sebuah acara dangdut di Pasar Seni Gabusan.

Perlahan tapi pasti, karier dangdutnya di kancah lokal berkembang. Irma juga mengaku sempat ikut beberapa OM di luar daerah sehingga punya pengalaman manggung di beberapa kota seperti Solo dan Semarang.

Bagi Irma, Alpha Bravo merupakan panggung yang punya arti penting. Sejak reguler tampil di sini ia merasa lebih sering mendapat panggilan manggung di berbagai acara. Kemampuannya di atas panggung sedikit banyak, jadi diperhitungkan dengan tampil di sini.

“Lumayan masih ada prestisnya. Terutama buat penyanyi-penyanyi baru. Di sini bisa nambah relasi juga, dari relasi nanti dapat kesempatan manggung lagi, kan,” paparnya.

Umumnya OM memang tidak mengikat penyanyinya. Sehingga di luar jadwal manggung reguler, para penyanyi seperti Irma berkesempatan mencari pundi-pundi rupiah di tempat lain.

Tiga panggung kawah candradimuka pedangdut Jogja

Di sisi lain Panggung Alpha Bravo, saya berjumpa dengan Ridwan Abdul Qohar atau lebih dikenal dengan Iwan Gilas. Sosok ini terlibat sejak awal dangdut reguler di sini bergulir. Ia banyak berperan urusan penampilan dan bintang tamu.

Menurutnya panggung ini memang dikenal sebagai ajang unjuk gigi bagi para new comer. Ia menyebutnya dengan istilah “Kawah Candradimuka”.

“Kalau era dulu, panggung di Purawisata itu dianggap kawah candradimuka pedangdut Jogja. Sekarang di tempat ini juga masih begitu,” terang lelaki yang sudah aktif di kancah dangdut Jogja sejak awal 2000-an ini.

Hal itu sebenarnya tak mengherankan mengingat banyaknya OM dan penyanyi yang terlibat dalam pementasan dangdut di sini. Anggap saja dalam sepekan ada 5 orkes yang tampil masing-masing membawa sekitar tujuh hingga sepuluh penyanyi.

Di tengah perkembangan platform digital, panggung-panggung ini masih bertahan. Memberikan pedangdut-pedangdut muda kesempatan untuk unjuk gigi.

Panggung dangdut reguler ikonik di Jogja sudah muncul sejak awal 1990-an. Diawali oleh Taman Hiburan Rakyat (THR) Purawisata, berlanjut di Panggung Basiyo XT Square, dan belakangan ini Panggung Alpha Bravo.

Namun, sebelum panggung-panggung itu berdiri, dangdut Jogja tak bisa dilepaskan dari kehadiran Pasar Malam Perayaan Sekaten. Dangdut, konon mulai menggeliat dan bisa jadi tontonan masyarakat Jogja sejak dihadirkan di salah satu panggung pagelaran tahunan di Alun-alun Utara jelang Maulid Nabi itu.

Peneliti dangdut, Michael HB Raditya dalam bukunya OM Wawes: Babat Dangdut Anyar menyatakan bahwa dangdut sempat eksis di Sekaten di era 1980-an. Pertunjukan dangdut perayaan Sekaten dilakukan di sebuah gedung tertutup semi permanen yang kerap disebut tobong.

Michael, mengutip sejumlah penelitian menyebut bahwa di akhir 1980-an, ongkos masuk dangdut di Sekaten dibanderol Rp500. Orkes dan pedangdut yang dihadirkan kala itu kebanyakan berasal dari Jogja dan Jawa Tengah. Dangdut di Sekaten disebut masih bertahan sampai awal 2000-an.

THR Purawisata

Geliat dangdut di Sekaten kemudian berlanjut dengan kehadiran panggung reguler yang menyajikan penampilan nyaris setiap hari yakni THR Purawisata. Tempat tersebut berdiri sejak 1989 dan punya lokasi yang cukup strategis. Letaknya di Jalan Brigjen Katamso, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta tak jauh dari Keraton Yogyakarta.

Orkes melayu mulai dihadirkan sebagai hiburan rutin sejak 1993. Sejak saat itu, nyaris setiap hari dangdut ditampilkan di panggung hiburan seluas 22 x 8 meter. Tak jauh berbeda dengan Alpha Bravo, dangdutan dihelat sejak pukul 21.00 hingga tengah malam.

