Guru Honorer itu Bisa Dianggap Buruh Nggak Sih?

MOJOK.COGuru honorer dijanjikan akan dapat intensif 600 ribu. Tapi belum apa-apa pemerintah udah wanti-wanti kalau nanti bakal banyak yang terlewat.

Akhir bulan ini kemungkinan insentif untuk pekerja dengan gaji di bawah 5 juta cair. Besarannya cukup lumayan, 600 ribu per bulan. Yah, lumayan untuk melumasi rantai pengeluaran yang sedikit ngadat belakangan ini. Syaratnya? Pekerja yang masih aktif di BPJS Ketenagakerjaan.

Ya jelas sih, kalau masih member aktif BPJS tandanya pasti tergolong pekerja yang masih pekerja. Namanya juga insentif pekerja.

Segmen pekerja dengan upah kategori bawah ini memang belum tersentuh dan perlu disentuh, padahal bayar pajaknya banyak lho, dan iuran BPJS-nya dobel juga. Lalu, ketika ada yang mendengungkan pertanyaan, guru honorer dapat tidak ya?

…seketika rasanya seperti sedang menjawab soal ulangan bab taksonomi Carolus Linnaeus.

Segera saja terbayang seekor platypus keluar dari lubang, berenang seperti berang-berang, berbulu tapi bermulut bebek, kaki berselaput tapi bercakar, bertelur tapi menyusui.

Lantas dari mulut platypus keluar pertanyaan fundamental….

“Lah emang guru honorer itu termasuk pekerja ya?”

Ibu Ida Fuaziyah, Menteri Ketenagakerjaan, memang sempat menjanjikan bahwa guru honorer akan dapat intensif 600 ribu ini. Namun, karena profesi ini tidak termasuk dalam BPJS Ketenagakerjaan, guru honorer dimasukkan dalam program keluarga harapan (PKH), jadi masih bisa didata sebagai pekerja freelancer atau kayak pekerja borongan.

Uniknya, duit intensif belum jalan sampai lapangan, pemerintah sendiri sudah yakin bahwa pencairan ini akan banyak yang terlewat karena sulit mendata guru honorer di Indonesia. Sulit karena kelewat banyak, plus udah kelamaan nggak pernah diurus.

Hm. Baiqlah.

Memang sih, ketika membahas guru honorer, pita memori sering terputar ke playlist musim kemarau bulan Mei di mana lagu pertamanya adalah demo buruh. Demo buruh menjadi agenda tahunan dengan ekspresi wajah pendemo yang kurang lebih sama, namun dengan tunggangan yang berganti, dulu Supra sekarang NMax misalnya.

Namun di setiap gelaran orasi, baju batik dan peci hitam milik guru honorer tidak pernah nimbrung. Seakan untuk mengklasifikasikan diri sendiri sebagai bagian dari kaum buruh proletariat pun malu-malu. Padahal, qualified secara morfologis. Apalagi pada masa sekarang yang semua hal harus dipandang sebagai investasi.

Bahkan ketika agama dikatakan investasi akhirat, maka memandang pendidikan (sekolah) sebagai invetasi adalah pandangan yang pantas. Makanya, perjuangan kelas pekerja di sektor pendidikan pun semestinya pede saja menggabungkan diri di rangkaian gerbong besar serikat pekerja.

Jauh sebelum bikin lagu “Pergi Pagi Pulang Pagi” yang secara implisit sebenarnya didedikasikan untuk kelas pekerja, Band Armada yang tampaknya adalah pegiat sosialis-marxis ini pernah membombardir telinga rakyat dengan lagu “Kekasih yang Tak Dianggap” yang sepertinya memang ditujukan untuk guru honorer. Meskipun ternyata liriknya disusun lebih lunak dibanding kenyataannya.

Jika pada istilah “kekasih yang tidak dianggap” setidaknya ada satu pihak yang menganggap kekasih meskipun lawannya berpikir tidak, pada kasus guru honorer ini lebih rumit.

Bagaimana bisa dalam sebuah hubungan yang terjalin mesra selama bertahun-tahun antara institusi sekolah dan karyawannya, keduanya tidak memahami seperti apa sebenarnya relasi yang terjalin di antaranya?

