Nggak Cuma karena Jokowi, Dapat Kerja di Indonesia itu Memang Susah

MOJOK.COBetapa susah dapat kerjaan idaman di Indonesia zaman Jokowi ini. Apalagi kerja yang sesuai harapan bangsa dan negara atau iklan kampanye salah satu capres.

Kerja di Indonesia, rasanya lebih “luar” dibandingkan kerja di luar negeri. Tapi itu kata orang, karena saya sendiri tidak pernah di luar negeri. Namun demikian, bagi saya dan orang-orang yang saya kenal, kerja di Indonesia pada zaman Jokowi ini memang membutuhkan keahlian yang istimewa.

Ya nggak cuma karena Jokowi-nya juga sih, tapi karena perubahan zamannya aja yang kebetulan Jokowi presidennya.

Baru-baru ini, di media sosial (agak) ramai dibicarakan lulusan Jerman yang berprofesi sebagai tukang ojek online. Sebetulnya hal tersebut bukan hal baru, karena banyak juga sarjana yang berprofesi jadi tukang ojek, baik ojek online maupun pangkalan.

Namun hal itu menjadi “wah” karena tukang ojek tersebut lulusan luar negeri—dari Jerman lagi. Seolah-olah lulusan luar negeri harus dapat kerja yang “wah” juga. Terus lulusan dalam negeri kalau kerja jadi tukang ojek kesannya ya biasa aja.

Orang bijak mungkin akan berkata, “Apapun pekerjaanya, selama bisa memberi dedikasi terhadap pekerjaan tersebut, tentu tidak masalah.” Dan marilah kita berharap banyak orang bijak di negeri ini sehingga tidak ada yang meremehkan jenis pekerjaan apapun.

Untuk hal urusan pekerjaan mungkin kita bisa mencontoh Bapak Hasanudin Abdurakhman, seorang ilmuwan yang meniti karier dari seorang penerjemah, yang akhirnya konon bisa punya gaji setara Presiden. Tapi ya, yang mau mencontoh jangan berharap muluk-muluk, yang penting optimis aja dulu.

Jadi penerjemah zaman ini mungkin berbeda dibanding zamannya Kang Hasan masih muda. Menurut pengalaman mantan pacar saya yang dulu pernah kuliah dan tinggal di Jogja untuk mendaftar jadi penerjemah di lembaga penyedia layanan penerjemah dan tour guide itu seleksinya bukan main, karena tidak cukup bisa berbahasa asing saja.

Setelah proses rekrutmen, kemudian dipanggil, dan masuk pada tahap wawancara, saat itu—katanya—hanya ada satu pertanyaan yang sulit untuk dijawab.

“Bagaimana bila pengguna mengajak Anda ke bar, pub, atau melakukan hal lainnya?”

Begitu kira-kira pertanyaanya.

Lah, terus ini mau dijawab apa? Melakukan hal yang lainnya itu apa? Terus ini penyedia layanan penerjemah apa layanan kencan sih?

Karena telanjur patah hati dengan penyedia layanan tersebut, akhirnya mantan pacar saya tidak jadi melamar di penyedia layanan serupa lainnya (padahal, mungkin nggak semua seperti itu). Terlepas dari itu, bagi saya, dia adalah mantan terindah yang pernah ada.

Baiklah, mari berhenti membicarakan mantan dan beranjak ke hal yang lebih serius. Ternyata mencari pekerjaan di bidang lain pun cukup berat. Bukan karena kompetisinya yang ketat, tapi karena seleksinya yang konon sudah tidak fair.

Di lembaga (yang katanya) pendidikan tinggi, untuk menjadi dosen juga sulit. Dulu waktu awal menikah (sudah nggak ngomongin mantan), istri saya bilang, kalau mau lanjutin kuliah di jurusan yang linear biar bisa ngajar atau jadi dosen.

Lalu waktu itu saya bilang, “Sayang (masih sayang-sayangan karena belum punya anak), nggak perlu linear, jadi dosen itu tergantung siapa yang merekomendasikan atau siapa yang bawa, kalau relasi dan koneksi nggak tepat, nanti akan kalah kompetisi.”

Dan yang tadinya sayang-sayangan, dilanjutkan dengan berdebat sengit. Akhirnya saya mengalah, (ingat ya, Bung, mengalah itu bukan berarti menang) daripada harus berantem, ngambek, terus tidur di kasih punggung, tentu saya lebih milih bilang; “Baiklah kalau begitu.”