Saat awal dihelat, tiket pagelaran dangdut Purawisata dibanderol seharga Rp3.000. Lokasi yang strategis dengan biaya masuk yang masih terjangkau membuat hiburan ini jadi jujugan banyak kalangan.

Tak lama setelah hijrah ke Jogja pada 1998, Iwan Gilas juga langsung banyak bersinggungan dengan geliat Purawisata. Pada awal 2000-an, OM Gilas besutannya sudah mulai manggung rutin menghibur penonton di tempat itu.

Ia menjadi saksi bagaimana Purawisata menjadi barometer dangdut sekaligus ajang unjuk gigi pedangdut muda. Tempat ini, buatnya memang layak disebut kawah candradimuka dangdut di masa awal.

Media andalan yang digunakan untuk mempromosikan dangdut saat itu adalah siaran radio dan selebaran poster yang ditempel di berbagai titik. Selain itu juga melalui pengumuman yang disiarkan melalui pengeras suara mobil keliling.

Buat para penyanyi, tampil di Purawisata adalah sesuatu yang spesial. Sebagai pengelola orkes, Gilas melihat banyak penyanyi naik pamor setelah bisa mentas secara reguler di sana.

“Jadi hal yang sesuatu banget saat itu. Ada penghargaan. Orang dulu mikirnya kalau sudah tampil di Purawisata ya sudah jadi pilihan. Jadi penyanyi di sini jadi laris dapat panggilan di kampung-kampung,” paparnya.

Penyanyi-penyanyi itu tampil di bawah naungan beberapa OM yang reguler tampil. Beberapa OM yang legendaris di Purawisata di antaranya Mahardika, Gilas, Latansa, Puranada, Teratai, dan beberapa lainnya.

Saking tingginya, penampil di Purawisata pun dikurasi sedemikian rupa. Mulai dari penampilan panggung, susunan artis, kualitas musik dan vokal, sampai penonton yang bisa didatangkan.

Geliat dangdut di Purawisata bertahan cukup lama sampai akhirnya dihentikan pada 2013 silam. Purawisata tutup pada usianya yang ke-24 yang artinya sudah 21 tahun menjadi tempat dangdut reguler andalan warga Jogja. Penutupan ini dilakukan atas keputusan pemilik tempat.

XT Square

Usainya era Purawisata tak menghentikan geliat dangdut di Jogja. Tak berselang lama, panggung baru di XT Square hadir untuk mengentaskan dahaga para pecinta dangdut. Lokasinya terletak di Jalan Veteran, Umbulharjo, Yogyakarta.

“Pindah ke XT Square tak lama setelah Purawisata bubar. Saya ikut sejak awal di sana. Ikut sampai berganti tiga manajemen. Pertama Pakubaja Production, Rizky Production, lalu Panggung Exito,” papar Iwan.

Iwan menjelaskan kalau penampil di Panggung Basiyo merupakan mereka yang dulu mengisi hiburan Purawisata. “Sebagian sama, tapi ada juga yang baru atau yang berganti nama,” cetusnya.

Sebagaimana Purawisata, XT Square juga jadi barometer sekaligus kawah candradimuka bagi para pedangdut muda Jogja. Ada gengsi yang didapatkan mereka yang tampil di panggung ini.

Namun usia dangdut di XT Square tak selanggeng Purawisata. Iwan berujar kalau 2018 pentas dangdut di sini mulai surut. Pada tahun itu juga akhirnya manajemen memutuskan untuk menghentikan pentas reguler di tempat ini.

Palagan selanjutnya dari kancah dangdut di Jogja, seperti yang diceritakan di bagian awal, berada di Panggung Alpha Bravo. Animonya memang tak bisa dibilang menanjak, tapi para penyelenggara mencoba untuk terus bertahan.

Dari kafe hingga gemerlap klub malam

Sebenarnya, beriringan dengan tempat-tempat barometer kancah dangdut jogja itu, geliat juga terjadi lewat kafe-kafe. Sejak lama, banyak kafe di Jogja yang dikenal dengan julukan Kafe Dangdut.

“Ibaratnya di tempat seperti Purawisata dan XT Square itu kita cari nama. Kemudian nanti bisa tampil di mana-mana, termasuk kafe,” terang Iwan.

