Buat Apa ‘New Normal’ Kalau Keambyaran Ini Emang Udah Normal?

Buat Apa ‘New Normal’ Kalau Keambyaran Ini Emang Udah Normal?

Buat Apa ‘New Normal’ Kalau Keambyaran Ini Emang Udah Normal?

MOJOK.COKalau dipikir-pikir, kenapa new normal? Kenapa mesti baru (new)? Padahal semua keadaan ambyar ini kan emang sudah normal.

Menarik mencermati ucapan dari Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, beberapa waktu yang lalu.

Beliau mengatakan bahwa dalam waktu dekat ada potensi 63 persen wilayah Jabar bisa kembali berkegiatan sosial ekonomi pendidikan dan ibadah dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan atau cara baru atau the new normal.

Istilah ini belakangan memang sering kita baca di mana-mana. Istilah ini mulai digaungkan oleh mereka yang sudah merasa putus asa dengan kondisi saat ini dan menyangka kalau kehidupan sudah tidak bisa kembali seperti sedia kala.

Padahal kalau dipikir-pikir, kenapa mesti baru (new), padahal saat ini semua keadaan sudah normal-normal saja.

Dasar pertimbangan Ridwan Kamil mengungkapkan hal di atas tadi salah satunya karena tingkat lalu lintas yang menurun drastis sebagai efek dari PSBB yang diterapkan. Misalnya di kota Bandung.

Ya iyalah, menurun drastis. Karena yang disorot biasanya jalan-jalan protokol utama di kota Bandung seperti Jalan Asia Afrika, Braga, Jalan Merdeka, dan lain-lainnya.

Jalan-jalan utama tersebut memang sepi, lengang karena akses menuju ke sana ditutup. Kendaraan dialihkan untuk melintasi jalur lain. Padahal kalau mau sedikit susah payah ke selatan atau ke timur, misal ke daerah Antapani, kehidupan akan terlihat berlangsung dengan normal-normal saja.

Pada bulan suci Ramadan, bulan ketika tidur siang dihitung sebagai ibadah, dan rebahan di rumah sedang didukung oleh Pemerintah, istilah PSBB tidak mengendorkan semangat para pedagang untuk menggelar lapak takjil dadakan. Bahkan ada beberapa lapak yang antreannya berjubel, seolah tak mau kalah dengan kerumunan  pembeli di outlet McD Sarinah.

Yah, kayak kehidupan normal saja.

Apalagi kalau waktu menjelang berbuka, jalanan akan mulai padat dan macet tanpa diketahui dengan jelas apa penyebab kemacetan. Lah, bukannya memang normalnya seperti itu bukan?

Perekonomian drop di segala aspek kehidupan? Ah, siapa bilang?

Dengan melonjaknya jumlah karyawan yang bekerja di rumah alias WFH, kecepatan belanja online meningkat drastis (setidaknya untuk beberapa waktu ini).

Segala macam kebutuhan bisa didapatkan secara online, mulai dari sayur-mayur, sembako, sepatu, baju, segalanya. Para petugas pengantar paket sibuk lalu-lalang. Bahkan mobil BMW serie 3 touring pun sekarang bisa dibeli secara online lewat Tokopedia!

Di kanal Youtube vlogger Om Mobi, stok mobil ini malah sudah sold out. Luar biasa! Rupanya ada juga beberapa orang yang mengisi waktu ngabuburitnya dengan membeli mobil. Ckckck.

Saya juga jadi sering belanja online, bukan membeli mobil tapi membeli barang-barang dagangan teman-teman yang saya kenal. Mereka harus bertahan hidup karena tidak ada solusi dari Pemerintah perihal nasib mereka.

Tapi, bukankah memang normalnya seperti itu? Justru tidak lazim alias new normal kalau Pemerintah sanggup mendistribusikan bantuan sosial dengan adil dan merata. Bakalan tidak lazim kalau Pemerintah ujug-ujug bisa membantu rakyatnya untuk melaksanakan lockdown betulan.

Jadi, kalau situasinya jadi kayak gini karena abainya Pemerintah? Di mana letak new normal itu coba?

Belum dengan kabar tempo hari, di mana beredar foto keramaian penumpang pesawat di Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta.

Melihat cara berpakaian dan koper-koper yang diangkut mereka, saya sangsi apakah mereka betul-betul berangkat kerja (bukan mudik) dan mempunyai surat dinas masing-masing. Tapi ingat, bukan hal yang normal kalau orang Indonesia tidak punya banyak cara akal-akalan.

Luangkan waktu sejenak untuk cek aplikasi belanja online seperti Bukalapak, niscaya kita akan menemukan format surat perjalanan dinas yang sudah dijual bebas. Harganya pun bervariasi, tapi masih dalam rentang puluhan ribu rupiah.

Memang kreatif orang-orang kita. Apapun bisa dijual. Benar-benar seperti kondisi normal saja.

Dari beberapa aspek yang saya ceritakan tadi, kehidupan kita sekarang memang sudah normal-normal saja. Kalaupun sekarang terlihat bagaimana tidak akurnya Pemerintah Pusat dengan Pemprov DKI soal data, atau tidak sinkronnya kebijakan tiap instansi perihal mudik pulang kampung.

Tunggu dulu. Lah bukannya memang normalnya seperti itu yak?

Sebentar, sebentar. Justru menjadi tidak normal, kalau Pemprov DKI dan Pemerintah Pusat akur banget dalam bekerja. Bakalan nggak normal kalau Menteri Budi Karya, Menteri Luhut, Menteri Terawan, dan Gubernur Anies Baswedan bekerja sama dengan kompak untuk mengatasi masalah ini.

Malah jadi tidak normal juga, manakala Pemerintah mau dengan hati-hati untuk mempersilakan warganya yang berusia di bawah 45 tahun mulai beraktivitas kembali, dengan pertimbangan bahwa bisa jadi di rumah mereka ada anggota keluarga yang masih rentan terhadap penularan virus corona.

Menjadi tidak normal pula, ketika Pemerintah mau dengan serius mengevaluasi dan mengontrol dengan ketat pelaksanaan PSBB yang diserahkan ke Pemda.

Sehingga bagi mereka-mereka yang telah sungguh-sungguh menaati untuk tetap di rumah saja, tidak merasa dikerjain (di-prank) ketika mereka melihat kehidupan di luar sana justru seperti normal-normal saja.

Hm, benar-benar negeri yang normal.

BACA JUGA Terima Kasih Kemenkes Udah Kasih Penghargaan ke Achmad Yurianto atau tulisan Rulli Rachman lainnya.

Exit mobile version