Kisah Getir Keluarga Si Doel Anak Sekolahan Jika Ditonton Sekarang

MOJOK.CO – Sekilas sinetron Si Doel Anak Sekolahan merupakan kisah jenaka. Banyak adegan mengundang tawa jika ditonton pada eranya. Namun, jika dilihat sekarang, sinetron ini merupakan cerita getir. Sedih banget.

Sebelum Si Doel the Movie akhirnya tayang di bioskop sejak tanggal 2 Agustus 2018 kemarin, RCTI tampaknya ingin kebagian untung juga dengan menayangkan kembali sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Penayangan ini mengingatkan penonton bagaimana kehidupan Doel, si anak sekolahan, sebelum masuk dalam problematika percintaan dan kisah-kisah milenial.

Kalau tidak salah, sinetron Si Doel Anak Sekolahan telah menghiasi layar kaca Indonesia sejak tahun 1994 sampai tahun 2005. Terdiri dari 164 episode dalam 7 musim. Pada era segitu, Si Doel mampu menggeser serial drama asing seperti telenovela Marimar yang juga sedang populer juga di layar kaca.

Salah satu yang membuat sinetron ini punya tempat di hati para penonton adalah bagaimana Rano Karno, yang cukup ambisius ambil jatah sutradara dan pemeran utama, menggambarkan bagaimana kondisi sosial budaya Jakarta pada masanya.

Dari episode ke episode, Si Doel Anak Sekolahan jadi seperti sinetron yang jenaka mengundang tawa pada zamannya. Hanya saja ketika ditayangkan kembali pada era sekarang, kisah keluarga Doel ini ternyata menyimpan kegetiran nyata banyak warga pinggiran di Indonesia pada era itu.

Latar waktu Si Doel Anak Sekolahan diambil pada saat Jakarta mulai tersusupi perkembangan budaya barat dan modernisasi. Ironisnya, sebagai penduduk asli Jakarta, masyarakat Betawi justru dianggap sebagai pemalas dan tidak peduli dengan pendidikan. Melalui cerita yang diangkat dari Si Doel Anak Betawi bikinan Aman Datuk Modjoindo kemudian dikembangkan oleh Ida Farida dan Rano Karno, sosok Doel dalam sinetron tersebut punya misi mematahkan stigma buruk terhadap orang Betawi.

Bernama lengkap Kasdoellah, Doel adalah anak pertama dari Babe Sabeni dan Mak Nyak Lela. Doel juga memiliki satu adik perempuan bernama Atun. Kisah ini berangkat dari mimpi sederhana, Babe Sabeni ingin memiliki anak berpendidikan tinggi. Supaya dianggap “orang”, sudah itu saja. Dan rupa-rupanya Doel mampu mewujudkannya dengan menjadi mahasiswa Teknik Mesin.

Cukup bisa dimaklumi pada zaman “Bapak Pembangunan”, yang menjadi sarjana bergengsi adalah jurusan teknik. Maklum, Indonesia dimitoskan sedang menggeliat ke arah pembangunan, negara lagi butuh-butuhnya sarjana teknik yang banyak untuk membangun bangsa ini. Si Doel kemudian jadi gambaran bagaimana pada zaman itu, anak lulusan sarjana teknik lebih bisa membanggakan orang tuanya daripada jurusan lain. Lulusan ilmu sejarah? Ealah, jajanan pasar macam apa itu?

Meski mimpi keluarga Doel sederhana, pada saat itu mengantarkan anak bisa sampai jadi sarjana seperti sebuah cita-cita berat dari kebanyakan orang, terutama bagi orang Betawi seperti Babe Sabeni. Berprofesi sebagai supir oplet, tidak mudah bagi Babe Sabeni untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, khususnya untuk biaya pendidikan Doel dan Atun.

Dalam perjuangannya mewujudkan mimpi, Babe Sabeni sempat harus menjual sebidang tanah warisan untuk membiayai kuliah Doel. Hal ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi pada masa itu adalah sesuatu yang mewah. Barangkali program beasiswa belum banyak kayak sekarang. Atau kasarnya, pemerintah saat itu pengen rakyatnya banyak yang sarjana tapi ogah repot. Makanya disuruh usaha sendiri-sendiri.

Demi bisa menggapai cita-cita Babe Sabeni—jika diamati dari sudut pandang berbeda—Atun adalah adik yang harus rela berkorban untuk kesuksesan abangnya. Atun merelakan kesempatannya meraih pendidikan lebih tinggi karena kebutuhan kuliah Doel yang lebih diprioritaskan.

Hal yang juga jadi gambaran pada era itu, bahwa anak laki-laki memang “lebih layak” untuk mendapat pendidikan tinggi daripada anak perempuan. Meski demikian, Atun sebenarnya juga sempat mencicipi pendidikan “tinggi”. Yah setidaknya cukup tinggi untuk ukuran kursus singkat di bidang kecantikan.

Kelulusan Doel dari jurusan teknik pun dirayakan dengan genggap gempita. Cita-cita Babe Sabeni tercapai, anaknya sarjana. Orang pintar, terpelajar, dan cocok jika suatu saat nanti jadi gubernur. Hanya saja, perjalanan kisah Doel belum selesai ketika sudah pakai baju toga. Persoalan berikutnya menanti, yakni mencari pekerjaan.