Iwan ingat nama beberapa kafe yang dulu jadi langganan untuk menikmati dangdut. Salah satu yang legendaris yakni Takashimura Cafe yang terletak di Jalan Solo. Di tempat itu, live music dangdut diadakan secara reguler. Membuatnya mendapat julukan kafe dangdut.

“Selain itu yang terkenal ada juga Palm Café di sekitaran Umbulharjo. Ramai juga dan ada penampilan reguler,” katanya.

Ketika pamor dangdut semakin naik di kancah nasional, salah satunya ditandai dengan banyaknya penampilan di layar televisi, penikmat dangdut pun kian beragam. Dari kafe dangdut pun melenggang ke sejumlah klub malam di Jogja.

Pada 2014, salah satu klub malam besar di Jogja, Liquid bahkan merintis grup dangdut bernama Koneg Liquid. Koneg merupakan akronim dari Koplo Next Generation. Grup ini secara reguler tampil menghibur pengunjung klub yang terletak di Jalan Magelang tersebut.

“Dulu Koneg dibuat itu dengan sedikit sentuhan jazz. Jadi kaya dangdut ditambahin saksofon begitu,” terang Iwan. Ia mengaku sempat terlibat di awal perencanaan Koneg, namun tidak lanjut bergabung saat grup ini mulai tampil.

Kini Koneg pun sudah tidak manggung kembali. Namun, Liquid masih menyajikan dangdut reguler dengan mengundang bintang tamu tetap Hasoe Angels. Grup ini diprakarsai Hasoe SE (Sarjana Electone) yang menggandeng sejumlah biduanita dalam penampilannya.

Rabu (14/12) saya berkesempatan ngobrol dengan sejumlah punggawa Hasoe Angels di sela persiapan jelang naik ke atas panggung. Di ruang tunggu, sekitar pukul setengah sebelas malam, Hasoe dan delapan biduanita yang hendak tampil sedang riweh merias penampilan mereka.

Grup ini memang dikenal dengan dandanan yang eksentrik. Setiap pentas, mereka akan menggunakan kostum tematik khusus. Warna-warnanya mencolok. Membuat penampilannya menyita perhatian penonton.

Di antara para angels yang sedang sibuk berias diri, saya menghampiri Kiki Alfiani (24) yang belum mengenakan kostum manggung malam ini. Salah satu penyanyi andalan Hasoe ini merupakan generasi penyanyi dangdut yang lahir dari panggung klub malam.

Sebelum bergabung bersama Hasoe Angels, penyanyi yang akrab disapa Dhe Kiki ini pernah mencicipi manggung bersama Koneg di Liquid.  “Jadi kalau dulu disebut kawah candradimuka-nya Purawisata, aku malah mulai dari Liquid ini,” terang perempuan asal Magelang ini.

Buatnya, manggung di klub maupun panggung-panggung hajatan yang gratisan itu sama saja. Semua tergantung pribadi masing-masing penonton.

Kendati begitu, panggung klub buat Kiki terasa lebih eksklusif. Panggungnya tinggi dengan pagar besi yang membatasi dari penonton. Hal itu membuat penyanyi merasa lebih nyaman saat melakukan penampilan.

Kiki lalu pamit undur diri untuk mengganti kostum. Sebentar lagi mereka naik panggung. Saat kembali dari ruang ganti, ia sudah mengenakan pakaian serba coklat dengan renda-renda yang mengelilingi. Serasi dengan warna rambutnya.

Hasoe berujar kalau kostum tematik merupakan identitas yang melekat pada grup yang ia bina. Penyanyinya boleh mengambil pekerjaan di luar grup ini. Bebas, asal tidak mengenakan kostum yang identik dengan Hasoe Angels.

Hasoe Angels sudah dua kali tampil reguler di klub malam. Sebelum Liquid, Hasoe pernah dikontrak untuk tampil reguler di Indoluxe pada medio 2016-2018. Tampil di klub malam, bagi Hasoe saat itu merupakan hal baru. Ada sejumlah keraguan sebelum akhirnya ia mantap mengambil tawaran itu.

HASOE ANGELS 2 (1)-min

“Tadinya sempat nggak mau karena ragu. Ada yang nonton nggak, terus compliment-nya kan pasti minuman keras ya. Penyanyiku juga kebanyakan nggak minum,” ujarnya.

