Sebagai Milenial, Punya Mobil Toyota Agya Sudah Cukup untuk Merasa Sombong

MOJOK.COBagi saya, pulang kampung dengan bawa mobil Toyota Agya, cukup membuat saya merasa sombong sebagai generasi milenial.

Pada sebuah pagi, dalam rangka perjalanan pulang kampung, saya melamun memikirkan kendaraan yang saya naiki kali ini. Ingin rasanya menangis terharu akhirnya saya bisa pulang dengan sebuah mobil walaupun itu hanya sebuah mobil bermerk Toyota Agya. Sebagai bagian dari kaum milenial yang katanya cenderung simpel, tidak mau ribet, cepat, dinamis, hemat dan miskin, mungkin pilihan saya untuk memilih mobil LCGC ini adalah pilihan yang paling tepat. Apalagi ini adalah seekor Toyota Agya. Bayangkan, Saudara-saudara!

Jalanan kala itu masih sepi, tampak indikator bensin masih tiga bar. Mobil ini memang sebuah mobil dengan keiritan yang istimewa. Dibandingkan dengan Honda Brio, jelas mobil ini lebih irit. Walaupun sebenarnya masalah irit adalah masalah jati diri si sopir itu masing-masing.

Taruhlah jika si sopir adalah sosok yang akan golput pada Pilpres 2019 nanti, saya yakin hanya dengan 3 bar bensin yang tersisa, bisa sampai ke Bali. Bahkan hanya dengan bantuan doa orang tuanya, bisa juga sampai ke Pulau Komodo.

Berbeda jika si sopir adalah pendukung Prabowo atau Jokowi yang bersumbu pendek. Jangankan sampai Denpasar, sampai dengan selamat aja belum tentu. Apalagi sambil baca status tentang keadaan negara yang katanya “gawat” ini. Bisa-bisa tiang listrik se-Jawa Timur punah ditabrakin si sopir.

Tetapi untungnya, si sopir pakai Agya bukan Fortuner, jadi hal itu tidak akan terjadi. Bodi Agya jangankan nabrak tiang listrik, nabrak liurnya nenek Nency yang sedang batuk aja bisa mengkerut seperti “anumu” di pagi hari.

Tapi ngomong-ngomong soal bodi, memang bodi mobil Agya ini sangat tipis dan saya rasa masih lebih tebal seng bekas impor dari Jepang. Saking tipisnya bodi mobil ini, ketika penyok susah untuk dikenteng kembali, apalagi kalau dipanaskan akan rawan bolong. Tidak mengherankan jika suara angin—bahkan omongan tetangga—sangat bisa terdengar dari dalam kabin mobil. Jadi jangan coba-coba untuk ngomongin sebuah rahasia kalau berada di samping mobil ini. Jika tidak ingin rahasia anda tersebar kemana-mana.

Saya mulai memasuki jalan tol dan hari sudah mulai panas. Saya beruntung pakai Agya yang AC-nya lebih dingin dibandingkan mobil LCGC yang lainnya. Kemudian lantunan lagu koplo ala pantura segera saya putar. Sebenarnya saya tidak suka jenis musik tersebut tapi mau bagaimana lagi, jika saya menyalakan lagu pop, suaranya akan menghilang dikalahkan oleh kencangnya suara mesin yang masuk ke kabin. Bakal lebih mirip bisikan mantan minta putus daripada suara merdu dari mbak junjungan saya, Nike Ardila.

Pasalnya, mobil Agya yang saya bawa ini menggunakan mesin dengan tiga silinder yang memang biasanya lebih terasa meraung-raung dan juga bergetar dibanding mobil Brio atau Agya terbaru yang sudah empat silinder.

Keluar dari jalan tol, keadaan sudah mulai ramai. Truk gandeng, anak sekolah juga mak-mak yang biasanya selalu menyalakan sein ke kanan tapi malah belok ke bawah. Soalnya, dia jatuh nyungsep. Untungnya kali ini saya sedang mengendarai Toyota Agya, yang dapat sangat mudah berhenti ke tepi karena lincahnya. Mobil ini memang sangat kecil tapi jelas itu merupakan sebuah keuntungan. Bahkan ketika macet, saya bisa menyelinap di sela-sela truk gandeng yang lagi gandengan. Bahkan mobil ini bisa jadi penengah kalau ada orang yang lagi berantem. Sungguh, luar biasa.