Keduanya berjalan dengan nanar sembari setiap hari memproduksi barang jadi yang siap dirilis (baca: lulusan) setiap tahun ajaran untuk kemudian mengumpulkan kembali bahan baku setengah jadi (baca: siswa baru) dengan jumlah yang sama atau bahkan lebih besar.

Prosesnya pun tidak cuma modal otot, apalagi modal dengkul Amien Rais. Harus ada biaya produksi untuk menjamin setiap proses berlangsung dengan semestinya. Penerimaan, pemrosesan, dan perilisan produk ada harga yang harus di bayar.

Dan dengan berada di dalam kepulan asap siklus yang sama sepanjang tahun, selama bertahun-tahun, sekolah dan guru seakan enggan menyadari bahwa relasi mereka sebenarnya adalah sebuah bisnis.

Keduanya sukar untuk memahami bahwa proses pendidikan adalah benar-benar investasi. Bahkan ketika murid dan walinya selaku klien terbuai dengan kenikmatan investasi bermodal murah ini, sekolah dan guru masih tetap terjebak dalam logika ganjil bahwa pendidikan adalah sodaqoh.

Sodaqoh

jariyah dari para guru (terutama honorer) yang sepertinya terlalu memaksakan diri untuk ikhlas. Mungkin memang susah kali ya kalau bagian ini dibuat lirik lagu yang easy listening?

Lanjut, pendidikan mahal maupun pendidikan gratis pada dasarnya sama. Keduanya membutuhkan sarana yang sama, pelaku yang sama, klien yang sama, dan tentu saja modal yang sama. Modal sekolah pada zaman orde baru dan

milenial sama saja. Yang membedakan hanyalah tentang siapa yang mengeluarkan modal, siapa yang harus membayar.

Jika biaya dibebankan pada masyarakat, maka dikategorikan sebagai pendidikan mahal. Namun jika beban tersebut ditanggung pemerintah, maka bisa dikategorikan sebagai pendidikan murah. Ini hanya tentang siapa investor dominannya.

Naif jika mewujudkan investasi pendidikan murah justru dengan mengurangi besaran modal yang tentunya berpengaruh langsung pada besaran biaya produksi. Rusak malah.

Fokusnya adalah pada investornya, sebab inilah muara sekaligus hulu dari aliran bisnis ini. Lalu, siapa sebenarnya investornya? Tanyakan saja siapa yang mengambil keuntungan dari proses bisnis ini?

Negara, orang tua, dan anaknya.

Gampang ya? Soal IPS SMP kok.

Maka pada merekalah pintu utama investasi pendidikan dibuka. Semua harus mau menyadari dan mengakui tanpa syarat bahwa proses pendidikan adalah sebuah investasi bisnis jangka panjang dunia akhirat.

Salah satunya, atau keduanya, harus rela untuk keluar modal dan tidak bermimpi tentang investasi gratisan. Kemudian, fokus investasi dialirkan penuh pada perusahaan penyedia jasa pendidikan yang saat ini dimiliki, yaitu sekolah, negeri maupun swasta.

Faktor-faktor produksinya sudah lengkap semua dan siap beroperasi, dan banyak di mana-mana. Permasalahannya selanjutnya adalah kesadaran pengelola dan faktor produksi akan jati dirinya yang selanjutnya berpengaruh pada ketidakberesan bentuk dan rupa perusahaan. Pada titik inilah keremangan wujud guru honorer berada.

Guru honorer seharusnya mulai keluar dari siluet dan muncul dengan bentuk yang tegas bahwa mereka juga buruh yang termasuk kelas pekerja yang sama dengan guru yang berstatus pegawai (PNS dan GTY). Meski kemudian khalayak mengidentifikasikan pegawai dan buruh sebagai sesuatu yang sedikit berbeda.

Bolehlah kita sepakati, untuk kalangan kita saja ya, bahwa pembedanya adalah terkait hak yang diterima. Jika pegawai, maka artinya hak yang diterima sudah di atas standar hidup plus tunjangan ini-itu, sedangkan buruh berarti hak yang diterima masih di bawahnya tanpa tunjangan melekat.