Selain itu, tampil di klub juga membuatnya perlu menyesuaikan ritme kehidupan. Panggung baru mulai tengah malam. Durasi penampilan 30 menit hingga satu jam. Alhasil, dini hari ia baru benar-benar bisa mentas dan beristirahat.

Hasoe melihat secara pakem, dangdut di klub sudah benar-benar campur aduk. Instrumennya macam-macam asal penonton bisa goyang. Setiap tampil, Hasoe Angels pun hanya mengandalkan electone sebagai pengiring musiknya.

“Ya sekarang ini memang semakin bias. Ada YouTube, TikTok, orang-orang ngeremix macem-macem. Intinya apa yang disenangi masyarakat dan bisa dibuat joget saja kalau sekarang ini,” ujarnya.

Sejak mulai tampil reguler di Liquid, Hasoe juga kerap mendapat tawaran manggung di sejumlah tempat hiburan malam di luar daerah. Mulai dari sejumlah kota di Pulau Jawa hingga Papua.

Malam itu, Hasoe dan para penyanyinya naik ke panggung tepat pukul 23.30. Mereka membuka penampilan dengan membawakan lagu “Koyo Jogja Istimewa” dari Ndarboy Genk.

Penonton yang sedang duduk sambil menikmati bir, perlahan mulai terbawa suasana. Beberapa di antara mereka pun maju. Bergoyang di pagar pembatas panggung.

Kebangkitan dangdut Jogja

Nama Jogja memang tidak segemerlap daerah lain di Jawa dalam kancah dangdut tanah air. Seperti yang dituliskan Michael HB Raditya dalam bukunya, Jawa Barat populer dengan dangdut jaipong-nya, Jawa Tengah dengan campur sari, Jawa Timur dengan koplo, dan daerah lain dengan sejumlah gagrak dangdut khas-nya.

Dangdut Jogja bergeliat sejak lama. Namun, tidak begitu diperhitungkan di peta dangdut nasional. Iwan Gilas, melihat kebangkitan dangdut Jogja baru terjadi dalam satu dekade terakhir. Ketika beberapa grup dangdut dari Jogja menelurkan karya-karya yang dinikmati kalangan luas.

Sebenarnya, salah satu ikon dari Jogja yang punya andil besar mengenalkan dangdut adalah Soimah Pancawati. Ia mempopulerkan sejumlah tembang dangdut seperti “Oplosan” dan “Pokoke Joget” di salah satu program televisi.

“Mak Soimah ini terhitung salah satu yang berkontribusi besar. Dulu lagu Jawa dianggap nggak bisa masuk televisi nasional. Dianggap roaming atau orang Jawa aja yang paham. Tapi dibawakan dia akhirnya bisa diterima,” katanya.

Namun, Soimah memang dikenal sebagai seniman Jawa dengan beragam keterampilan. Tidak secara khusus dikenal sebagai pedangdut, ia juga dikenal sebagai sinden, komedian, hingga pembawa acara yang andal.

“Secara spesifik, saya melihat kebangkitan dangdut Jogja itu saat ada beberapa grup yang menghasilkan album dan cukup populer. Pertama ada Om Wawes lalu muncul beberapa lainnya seperti Guyon Waton,” paparnya.

Perjalanan OM Wawes dimulai sejak 2012. Berkarir mulai dari solo, electone, hingga grup. Album bertajuk OM Wawes yang rilis 2018 berhasil menaikkan pamornya. Lagu-lagu seperti “Kebacut Tresno”, “Ilang Roso”, hingga “Tetep Neng Ati” membuatnya banyak dikenal.

Selain OM Wawes, belakangan grup dangdut dari Jogja mulai subur bermunculan. Mulai dari NDX AKA dengan dangdut hiphop-nya, Guyon Waton, hingga yang baru-baru ini muncul yakni Ngatmombilung. Bukan hanya grup, solois dangdut seperti Ndarboy Genk juga menjadi warna tersendiri di dangdut Jogja.

Logo Mojok - Suara Orang Biasa

Tim Jogja Bawah Tanah

Penulis: Hammam Izzuddin | Editor: Agung Purwandono | Ilustrasi: Ega Balboa

Home