Sampai pada tahap ini Doel juga menunjukkan bahwa anak Betawi memiliki sikap terhadap praktik nepotisme yang lumrah dan terjadi di mana-mana pada era itu. Doel selalu menolak dan memilih keluar dari perusahaan tempatnya bekerja saat mengetahui bahwa dia lolos karena jadi “titipan” orang lain. Sarah, anak konglomerat yang terpikat oleh Doel diam-diam kerap membantu Doel mendapatkan pekerjaan.

Uniknya, orientasi sukses di mata publik saat itu adalah menjadi pekerja di perusahaan besar. Hal ini digambarkan bagaimana kebahagiaan dan kebanggaan keluarga setiap tahu Doel atau Atun, diterima bekerja. Rupa-rupanya, dalil berdagang mampu membuka 9 dari 10 pintu rezeki belum populer saat itu.

Hal ini bisa dilihat saat Atun lulus mengikuti kursus kecantikan. Atun sempat diberi modal kakeknya, Kong Ali, untuk membuka salon di rumah. Berbagai peralatan dan perlengkapan kecantikan sudah tersedia. Namun, di tengah merintis usaha salonnya, Atun justru melamar pekerjaan di salon lain. Pada akhirnya, Atun memilih menutup salonnya dan bekerja di salon orang lain yang menjanjikan gaji.

Penonton generasi saat ini pasti ingin berkata; “Aduh, Atun, sudah beruntung diberi modal cuma-cuma untuk punya usaha sendiri, malah milih jadi pegawai orang.” Akan tetapi keputusan Atun tersebut juga jadi gambaran bagaimana menjadi pengusaha dari bawah sangat sulit dilakukan pada era itu. Bekerja ikut orang lebih minim risiko. Aman.

Begitu pun dengan Doel yang memilih bekerja di kantor daripada melanjutkan rencananya membuka bengkel bersama Mandra. Doel sempat menjadi pengangguran. Selain mengisi waktu kosong dengan menjadi supir opelet, Doel juga sempat merencanakan untuk membuka bengkel dibantu Mandra. Sayangnya, sebelum bengkel itu terwujud, Doel mendapat surat panggilan kerja di perusahaan. Bengkel yang direncanakan pun tidak pernah terwujud.

Narasi yang merupakan contoh bahwa pada era itu, masyarakat Indonesia berlomba-lomba untuk bisa memperoleh pendapatan tetap. Bahkan untuk menggambarkan bahwa menjadi pegawai lebih menjanjikan, Doel diceritakan mampu membeli kendaraan pribadi dari gajinya sebagai karyawan alih-alih sebagai pengusaha.

Selain soal lebih menjanjikan sebagai pegawai daripada pengusaha, ironi pendidikan juga muncul pada sosok Mandra. Paman dari Doel atau adik dari Mak Nyak. Meski hubungan paman dengan keponakan, usia Mandra dan Doel tidak terpaut jauh.

Ada realitas yang kontras terjadi di antara mereka berdua. Jika dilihat dari sudut pandang berbeda, rasanya kondisi Mandra begitu merana. Kong Ali, Babe Mak Nyak dan Mandra adalah orang yang berkecukupan dan royal terhadap orang lian. Sayangnya tidak kepada Mandra yang jelas-jelas putra sendiri.

Di saat seluruh keluarga membanggakan Doel, Mandra justru tidak bisa membaca dan menulis karena tidak pernah mengenyam bangku pendidikan. Nasib Mandra seolah jadi pertunjukkan paling banal bahwa tidak sekolah (entah karena tidak mampu secara ekonomi atau kemampuan) itu benar-benar buruk bagi masa depan.

Hal ini berlanjut dengan karakter Mandra yang selalu jadi tokoh yang disudutkan dan tidak dipedulikan keluarganya. Keberadaan Mandra di rumah Mak Nyak pun kerap dianggap jadi beban. Kontribusinya dalam membantu ekonomi keluarga sebagai supir atau kernet oplet tidak pernah dianggap. Semua karena satu hal; Mandra tidak (mampu) sekolah.

Kesialan ini pun diteruskan sampai usia Mandra kelewat matang dan tak juga kunjung menikah. Mandra sempat menjalin hubungan dengan seorang gadis bernama Munaroh. Sayangnya, Munaroh pada akhirnya menikah dengan orang lain, karena Mandra tak digubris keluarganya—lagi-lagi—soal pendidikan. Karena tidak mampu sekolah, Mandra dicap sebagai pemalas yang tidak akan bisa menafkahi keluarganya sendiri nanti kalau menikah.

Meski diceritakan dengan cara jenaka, Si Doel Anak Sekolahan sebenarnya merupakan gambaran bagaimana getirnya situasi yang harus dihadapi keluarga Sabeni dan anaknya, Doel, menghadapi keadaan sosial, budaya, dan ekonomi saat itu. Juga jadi gambaran bagaimana masyarakat pinggiran menghadapi lebarnya jurang antara si kaya dan miskin, yang diwakili dengan adegan betapa noraknya Mandra dan Atun ketika main ke rumah Sarah untuk kali pertama—sampai mengira kotak surat merupakan mesin berteknologi canggih.

Keadaan yang merepresentasikan bahwa pada era itu ada banyak warga negara yang diabaikan hak-haknya, tapi cukup banyak orang-orang hebat yang masih bisa tetap bertahan hidup dengan caranya masing-masing. Sampai kemudian muncul kelompok yang dengan cukup percaya diri bertanya kepada kita semua tanpa punya urat malu; Piye iseh penak jamanku tho?

Exit mobile version