Setidaknya makna secara realitasnya begitu. Bedanya itu saja. Bidang, tugas pokok, kewajiban, dan beban kerjanya kurang lebih sama. Kemudian, setelah bentuk disepakati maka pemilahan masalah cenderung lebih mudah.

Perjuangan guru honorer untuk terbebas dari upah bulan-bulanan bisa mulai menemukan rangkaian kereta untuk mengaitkan gerbongnya. Guru honorer bisa bergerak dengan lokomotif yang sama: Buruh.

Dengan begitu, ia bisa turut bergerak dalam arus yang lebih deras untuk memperjuangkan penghidupannya. Atau setidaknya, bisa memaksa untuk dilihat dengan kejelasan bentuknya, dan arah pergerakannya. Yang dituntut jelas: Upah UMR, minimal itu.

Setidaknya setarakan dulu dengan taraf hidup standar di daerah. Kemudian, perlindungan dan kejelasan secara legalitas sebagai pekerja. Ini penting, agar akad kerja yang terjalin adalah akad profesional, bukan ikatan perasaan person to person dengan (atasan) pemberi kerja.

Ciri profesionalitas tentu saja terwujud pada perjanjian kerja yang disusun berdasarkan rujukan aturan-aturan resmi yang berlaku. Perjanjian kerja beda dengan surat pernyataan yang isinya sesuai dengan kebutuhan. Ada bagian-bagian rigid yang tidak bisa dibuat sendiri oleh pemberi kerja dan pekerja berdasarkan standar subjektif.

Apalagi di sekolah negeri yang jelas bukan milik neneknya siapa-siapa. Di bagian bawah SK guru honorer tentunya tidak perlu ada tulisan “keputusan tidak dapat diganggu gugat”. Akad kerjanya setara, masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang membatasi. Maka istilahnya honorer, bukan lagi bakti, apalagi mengabdi.

Sekolah sekarang ini dituntut untuk dikelola secara profesional. Mirip seperti sebuah anak perusahaan. Manajerial sekolah negeri maupun swasta, setidaknya sejak era KTSP, diberi ruang ontonom. Meskipun tetap dipayungi petunjuk tenis tertentu agar tetap on the track, terutama pada pengelolaan dana BOS dan BOP.

Di dalamnya, ploting anggaran disesuaikan dengan kebutuhan sekolah. Termasuk untuk merekrut guru dan pegawai honorer ketika memang dibutuhkan. Prosesnya sudah seperti perusahaan beneran. Ada open rekrutmen, lamaran, seleksi tahap 1 tahap 2, masa training, kemudian SK tugas. Setidaknya cara ini sudah menganut prinsip keterbukaan dan kesetaraan. Siapapun bisa dan boleh mendaftar.

Idealnya memang seperti itu, bukan berdasarkan hubungan kekerabatan dan tanpa seleksi seperti jaman

Sengkuni diangkat jadi patih Hastinapura dulu. Meskipun sebenarnya secara formal, belum ada aturan yang menutup rapat lubang bawah tanah itu.

Mungkin, ini salah satu pertimbangan pemerintah enggan mengangkat tenaga honorer secara otomatis tanpa tes. Anu, akan ada hati yang terluka.

Rekrutmen ini, tentunya sudah berdasarkan analisis kebutuhan dan ketersediaan anggaran. Ada batasan aturan maksimal 15% alokasi dana BOS untuk honor. Dan lagi, SPP 0 rupiah membuat anggaran sekolah yang sebagian besar alokasinya untuk honor tersebut menjadi berkurang.

Untung, sekolah bukan lembaga amatir tanpa papan nama yang baru kemarin sore dibentuk. Rencana kerja dan rencana strategisnya jelas. Rancangan anggarannya tidak hanya untuk satu dua minggu ke depan.

Rancangan perubahan pun diperbolehkan. Ketika besar anggaran berkurang, skala prioritas untuk guru dan tenaga honorer sekolah tetap menjadi yang utama. Hanya karena anggaran, masa iya jam kosong terus?

Mending beli buku paket edisi revisinya saja yang ditunda dulu. Berdasarkan kejelasan matriks kerja ini, setidaknya guru dan tenaga honorer hanya dapat diputus kontrak ketika masanya habis dan sudah ada penempatan pegawai tetap dari pemerintah atau faktor indisipliner yang indikatornya terukur. Jaminan masa kerja jelas.

