Hal-hal yang Dirindukan bila FPI Bubar Beneran

Hal-hal yang Dirindukan bila FPI Bubar Beneran

Hal-hal yang Dirindukan bila FPI Bubar Beneran

MOJOK.COSiapa yang akan diuntungkan jika FPI beneran bubar? Dan siapa pula yang bakal dirugikan? Benarkah umat Islam? Atau politisi?

Apa yang terjadi bila Front Pembela Islam (FPI) benar-benar bubar? FPI, sebagaimana kita tahu, ialah organisasi masyarakat (ormas) yang dibenci sekaligus diperlukan. Hm, saya agak ragu untuk menuliskan dicintai semua orang.

Ide pembubaran FPI mumbul kembali setelah Pangdam Jaya, Mayjen TNI Dudung Abdurachman menyatakan ormas yang bersarang di Petamburan itu sebaiknya hilang dari peredaran. Wakil Sekretaris Umum FPI, Aziz Yanuar merespons, FPI akan bubar bila negeri ini sudah adil dan makmur.

Nampaknya, sampai hari kiamat tiba pun FPI tak akan bubar sendiri. Pilihannya hanya dua, FPI atau Indonesia yang bubar duluan. Lagipula, siapa sih Dudung Abdurachman, kok berani-beraninya sama ormas binaan Habib Rizieq Shihab ini?

Sebelum beranjak ke inti masalah, kita mundur ke belakang mengapa organisasi ini ada dan apa saja kiprahnya bagi bangsa. Bahasan ini diperlukan untuk mengukur seberapa penting FPI bila tetap eksis dan apa kerugian yang diterima warga Indonesia jika penguasa Petamburan ini tiada.

Laman resmi FPI sedikit sekali menuliskan profil organisasinya. Satu-satunya informasi ialah kalimat “Front Pembela Islam (FPI) adalah organisasi Islam di Indonesia, Mengusung Islam Ahlusunnah Wal Jamaah, Berdiri sejak tanggal 17 Augustus 1998 di Jakarta” yang terpampang di posisi paling bawah muka website.

FPI sering melancarkan aksinya atas nama umat Islam. Namun, mengapa mereka tak terbuka kepada umat mengenai jati dirinya?

Untungnya, Google menyediakan informasi yang kita perlukan. Sebelum berpolemik dengan TNI di era kiwari, FPI rupanya salah satu ormas yang aktif dalam tubuh Pam Swakarsa. Pam Swakarsa adalah paramiliter yang diorganisir elite ABRI untuk membendung aksi-aksi politik jalanan pada 1998.

Imam besarnya sendiri, Habib Rizieq Shihab memiliki “kemesraan” dengan sejumlah toko militer kesayangan Soeharto, khususnya Prabowo Subianto. Saat Pilpres 2019 terlihat romantisme keduanya masih membara, FPI mendukung penuh agar Prabowo bisa menduduki kursi RI 1. Sayangnya gagal.

Portofolio FPI dalam kancah politik mulai dapat poin ketika “Baret Putih” ini terlibat dalam tragedi Ketapang, November 1998. Bentrokan terjadi antara warga dengan preman Ambon yang menjaga pusat perjudian setempat, yang kemudian berkembang menjadi konflik SARA.

Kabar angin yang menyatakan sebuah masjid telah dibakar oleh orang-orang kafir membuat FPI berang. FPI lantas bergabung dengan warga. Habib Rizieq turun langsung dan berceramah di masjid dekat lokasi, sementara anggota FPI menyebar menjaga keamanan.

Akibat kerusuhan ini, sebelas gereja dan dua gedung sekolah Kristen rusak, menurut data yang dihimpun Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) kala itu.

Tahun-tahun setelah tragedi itu, FPI mulai aktif dalam isu-isu politik dan agama. Perjuangan mereka berkutat pada penutupan tempat-tempat kemaksiatan hingga penerapan syariah di Indonesia.

Bahkan, pada 12 Desember 1999, Balai Kota DKI Jakarta pernah diduduki Laskar Pembela Islam, paramiliter FPI selama 13 jam menuntut penutupan tempat hiburan selama Ramadan.

Barangkali jenuh menunggu kepastian pemerintah, FPI sering turun tangan sendiri melakukan sweeping menyatroni tempat-tempat hiburan atau tempat yang dianggap sebagai sumber kemaksiatan, pokoknya tempat-tempat yang melakukan larangan Tuhan. Tak peduli warung-warung makan kecil yang tetap nekat buka saat bulan puasa dipentung juga.

Saya kira, hampir seluruh lapisan sosial masyarakat di Nusantara pernah berkonflik dengan FPI. Mulai dari presiden, pejabat, politisi, musisi, ulama—Gus Dur salah satunya, jurnalis, hingga pedagang warung makan. Mungkin saja, di mata FPI seribu musuh terlalu sedikit, seorang kawan terlalu banyak.

Lantas, apa untung rugi bila FPI dibubarkan?

Mereka yang diuntungkan adalah pebisnis hiburan malam yang tak perlu khawatir pabrik uang mereka disatroni. Orang-orang yang suka mencuri puasa di bulan Ramadan dan warung-warung makan kecil tak perlu takut lagi ada yang mentung.

Hilang sudah jargon-jargon hormati kami… hormati kami yang berpuasa.