Belakangan ternyata, ada temannya yang kalah seleksi dosen dengan orang yang memiliki ijasah tidak linear. Dan tentu saja memiliki relasi dan koneksi yang tepat. Kalau boleh pinjam istilah bapak SBY, “Terkadang, di sanalah saya merasa prihatin,” karena ternyata butuh waktu bertahun-tahun untuk membuat istri saya percaya. Dan itu pun harus ada temannya yang mengatakan hal serupa.

Selain dosen profesi yang cukup menarik bagi saya adalah sales. Baik sales asuransi, leasing, bank, panci, maupun yang lain. Bagi orang pada umumnya, yang pernah melamar jadi sales tentu berpengalaman pada persyaratan yang (bagi saya) mengada-ada.

Jadi sales itu harus berpenampilan menarik (seperti Wonder Women), dituntut untuk kerja cepat mencapai target (seperti The Flash), terus siap lembur (seperti Batman), tidak lupa juga harus bisa bekerja sendiri ataupun dalam tim.

Oleh sebab itulah, mungkin dibandingkan jadi sales, akan lebih mudah melamar jadi anggota Liga Keadilan (Justice League) sekalian.

Baru melamar kerja udah susah, sesudah bekerja, beban berat akan menanti. Jadi sales itu berat, kamu nggak akan mampu, biar mereka aja, karena saya juga nggak mau.

Kompetisi yang berat menjadi seleksi alam untuk menentukan siapa yang bertahan. Tampaknya profesi ini bisa menjelaskan teori evolusi Darwin dengan cukup baik.

Tapi jangan khawatir, karena salah satu pekerjaan yang digemari anak muda belakakangan ini selain startup adalah kerja di NGO atau LSM, konon cukup menjanjikan.

Bayangan kerja dengan waktu yang fleksibel dengan penghasilan yang lumayan tentu sesuai dengan gelora muda. Meski pada kenyataanya nggak semudah itu, Fulgensio.

Pertama masuk (kalau di NGO dalam negeri), akan digaji dengan gaji anak magang (yang biasanya paling gede mentok di UMR). Dan tentu saja dijanjikan akan naik seiring waktu, yang waktunya entah kapan karena setelah bertahun-tahun tidak naik juga.

Saya punya kenalan yang pernah kerja di NGO (yang ngakunya) perlindungan perempuan dan anak di Jogja, saat cuti melahirkan ia hanya mendapat setengah gaji pokok saja, yang berarti seperempat gaji yang sesungguhnya.

Sebenarnya gaji di NGO cukup baik, namun karena NGO juga merangkap jadi outsoucing, maka gajinya berubah dari lumayan jadi memprihatinkan. Untuk tahun-tahun yang lalu, pekerja lapang akan mendapat gaji sekitar 3 juta, dan yang diterimakan biasanya setengahnya menjadi 1,5 juta saja. Kemudian saat pekerja cuti melahirkan hanya akan menerima 750 ribu saja.

Jadi kalau kamu sebentar lagi lulus kuliah dan belum punya gambaran mau kerja apa, sementara relasi dan koneksi kamu minim, maka kamu harus bersiap menghadapi dunia kerja Indonesia yang luar biasa.

Kalau kamu merasa kondisi demikian tidak adil, kamu bisa menyalahkan Pemerintah, Parlemen, sampai Jokowi, di sosial media. Lha ketimbang kamu harus menyalahkan diri sendiri dan depresi.

Kalau tulisan kamu bagus dan kamu punya potensi jadi terkenal, mungkin akan ada yang merekrut jadi cyber army dan bisa punya penghasilan lumayan. Atau mungkin kamu bisa seperti Mas Iqbal Aji Daryono si buzzer 200 juta tapi mobilnya Suzuki Ignis, yang penghasilan fiktifnya lebih dari sekadar lumayan.

Meskipun berat, kalau kamu tetap mau menjalaninya dan tidak sempat menyalahkan pemerintah atau Jokowi, mungkin bersabar adalah jalan terbaik.

Apapun yang terjadi di dunia kerja nanti, kamu bisa mencontoh Mak Lampir dalam serial Misteri Gunung Merapi. Meski pun kalah berkali-kali dalam pertarungan, dia selalu tertawa riang, hii.. hii.. hii.. hii.. hi.

Soalnya kalau udah nggak bisa ketawa lagi, serialnya bubar. Farida Pasha bisa-bisa ikut baca tulisan ini sambil manggut-manggut senewen.

Exit mobile version