Bukan berarti permanen ya, tapi ada waktu tertentu yang disepakati di mana pekerja dapat nyaman dan tenang bekerja tanpa diganggu kemungkinan pemberhentian sewaktu-waktu, setidaknya per satu tahun.

Kemudian kesempatan untuk memperpanjang masa kontrak sesuai klausul yang fair merujuk pada kebutuhan sekolah. Konsep PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja), yang masih menunggu perpresnya, nantinya kurang lebih seperti itu.

Kalau di perusahaan namanya tenaga kontrak atau PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu). Statusnya jelas, hak yang diterima pun waras. Berbeda dengan BHL (buruh harian lepas) yang upahnya sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan, yang sedari awal memang tidak ada ikatan kerja formal.

Biasanya BHL ini untuk bidang pekerjaan yang temporal, sporadis, dan tidak tetap. Dalam konteks sekolah, sistem BHL tentunya tidak pas mengingat keberadaan siswa tidak mungkin temporal, apalagi sporadis. Rentang waktunya ada.

Memastikan status dan masa kerja guru honorer juga tetap bisa dilakukan. Dipayungi dengan regulasi meneduhkan yang tidak mengizinkan kemungkinan adanya potensi standar individu untuk memperbolehkan mood menjadi penentu keputusan.

Pijakannya kuat, kepatuhan bukan semata kepada atasan, tapi pada aturan. Kerja tenang, fokus, dan terencana tanpa tekanan dan beban kerja ngasal yang biasanya dibungkus dengan label loyalitas.

Apa sudah seperti itu? Perlu poling dulu pakai form online untuk tahu, tapi hati-hati nyasarnya di change.org lho ya. Tidak direkomendasikan.

Setelah kejelasan status dan regulasi kerja, pekerja juga mestinya mendapatkan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja dalam payung BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan. Minimalnya itu.

Biasanya di dalam besaran upah yang diberikan perusahaan sudah termasuk di dalamnya. Otomatis dibayarkan perusahaan, tanpa mengurangi take-home-pay. Atau setidaknya ada persentase subsidi. Bukan full bayar sendiri lewat pemotongan gaji. Hitung-hitungan anggaran ketika menetapkan kebutuhan dan rekrutmen pegawai sudah mencakup ini. Mestinya.

Tidak seperti pekerja sektor swasta yang otomatis dimasukkan ke BPJS oleh perusahaannya karena ada regulasi yang mewajibkan, honorer sekolah lebih longgar.

Sekadar info, CMIIW, guru dan tenaga honorer ada jenisnya, GTT (guru tidak tetap) dan PTT (pegawai tidak tetap) yang digaji pemda dan honorer sekolah yang digaji oleh sekolah. Pemda sekarang sudah tidak diperkenankan mengangkat GTT-PTT lagi.

Untuk menutup kekurangan tenaga pendidik, akhirnya sekolah memaksimalkan rekrutmen honorer. GTT-PTT dan honorer sekolah kurang lebih sama saja dari segi upah, payung regulasi, dan perlindungan jaminan sosial.

Aturan longgar yang tidak mendorong guru dan tenaga honorer sekolah untuk menjadi peserta jaminan sosial ini membuat pelaksanaannya bergantung pada kebijakan pengelola.

Beberapa ada yang BPJS kesehatannya otomatis dibayarkan dari potongan gaji. Jika BPJS ketenagakerjaan juga full potong gaji juga, ujungnya banyak yang tidak ikut karena besarannya agak lumayan untuk dua potongan itu.

Padahal, jaminan sosial ini bisa sangat membantu di saat butuh berobat, kecelakaan kerja, atau ketika berhenti bekerja. Atau saat seperti ini, dapet uang kaget 600 ribu. Lumayan banget di situasi serba-tidak-pasti seperti sekarang ini. Atau memang…

sometimesit doesn’t have to be so sure.

BACA JUGA Romantisasi Amal Jariyah Melulu Nih, Kapan Naikin Gaji Guru Honorer? atau tulisan Slasi Widasmara lainnya.

Exit mobile version