Umat agama minoritas tak lagi khawatir mendirikan rumah-rumah ibadah. Umat rindu saling berpelukan. Aktivis dan pegiat Islam Ramah tak perlu tarik urat, setidaknya tidak stres-stres amat karena organisasi yang dinilai intoleran sudah berkurang satu. Eh, dua ding dengan HTI.

Sementara, kerugian pertama menimpa dunia kerelawanan. Aktivitas kemanusiaan FPI sudah teruji kualitasnya. Mereka yang pertama kali paling sigap menolong korban bencana alam saat tsunami mahadahsyat melanda Aceh 16 tahun silam. Relawannya tak kenal lelah mencari dan mengangkut mayat-mayat.

Imam Besar FPI juga ikut menyisir dan menggotong tubuh-tubuh kaku yang berhamburan. Organisasi ini juga terlibat aktif membantu korban gempa dan tsunami Palu, ngobak di air keruh banjir ibu kota menelusuri lorong-lorong mengamankan warga hingga mendirikan posko bagi korban penggusuran.

FPI memiliki sayap kemanusiaan bernama Hilal Merah Indonesia (Hilmi). Selain menolong korban bencana, sayap juang ini juga aktif menjadi pasukan penyokong aksi-aksi jalanan yang diinisiasi ormas induk, termasuk saat gegap gempita rentetan episode Aksi Bela Islam.

Mereka yang rugi selanjutnya adalah politisi dan pemerintah. Saat ini, sulit sekali mencari musuh bersama. Saat HTI dibubarkan, FPI adalah jalan terakhir. Isu radikalisme, intoleransi, keamanan nasional oh tentu saja FPI bahan bakarnya. Sebab FPI lah, kontrol sosial ala pemerintah masih berjalan lancar.

Pada sisi lain, FPI juga seksi sebagai proksi politik. Sejatinya, rel gerak FPI adalah rel politik jua.

Berkaca dari sejarah, ormas ini sering mendompleng kubu politik yang dianggap menguntungkan bagi kesuksesan visi misinya. Sehingga wajar pula bila ada tokoh politik yang menunggangi gerbong Petamburan untuk melesatkan karier politiknya. Yah, semacam simbiosis mutualisme.

Selebriti yang hanya mengandalkan sensasi pun turut menggunakan FPI sebagai pendongkrak popularitas dan pemantik kekayaan. Sebut saja Nikita Mirzani. Ia disebut kebanjiran endorse bernilai ratusan juta rupiah setelah polemik tukang obat. Bila FPI bubar, sirna sudah harapan selebriti lain meniru cara ampuh Nyai Nikita.

Pedagang pernak-pernik majelis taklim, tukang sablon, pengrajin tekstil juga dirugikan bila FPI tiada. Mereka akan kehilangan produk dan target pasar dari penjualan pernak pernik, emblem, produksi seragam, bendera bertema FPI.

Konon, jumlah anggota ormas putih ini mencapai satu juta orang. Bagi pedagang kecil, angka tersebut cukup lumayan agar roda bisnis tetap berputar.

Pedagang kopi starling, jasa penyewaan mobil komando dan sound system, abang baliho, turut bersedih. Sebab, tak ada lagi aksi-aksi jalanan yang diorganisir FPI. Mentok-mentok Reuni 212 setahun sekali yang diadakan para alumni.

Aksi FPI yang mendatangkan massa banyak selalu ditunggu-tunggu para pebisnis yang bergelut di bidang demo mendemo. Satpol PP bakalan nganggur, polisi kekurangan “samsak” latihan dan pelampiasan tenaga.

Industri media, khususnya media daring. Jurnalis kesulitan bahan gorengan isu yang bisa mendatangkan ratusan ribu hingga jutaan klik. “FPI”, “Habib Rizieq”, “intoleransi”, “sweeping warung makan”, apalagi dibumbui kata kunci “Firza Husein”, sempurna sudah. Redaksi tinggal ongkang-ongkang kaki memantau traffic kunjungan.

Kemudian, yang dirugikan tentu anggota FPI itu sendiri. Mereka tak bisa lagi gagah-gagahan parade ala militer, nampang dengan baret putih, razia sana-sini. Bambu mana bambu.

Laskar yang masih jomblo nggak bisa pamer ke calon mertua, mbribik akhwat-akhwat soal betapa gagahnya mereka dalam memperjuangkan-so-called-tegaknya syariah di Nusantara. Bikin video TikTok: Pacarmu bisa gini nggak?

Kelak, para laskar akan mengenang dan merindukan betapa heroiknya mereka di jalanan. Cerita ke anak cucu tentang betapa hebatnya mereka melawan tentara, polisi, sesama warga, selebriti, para pelanggar syariat, thagut-thagut agama. FPI oh FPI.

Sambil menunggu kepastian pembubaran, entah besok, lusa, entah tahun berapa. Siapa pun kita, ada baiknya menyenandungkan lagu Payung Teduh menunggu waktunya tiba:

Di malam hari…Menuju pagi… Sedikit cemas… Banyak rindunya….~

BACA JUGA Alasan Logis Kenapa Habib Rizieq Pantas Disambut Ribuan Orang saat Pulang dan tulisan Suandri Ansah lainnya.

Exit mobile version