Soal Survei Guru Intoleran dan Serapan Kata Toleransi di Indonesia

MOJOK.CO – Dalam kata yang lebih menyakitkan, toleransi beragama itu bermakna: yang mayoritas mengasihani dan membolehkan kebebasan beragama yang minoritas.

Kagak tanggung-tanggung, 63.07% guru di Indonesia dianggap cenderung intoleran. Sebagian mereka malah dianggap sangat intoleran terhadap pemeluk agama lain.

Eit, itu tuduhan bukan berasal dari saya, melainkan berdasar ringkasan kesimpulan sementara survei yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Lembaga yang digerakkan oleh banyak intelektual peneliti, pengamat, dan dosen. Survei tersebut melibatkan 2.237 responden guru di 34 provinsi di Indonesia.

Sebuah hasil survei yang bisa viral-able dan goreng-able.

Saya hanya baru membaca ringkasan survei yang beredar di media sosial, belum baca hasil lengkap surveinya. Kesimpulan sementara itu pun sudah lumayan disenggol beberapa pertanyaan kritis.

Ada yang bertanya ihwal instrumen survei apa yang dipakai? Bagaimana pendekatan dan metode yang digunakan? Sampai yang rada mendasar: apa sih definisi tentang intoleransi yang dipakai oleh PPIM?

Apakah bila seorang guru muslim—misalnya—ditanya pendapatnya tentang rencana pembangunan sarana ibadah agama lain di dekat rumahnya, si guru tidak setuju, lalu bisa disimpulkan si guru intoleran bermagnitudo 6-8 Skala Richter?

Padahal bisa aja si guru ingin jelas dulu status perijinannya. Atau dia malah justru ingin mencegah potensi kekisruhan yang ia bayangkan bakal terjadi. Atau alasan-alasan mitigatif lainnya. Apakah persepsi seorang guru bisa dicopot begitu saja dari kesadaran sosiologisnya? Dan banyak pertanyaan cerewet lainnya untuk isu sensitif ini.

Harap teman-teman PPIM menyadari pertanyaan-pertanyaan yang bisa diduga berbau grusa-grusu tersebut. Namanya juga baru baca ringkasan survei. Kan bisa macam-macam juga interpretasinya. Sudah dimuat di beberapa media lagi itu ringkasannya.

Sedikit lepas dari hasil survei PPIM tersebut, saya malah tertarik dan gatel untuk mempersoalkan tema toleransi dan intoleransi yang jadi jualan utamanya. Karena hal ini akan memblejeti fakta sesungguhnya apakah Indonesia sudah benar-benar bisa disebut negara demokratis?

Lalu kalau banyak orang, termasuk Prabowo yang awalnya menganggap kebohongan Ratna Sarumpaet sebagai pelanggaran HAM (ingat ya, dalam kasus yang disebut pelanggaran HAM, aktornya selalu negara), sudah betul-betul mengamini prinsip-prinsip HAM universal?

Dan akhirnya apakah mereka yang menganggap Indonesia sebagai negara demokratis dan oke habis dengan HAM, masih saja tersandera atau malah menyanderakan pikiran dan tindakannya dengan wacana toleransi dan intoleransi dalam keberagamaan?

Seorang suporter HAM tulen yang masih saja menganggap perlunya toleransi dalam keberagamaan itulah yang disebut contradictio in terminis. Karena wacana dan frasa toleransi beragama itu, tidak tepat dan bertabrakan dengan nilai demokrasi dan HAM itu sendiri. Bahkan pada level penghayatan tertentu, terasa menyakitkan.

Oke, mari kita lihat pelan-pelan,

Sebagai pro asing, jelas, kata toleransi kita serap dari bahasa Inggris, toleration. Secara etimologis, toleration yang mulai dikenal pada sekira 1510, berasal dari bahasa Latin tolerationem (nominative toleratio).

Tolerationem kemudian diserap oleh bahasa Prancis pada 15 Masehi menjadi tolération. Tolération akhirnya dibajak oleh bahasa Inggris pada 1510-an itu, jadilah toleration, yang maknanya adalah permission granted by authority, licence. Jadi muasal toleransi adalah izin atau lisensi yang diberikan oleh sebuah otoritas.

Itu sebab saya bilang makna toleransi beragama itu kagak jodoh dengan prinsip HAM tentang kebebasan beragama. Karena di dalam makna etimologi itu, dan masih bisa kita lihat jelas praktiknya sampai sekarang, toleransi beragama adalah sesuatu yang diberikan oleh yang mayoritas dominan (sama seperti punya otoritas) kepada yang minoritas.

Dalam kata yang lebih menyakitkan: yang mayoritas mengasihani dan membolehkan kebebasan beragama yang minoritas. Sebentar, kok tidak enak dan terasa menyakitkan begitu kedengarannya?

Begini.

Pertama, kebebasan beragama itu hak asasi manusia. Dan hak asasi manusia harus sudah diakui dan dilindungi sejak manusia dilahirkan. Bukan sesuatu yang diberikan kemudian. Makanya tugas negara dalam kontek HAM adalah to respect, to fulfill, dan to protect.

Sekali lagi bukan memberi atau mengizinkan. Tapi harus menjamin pemenuhannya. Karena hak asasi sudah harus dianggap ada pada teriakan pertama individu manusia ketika baru dilahirkan.

Kedua, bersama hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, hak beragama masuk ke dalam hak-hak asasi manusia yang tidak boleh ditangguhkan dalam keadaan apapun (non-derogable rights).

Mau keadaan perang kek, bencana kek, apalagi masa pilpres, pemenuhan hak-hak asasi tersebut tidak boleh ditangguhkan. Sejumlah hak asasi lain yang masuk kategori derogable rights, dengan prosedur yang baku dan benar, bisa ditangguhkan.

Kebebasan pers bisa ditangguhkan atau dibatasi bila negara dalam situasi perang, misalnya. Hak untuk mendapat pendidikan bisa ditangguhkan kalau keadaan dalam keadaan bahaya bencana.

Ketiga, seperti sudah saya singgung esensinya di atas, dalam konteks toleransi beragama dan lawan katanya intoleransi, ada relasi kuasa yang bermain.

Si mayoritas dominan memberikan toleransinya pada yang minoritas. Yang berkuasa memberikan toleransi pada yang dikuasai. Kehidupan dan ekspresi keberagamaan antar umat beragama yang seharusnya berbasis hak asasi manusia, disleding jadi masuk wilayah kuasa, wilayah politik.

Dan kita menonton fakta-fakta tersebut nyaris saban hari. Tidak heran bila perbedaan agama jadi begitu mudah di-down-grade ke level rendahan berhasrat kuasa dominan oleh para politisi berpendidikan tinggi dan jenderal penuh bintang.

Padahal demokrasi bukan hanya perkara yang mayoritas yang menang. Tapi demokrasi akan diuji pada sejauh mana ia menghargai dan menghormati yang minoritas. Di situlah demokrasi dan hak asasi manusia baku cocok.

Lalau bagaimana dengan hasil survei PPIM tersebut? Ya, kan hasil utuh penelitiannya belum jika dirilis secara resmi, ya ada baiknya kita tidak terlalu heboh menanggapinya.

Asal, semoga tidak muncul pendapat yang bilang: “Kesalahan yang terus diulang-ulang, lama-lama bisa menjadi kebenaran.”

Exit mobile version