Untuk masalah kecepatan, mobil satu ini tidak bisa diragukan lagi…

…untuk diragukan pelannya. Akan tetapi, dengan mobil satu ini saya dapat merasakan sensasi berkendara yang luar biasa. Mobil ini sangat kencang kalau dirasakan, tapi tentu hanya perasaan saja. Sebab aslinya, untuk jalan 100 km perjam saja, saya harus menunggu lama, selama kamu yang belum mau kawin-kawin.

Body roll yang dirasakan juga sangat istimewa. Anggap saja mengendarai Bus Sumber Kencono pada kecepatan 180 km/jam. Sensasi deg-deg yang sama, juga akan dirasakan dengan mobil ini hanya pada kecepatan 60 km/jam, olengnya, limbungnya, berasa pembalap pokoknya.

Saya sampai di kota kelahiran saya tepat jam 11 siang. Mulai dari petigaan jalan besar kampong, saya sudah merasa diperhatikan. Rasa percaya diri saya tumbuh seiring dengan kendaraan yang saya pakai. Tentu, Agya ini sudah cukup membuat saya merasa sombong. Meskipun tetangga saya banyak yang punya mobil lebih mahal, akan tetapi rata-rata dari mereka sudah berumur dan umur mempengaruhi tingkat kesombongan seorang manusia. Anak kecil sombong dengan sepeda roda tiganya, anak SD dengan BMX-nya, anak SMP dengan motor Ninja-nya, dan saya sendiri sombong dengan Toyota Agya saya.

“Loh, itu kan si Rusli anaknya Pak Nadin yang tukang perahu itu. Sukses sekarang dia, pulang bawa mobil Agya. Daripada si Edi itu pulang-pulang bawa kabur anak orang.”

Saya akan terus cengar cengir

Mendekati rumah, saya melewati rumah mantan saya. Saya pelankan mobil supaya dia bisa tanpa sengaja melihat mobil yang saya bawa. Dia tentu akan menyesal telah meninggalkan saya dulu, apa enaknya berkendara menggunakan mantel saat hujan. Apa enaknya memakai helm yang dapat merusak rambutnya, dan apa enaknya kalau kena angin roknya keangkat.

Sesampainya di rumah, saya langsung mandi dan keluar lagi untuk bergabung dengan ayah saya di teras. Beberapa tetangga saya tampak duduk ngopi sambil melihat mobil yang saya bawa.

“Mobil ini kecil tetapi dalemannya gede juga ya, Le?” Saya memang tidak salah pilih mobil pikir saya.

Selain lebih lega dibandingkan kompetitornya yang lain misal Brio dan Suzuki Karimun Wagon, harga jual kembali mobil ini masih sangat bagus bahkan bisa dibilang tidak rasional. Setelah bertahun-tahun pemakaian, paling hanya turun sedikit.

Tetapi sebenarnya alasan utama saya memilih mobil ini tentu karena mobil ini sangat terkenal di mana-mana, di poster-poster hadiah utama fun bike, saingan hadiah umroh di supermarket. Bahkan menjadi hadiah favorit tukang tipu-tipu lewat SMS berhadiah.

Selain itu, coba saja bayangkan saya mudik menggunakan mobil Morris Mini Cooper dengan risiko mobil yang saya bawa itu akan dianggap mobil-mobilan karena saking kecilnya. Meskipun, kalau mobil si MR Bean itu ditukar dengan mobil Agya, bisa jadi berpasangan.

Kemudian, Whatsapp saya berbunyi. Ada sebuah pesan masuk,

“Maaf, Mas, mobil balik kapan ya? Kan sewanya hampir habis. Masalahnya besoknya mau ada yang rental lagi.” Sayapun segera menghapus cepat-cepat chat perusak suasana tersebut. Buyar khayalan saya punya mobil impian. Impian semua kaum milenial.

Exit mobile version